Saat SDA Tersandera Picu Narasi Kelam Masyarakat

0

DI ERA pemerintahan Jenderal Besar Soeharto, secara personal Soeharto menampilkan diri sebagai sumber legitimasi dan power. Oleh karena itu menjadi benar seperti ditulis Prof Harold Crouch dalam bukunya Politics and Militaty bahwa Soeharto tampil sebagai the Main of Patronage and Clientelism dam mampu mempertahankan rezim oligarki selama 32 tahun.

KETIKA proses demokratisasi semakin kuat, orang-orang yang berada dalam patronase secara pelan-pelan mencari patronase baru, ketika Sang Bapak sudah kehilangan public trust atau mengalami degradasi legitimasi kekuasaan politik. Orang-orang yang dulunya berada dalam barisan lingkaran Soeharto melakukan imigrasi dan bermetamorfosis dengan aktor-aktor yang dapat memberikan proteksi dan kebijakan yang menguntungkan.

Fenomena seperti ini ada pada semua level, termasuk dalam dunia pendidikan atau universitas. Ya, kurang lebih 200 tahun lalu, Robert Michel menulis buku The Iron Law Oligarchy; Jeffery Winters penulis buku On Oligarchy (2011) dan Prof Vedi R Hadiz penulis buku Localizing Power (2010).

Para pakar ini sepakat bahwa ketika kekuasaan itu ada di tangan, pemegang kekuasaan itu akan melakukan blockng opportunity for others dan tidak pernah toleran dengan orang outsider yang kritis. Ini bentuk kebejatan kekuasaan kata mereka.

Nah, saya teringat dalam kasus PT Silo Group yang kini jadi sorotan ketika izin tambang produksi, seusai dicabut Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor. Hingga, muncul ancaman gugatan Silo Group ke PTUN Banjarmasin dengan menguasakan hukum kepada seorang Prof DR Yusril Ihza Mahendra.

Dulu, saya pernah mendemo dua kali PT Silo pada enam tahun silam. Kebetulan posisi PT  Silo di Desa Ujung Kecamatan Pulau Sebuku (Pulau Laut), Kabupaten Kotabaru. Nah, di Pulau Sebuku, mayoritas penduduknya adalah keluarga saya. Saya sering pulang pergi ke desa itu. PT Silo memang ‘kurang ajar’ yang patut diduga memiskinkan warga desa. Tanah warga dan lahan-lahan warga dirampas. Kalau toh ada ganti rugi sangat tidak pantas.

Para petani tambak ikan, petani desa seperi petani sahang (lada), kebun kelapa, semuanya rata dengan tanah. Termasuk, sumber pendapatan nelayan kecil hilang semua. Yang terjadi sekarang adalah pengangguran massal warga Desa Ujung atau Warga Tanjung Mangkok.

Silih berganti kepala desanya berganti, rata-rata adalah adik sepupu saya. Sebelum kepala desa yang sekarang ini adalah Muhammad Alwi, adik sepupu saya, nah PT Silo bisa beroperasi di Sebuka yang kecil itu karena adanya lesensi dan proteksi kebijakan dari negara (Pemkab Kotabaru di era Bupati Sjachrani Mataja).

Keterlibatan negara dalam hal ini, Pemkab Kotabaru terhadap keberadaan PT Silo yang mengekspoloitasi sumber daya alam (SDA) bijih besi merupakan bentuk telanjang mafia pesekongkolan antara negara dan kapital (pengusaha) yang menafikkan aspek lingkungan, sosial ekonomi warga lokal sekadar mewujudkan ambisi keserakahannya.

Dan, PT Silo telah beroperasi kurang lebih 10 tahun tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan warga Desa Ujung atau Desa Tanjung Mangkok. Perlu diketahui bahwa perusahaan tambang yang beroperasi di pulau kecil ini, ada beberapa perusahaan. Desa Sarikaman dan Desa Sekapung, ada perusahaan lain selain PT Silo yang telah lama beroperasi. Desa Sekapung adalah desa pertama di Pulau Sebuka yang dieksploitasi SDA batubara oleh PT John Hollan. Warga di desa Sekapung tanah dikuasai atau dibeli secara tidak layak.

Para warga yang hidupnya mengandalkan pertanian dan melaut yang dikenal sebutan Ma’bagang sebagai sumber penghasilan ekonomi dari tangkapan ikan, kini menyisahkan cerita kelam karena laut sudah terkontaminasi dari limbah batubara. Perusahaan-perushaan tambang yang beroperasi di Pulau Sebuku, khususnya PT Silo di Desa Ujung menjadi narasi kelam bagi warga.

Warga merana secara sosial dan ekonomi di tengah deru mesin-mesin tambang dan bongkahan-bongkahan tanah yang mengangah, lubang-lubang bekas galian dalam menjadi pemandangan miris bagi warga lokal.

Fakta seperti ini telah diteorisasikan oleh pakar lingkungan dan pakar ekonomi Prof Gerrard Hardin dalam bukanya yang laris manis, The Tragedy of the Commons. Ungkapan yang sama juga dikemukakan Prof Ellinor Osrom dalam bukunya Common Pool Resources. Kedua professor ini menjelaskan bahwa sumber daya alam yang kaya tapi tidak dikelolah secara good governance akan melahirkan bencana lingkungan atau tragedi kemanusiaan.

Celakanya, Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya SDA termasuk wilayah Kalimantan Selatan belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan daerah. Celakanya justru SDA yang ada dijadikan arena persekongkolan, deal-deal politik bagi para aktor-aktor lokal demi kepentongan kekuasaan politik pada saat menjelang atau pasca pilkada. Fenomena politik keserakahan yang sudah terstruktur yang terbangun dalam jaringan antara: pejabat daerah, partai politik dan pengusaha merupakan episenterum carut marutnya SDA di Kalsel. Sebab, SDA telah tersandera oleh para predator-oligarki tersebut.

Perlu dipahami, landsacape politik lokal di Kalsel di era otonomi daerah, demokratisasi, dan kapitalisasi politik, keberadaan SDA di Kalsel termasuk SDA biji besi di Desa Ujung dan Tanjung Mangkok, Kecamatan Pulau Sebuku Kotabaru tidak terlepas dari konteks kepentingan politik pemerintah daerah.(jejakrekam)

Penulis : DR Muhammad Uhaib As’ad

Staf Pengajar FISIP Uniska MAB

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.