Tapin, Banjarmasin dan HSS Tertinggi Perkawinan Anak

0

INDONESIA termasuk salah satu negara yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF, tertinggi dan hampir merata di seluruh wilayahnya, dalam kasus perkawinan anak di bawah umur. Dalam laporan tersebut, usia anak di bawah 18 tahun harus dipaksa menikah atau kawin di usia dini yang mencapai 23 persen di seluruh Indonesia.

DARI data BPS dan UNICEF, perkawinan usia dini ini sepertiga berada di wilayah pedesaan, dibanding daerah perkotaan. Sementara itu, khusus Kalimantan Selatan berdasar data dari BKKBN, menempati urutan ketiga tertinggi kasus perkawinan anak di bawah umur di Indonesia. Tiga daerah penyumbang angka perkawinan anak ini adalah Banjarmasin, Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).

Masih menurut data BKKBN Kalsel, angka kasus  perkawinan anak di Kalsel sudah mencapai 9,24 persen yang merupakan tertinggi di seluruh Indonesia. Yakni, perkawinan anak di usia 10-14 tahun sudah mencapai 9,2 persen, dari total perkawinan yang ada. Lalu, angka perkawinan anak berusia 15-19 tahun sebesar 46 persen, dari jumlah perkawinan yang terjadi di Kalimantan Selatan.

“Berdasar data itu, kami akan berupaya untuk terus menekan angka perkawinan anak dengan berbagai upaya. Apalagi, ada tiga daerah yang menjadi penyumbang terbesar yakni Banjarmasin, Kabupaten Tapin, dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).  Kasus ini harus segera dihentikan, sebab peringkat tertinggi ini bukanlah sebuah prestasi,” ucap Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Gubernur Kalsel, Gusti Yanuar Noor Rifai dalam Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Mahligai Pancasila, Rabu (13/12/2017).

Menurutnya, Pemprov Kalsel juga terus melakukan upaya nyata dalam mengubah cara pandang dan budaya masyarakat agar tak meloloskan perkawinan anak, khususnya yang masih di bawah umur. “Sosialisasi dan menggandeng lembaga- lembaga terkait, tokoh agama dan tokoh masyarakat terus digalakkan, agar bisa menekan angka perkawinan anak di Kalsel,” kata Gusti Yanuar.

Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak ini diluncurkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise pada 3 Noveber 2017 di Jakarta, untuk menjalankan amanat Pasal 72 UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.

Untuk kegiatan deklarasi di Banjarmasin, merupakan rangkaian acara serupa secara nasional, karena beberapa kota seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang dan Lombok juga telah mendeklarasikan gerakan stop perkawinan anak. Gerakan stop perkawinan anak ini juga didukung 30 organisasi yang bergerak dalam bidang perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.

Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rohika Kuniadi Sari juga mengatakan Indonesia versi UNICEF yang menempati posisi ke-7 tertinggi di dunia, dan rangking kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

“Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak. Padahal, mereka memiliki hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya,” tegas Rohika Kuniadi Sari.(jejakrekam)

Penulis : Asyikin

Editor   : Didi GS

Foto     : Iman Satria

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.