Walhi Desak Pemprov Kalsel Segera Mereview RTRW

0

TANGGAL 8 November diperingati sebagai Hari Tata Ruang Nasional 2017. Untuk tahun ini diangkat tema tertib tata ruang untuk kehidupan lebih baik. Apakah tema itu sudah sejalan dengan kondisi yang terjadi di Kalimantan Selatan?

DI ERA Orde Baru, pengelolaan sumber daya alam (SDA) khususnya hutan secara sepihak dikuasai negara. Hutan hak masyarakat adat dihilangkan, dan bahkan dianggap tidak ada. Semua  dimiliki oleh negara, dan diberikan hak pengelolaan secara besar- besaran kepada korporasi dengan berbagai jenis komoditas melalui regulasi dan perizinan.

Hasilnya, kemiskinan dan konflik menjadi wajah buram dari model penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam. Deforestasi menjadi angka yang tidak terkendali, bencana ekologis terus terjadi dan dan terakumulasi dengan perubahan iklim dan dampaknya yang semakin dirasakan bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan; petani, nelayan, masyarakat adat/masyarakat lokal, anak-anak dan kelompok perempuan.

Di tengah pergulatan dari ancaman perubahan iklim dan dampaknya, dari tahun ke tahun solusi yang ditawarkan tidak pernah menyentuh akar masalah dari pembangunan nasional yang selalu mengikuti paradigma pembangunan global. Solusi palsu yang berbasiskan pasar atau perdagangan dan pada akhirnya melahirkan krisis baru, komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam.

Fakta itu terungkap dalam siaran pers Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Kalsel yang diterima redaksi jejakrekam.com, Selasa (7/11/2017).  Khusus di Kalsel diungkapkan Direktur Eksekutif  Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, dari 13 kabupaten dan kota dengan luas 3,75 juta hektare dihuni 4 juta jiwa. “Namun, 50 % wilayah Kalsel sudah dikuasai izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Yakni, 1.242.739 hektare (33 %) telah dibebani izin tambang dan 618.791 hektare (17 %) diberikan izin perkebunan kelapa sawit. Bisa dikatakan Kalsel sedang darurat agraria atau darurat ruang,” tutur Kisworo.

Senada itu, Manager Data dan Kampanye Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat mengatakan pengrusakan ekosistem rawa gambut di Banua ini didukung regulasi seperti RTRWP Kalsel Nomor 9/Tahun 2015 ayat (1) huruf b yang menyatakan sekitar 1.255.721 hektare diperuntukkan bagi perkebunan yang tersebar di lima kabupaten.

“Padahal, di lima kabupaten itu merupakan kawasan rawa gambut nasional yang rawan kebakaran. Seharusnya pemerintah dapat belajar dari kejadian asap di tahun 2015, yang rata-rata penyebabnya terjadi di eksistem rawa gambut yang dalam penegakan hukumnya tidak menyentuh korporasi,” tuturnya.

Ditambahkan Kisworo  lagi, Pemprov Kalsel harus mengubah model tata kelola pembangunan yang ada menjadi kebijakan yang pro kepentingan rakyat, menjaga bentang alam Kalsel dengan tak lagi memberi izin bagi kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan sawit. “Saatnya pemerintah lokal memahami, kita ini sedang darurat kejahatan korporasi dan darurat ruang. Karena itu, negara harusnya serius dan komitmen dalam penegakan hukum, membentuk pengadilan lingkungan untuk menjerat para perusak lingkungan,”paparnya.

Nah, masih menurut dia, jika tak mengubah model tata kelola pembangunannya, maka Kalsel akan tertinggal dan dicap sebagai daerah yang tak mendukung upaya serius menghadapi dampak perubahan iklim.

Apalagi, kata Kisworo lagi, hal ini semakin diperparah dengan masih terjadinya perampasan wilayah kelola rakyat, konflik agrarian, konflik tenurial di Kabupaten Tanah Bumbu, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, HSS, HST, HSU, Balangan, Tabalong) dan pengrusakan lingkungan terhadap kekayaan bentang alam (landscape) Kalsel seperti sumber energi, hutan, ekisistem rawa gambut, ekosistem karst, ekosistem laut dan pulau-pulau kecil. “Fakta ini menunjukkan buruknya model tata kelola wilayah dan pembangunan di Kalsel,” ujar aktivis yang biasa dipanggi Cak Kiss ini.

Ia menegaskan walaupun negara melalui Presiden Jokowi berkomitmen untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan 9 juta hektare untuk TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). “Tapi di daerah seperti di Kalimantan Selatan masih belum maksimal bisa dilaksanakan. Masih perlu perjuangan panjang terutama wilayah kelola rakyat di masyarakat adat Dayak Meratus dan wilayah kelola rakyat yang masuk dalam konsesi perusahaan,” paparnya.

Menurut Kisworo, hal ini tentu masih menjadi pekerjaan rumah dan agenda besar yang harus segera di selesaikan oleh negara, karena salah satu faktor rakyat menjadi sejahtera adalah alat produksi yaitu salah satunya adalah tanah.

“Selama puluhan tahun, model pembangunan pemerintah yang berbasis ekstraksi kekayaan alam skala besar oleh korporasi terbukti menghasilkan bencana ekologis, ketimpangan dan kemiskinan, serta konfik sosial dan agraria.Sedangkan model kelola yang telah diterapkan masyarakat adat dan lokal sebelum NKRI merdeka sampai sekarang masih terbukti mampu bertahan. Bahkan, kondisi lingkungannya masih lestari. Masyarakat adat Dayak Meratus, masyarakat lokal rawa gambut, nelayan tradisional selama ini telah melakukan praktek terbaik dalam pengelolaan ruang hidupnya,” tutur Kisworo lagi.

Ia menjelaskan tata ruang harus mengakomodir dan mengakui wilayah kelola rakyat karena ini sesungguhnya menjadi benteng pertahananan untuk memproteksi wilayah hidup masyarakat dari ancaman industri ekstraktif seperti sawit, hutan tanaman industri, tambang maupun pembangunan infrastruktur skala besar yang justru mengancam keselamatan dan kesejahteraan hidup rakyat. “Wilayah kelola rakyat juga menjadi benteng pertahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim,” tegas Kisworo.

Untuk itu, Walhi dalam siaran pers mendesak agar Pemprov Kalsel segera mereview RTRW dengan poin tata ruang wilayah harus di mulai dan berangkat dari desa, apalagi kita ketahui banyak desa terutama di Kalsel belum memiliki peta desa yang berkoordinat. “Wilayah kelola rakyat masyarakat adat Dayak Meratus dan masyarakat lokal rawa gambut, nelayan kecil/tradisional harus segera mendapat pengakuan dari negara dan pemerintah daerah,” kata Kisworo.

Kemudian, beber dia, tata ruang wilayah harus mampu melindungi rakyat kecil dan menjamin keselamatan rakyat dari ancaman krisis pangan dan dampak negatif perubahan iklim. “Pemerintah harus komitmen stop ijin baru untuk perusahaan ekstraktif skala besar dan monokultur skala besar. Tata ruang wilayah harus berpijak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan,” imbuh Kisworo.(jejakrekam)

Penulis : Ahmad Husaini

Editor   : Didi G Sanusi

Foto      : Didi GS

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.