Kalsel dan Kalteng Sudah Alami Darurat Ruang

0

BENCANA asap yang melanda Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Selatan pada 2015, makin membuktikan pembakaran hutan dan lahan merugikan rakyat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bencana asap telah mencerminkan model tata kelola sumber daya alam (SDA) yang buruk, khususnya tata kelola lahan dan hutan.

ISU ini diangkat dalam peringatan Hari Lahir Walhi ke-37 (15 Oktober 1980-15 Oktober 2018) di kawasan Jembatan Barito. Mereka yang tergabung dalam jaringan, sahabat dan mitra perjuangan Walhi Kalsel dan Kalteng, memperingatinya dengan membagi-bagikan bibit tanaman kepada para pengguna jalan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan konsesi perkebunan kelapa sawit berskala besar, konsesi hutan tanam industri, pertambangan, serta hak penguasaan hutan (HPH) terus diberikan tanpa mempertimbangkan pengundulan hutan atau deforestasi di Kalimantan.

“Ini menunjukkan secara gamblang bahwa orientasi pembangunan bertumpu pada industri ekstraktif, bukan bentuk pembangunan yang ramah lingkungan dan rendah emisi gas rumah kaca,” ucap Kisworo kepada jejakrekam.com, Minggu (15/10/2017).

Aktivis lingkungan yang akrab disapa Cak Kis ini mengungkapkan longsor lubang tambang, banjir, jadwal musim yang kacah makin menambah deretan bencana ekologis. “Carut marutnya tata kelola pertambangan, lubang-lubang  bekas tambang yang masih menganga, tidak patuhnya pelaku bisnis ekstraktif dan lemahnya penegakan hukum semakin menambah permasalahan yang ada,” bebernya.

Ia mengatakan dari berbagai kejadian dan permasalahan ini memunculkan kesan komitmen pemerintah dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim hanya menjadi jargon semata tanpa pembuktian.

Menurut Kisworo, begitu pula konflik agraria dan tenurial masih menjadi momok yang selalu menghantui masyarakat kecil dan masyarakat adat.  “Banyak konflik ini masih berlanjut dan menjadi korban selalu rakyat kecil. Ironis, rakyat sendiri belum berdaulat di tanah airnya sendiri,” cetus jebolan sarjana Universitas Lambung Mangkurat (ULM).

Dia membandingkan luas Provinsi Kalsel terdiri dari 13 kabupaten dan kota hanya 3,75 juta hektare. Celakanya, menurut Kisworo, 50 persen wilayahnya sudah dikuasai pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. “Terbukti, area 1.242.739 hektar atau 33 persen dibebani izin tambang. Sisanya, 618.791 hektar atau 17 persen dikuasai perkebunan sawit. Ini membuktikan Kalsel sedang darurat agrarian dan darurat ruang,” cetus Kisworo.

Fakta itu juga dirasakan Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut Direktur Walhi Kalteng, Dhimas N Hartono, laju deforestasi mencapai rata-rata 132.402 hektare per tahun. “Luas kawasan Hutan yang dikuasai korporasi kehutanan mencapai 5,1 juta hektare oleh 91 perusahaan dari total luas wilayah Kalimantan Tengah 15,3 juta Ha. Di sektor pertambangan, luas konsesi  mencapai 3.6 Juta Ha dan izin usaha perkebunan mencapai 2,9 juta Ha,” tutur Dhimas.

Baik Dhimas maupun Kisworo menilai apa yang terjadi di Kalimantan makin membuktikan keadilan iklim di Indonesia masih tanda tanya. “Orientasi pembangunan masih pada industri ektraksi SDAyang secara langsung akan melahirkan deforestasi, monopoli tanah, perampasan tanah serta bencana ekologi berkelanjutan,” ujar Dhimas lagi.

Walhi pun mendesak demi keadilan iklim, maka pengakuan wilayah kelola rakyat, penghentian deforestasi, asap, monopoli tanah serta pencabutan izin perusahaan lingkungan dan peremas rakyat harus ditegakkan pemerintah. “Termasuk, penyelamatan lahan untuk pangan dan segala bentuk pengadilan lingkungan,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis : Asyikin

Editor   : Didi GS

Foto      : Detik.com

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.