Menghadirkan Panglima Wangkang

1

JANGAN salah! Menghadirkan Panglima Wangkang yang dimaksud bukan dengan cara membakar dupa, membaca mantera, atau balampah dengan amalan tertentu. Melainkan didahului latar belakang selama satu minggu ini wacana Panglima Wangkang di grup Habar Batola Terkini berlangsung dengan gegap gempita atau dengan bahasa di era media sosial Panglima Wangkang menjadi viral. Dari situlah kita mengetahui cara menghadirkan Panglima Wangkang.

PERTAMA, dengan cara yang dilakukan kaum sejarawan. Kepahlawanan Panglima Wangkang ditulis dan dibukukan berdasarkan catatan sejarah sebagaimana dalam buku Wangkang Sang Hulubalang karya Helius Sjamsuddin, Guru Besar Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.  Misalnya, ketika Sjamsuddin menuliskan bahwa “Belanda di Marabahan berada dalam posisi sulit. Sebenarnya bahaya datangnya lebih serius berasal dari orang Bakumpai dari pada orang-orang Murung. Benteng Marabahan juga harus dipertahankan menghadapi serangan, dan oleh sebab itu Residen meminta bantuan tambahan militer.” Pernyataan itu bersumber dari Surat Tiedtke kepada Letnan Kolonel Schultze: Banjarmasin, 10 Oktober 1870, dalam Verbaal, 25-1-1871 No. 33/95.

Selanjutnya, “Letnan Kolonel Schultze dalam suratnya ke Batavia mengakui pengaruh Wangkang sangat kuat, sementara Residen Tiedtke terutama begitu lemah dan menghadapinya dan situasi politik keresidenan secara umum menakutkan.” Pernyataan ini bersumber dari Surat Letnan Kolonel Schultze kepada Panglima Tentara di Batavia: Banjarmasin, 12 Oktober 1870, dalam Verbaal, 25-1-1871 No. 33/95.

Dari dua contoh itu saja, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa sumber sejarawan menggunakan data kolonial yang menunjukkan betapa perlawanan Panglima Wangkang sungguh tidak bisa dianggap remeh. Ada komunikasi berantai yang dilakukan pemerintah Belanda dari Marabahan ke Banjarmasin dan dilanjutkan ke Batavia. Artinya, Pemerintah Belanda di Marabahan dan di Banjarmasin tidak sanggup mengatasi pengaruh Panglima Wangkang.

Pelajaran penting dari hal ini adalah Panglima Wangkang tidak hanya manyurung kataguhan, kesaktian, tetapi Panglima Wangkang adalah tokoh politik dan pengaruhnya ditakuti oleh pemerintah Belanda. Dari data sejarah kita belajar, pejuang di masa lalu pun tidak hanya mengandalkan kekuatan otot, melainan kekuatan otak juga diutamakan. Melalui data kolonial itu pula kita menjadi sadar, kehebatan Wangkang sesungguhnya diakui pihak Belanda. Sehingga Panglima Wangkang menjadi tokoh yang disegani kawan dan ditakuti lawan.

Melalui sejarah pula, membuat kita sadar kepahlawanan Panglima Wangkang melintas daerah bahkan antar negara. Sehingga jangan heran jika ada orang asing yang berkunjung ke makam Panglima Wangkang dan dengan lancarnya menceritakan sejarah kepahlawananya, sedangkan kita hanya menatap takjub mendengarkan cerita tersebut.

Kedua versi lisan. Ini bersumber dari cerita mulut ke mulut yang disampaikan dari kalangan keluarga atau juriat Panglima Wangkang maupun pendukungnya maka disebut sebagai “kisah Panglima Wangkang” atau “Hikayat Wangkang”. Tentu saja versi lisan ini akan berbeda dari versi sejarawan disebabkan sumbernya berbeda pula. Jika sumber sejarah berdasaran catatan kolonial, versi lisan menghadirkan Panglima Wangkang secara social knowledge atau ingatan sosial dan diperkuat oleh artefak berupa benda-benda bersejarah yang menyertai perjuangan Panglima Wangkang. Dari viral Panglima Wangkang di grup ini, kita menjadi tahu bahwa Panglima Wangkang memiliki senjata seperti sebilah mandau dan satu keris Singa Badauh yang dipelihara) oleh salah seorang juriat beliau (Sumber komentar H Hanafi Murjani).

Lambat laun versi lisan ini mengalami gradasi, oleh karena yang tahu cerita sudah tua maupun meninggal. Generasi selanjutnya akan mendapatkan potongan demi potongan cerita. Sesungguhnya kita memang kuat tradisi lisan, tetapi tidak dikarunia kemampuan menghapal yang kuat seperti bangsa Arab. Guna menghindari hal itu, ada baiknya kisah Panglima Wangkang ditulis sehingga menjadi kesatuan cerita yang menjadi penyeimbang dari sejarah Panglima Wangkang. Bagi kaum akademisi inilah sejarah yang dihadirkan dari persfektif post-kolonial dengan cara demikian, kita pun akan melihat spektrum kepahlawanan Panglima Wangkang lebih luas. Muaranya tidak hanya pada keberanian, kekebalan, atau hanya bisa ditembus peluru emas melainkan pada nilai moral, kesetiaan, nasionalisme, dan perjuangan bahkan nilai spritual yang dipertahankan sampai mati.

Versi pertama dan kedua, melahirkan versi ketiga. Panglima Wangkang dihadirkan dalam bentuk syair dan tarian. Saya berterima kasih atas informasi dari pahari Kasmudin Ijejelatentang hal itu. Semoga juga ada versi muatan lokal baik dalam kumpulan cerita yang dibukukan atau dalam bentuk naskah teater seperti teater Demang Lehman. Jika belum ada, hendaknya hal ini menjadi concern teman-teman dari kaum sastrawan dan seniman. Versi ketiga ini membuat semangat kepahlawanan dapat diterima dengan mudah karena hadir dalam kemasan sastra, seni, maupun tampilan visual.

Versi pertama dan kedua juga melahirkan VERSI KEEMPAT Panglima Wangkang dihadirkan dalam bentuk mangaradaumarayap. Si penulis cerita asal comot saja tanpa menjelaskan sumbernya, lebih kurang bisa disebut plagiator. Baginya tidak penting kebenaran cerita yang disampaikan, karena yang hebat bukan tokoh dalam cerita, tetapi yang hebat itu adalah si tukang posting cerita. Terselip keinginan agar dianggap tahu sejarah oleh netizen.

Kelebihan versi keempat ini jika diposting di media sosial, orang akan ramai menyukai (me-like) status, komentar pun juga bermunculan. Sang penulis hanya menjawab sesekali, tak penting baginya substansi komentar sebab yang terpenting postingnya menjadi viral. Kelebihan lain, wacana Panglima Wangkang ini muncul karena dihadirkan pertama kali dalam versi keempat ini pula.

Penutup

Viral kepahlawanan Panglima Wangkang ini mungkin tidak akan berlangsung lama, ia akan segera digantikan dengan kisah lain sebab inilah watak media sosial. Namun ada baiknya moment ini dipertahankan dengan cara menghadirkan entah dalam bentuk seminar, diskusi, dan sejenisnya. Masalah siapa yang memfasilitasi atau apa dan bagaimana selanjutnya, saya kira tidak sebesar masalah yang dialami Panglima Wangkang dalam menghadapi kepungan tentara Multi nasional (Belanda dan tentara pribumi) yang didukung empat kapal perang hingga ia meninggalkan dalam pertempuran dahsyat itu. Mari kita pikirkan dan usahakan bersama.

Manfaat dari sejarah ini, kita dan generasi selanjutnya akan mampu berdiri tegak dengan daerah lain yang sama-sama memiliki pahlawan. Jika ini lebih diruncingkan, kita akan dapat berbangga dan berkata, “Hanya Panglima Wangkanglah yang sanggup menjadi kuda Troya dengan cara masuk ke jantung perlawanan Belanda di benteng Tatas Banjarmasin. Tak ada pejuang sebelum atau sesudahnya yang sanggup melakukan hal itu”.

Selebihnya, izinkan saya memodifikasi kalimat yang disampaikan sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Banten dalam Pergulatan Sejarah “Sejarah atau cerita Panglima Wangkang secara terselubung mengajukan pertanyaan fundamental, “beginilah perjalanan sejarah, tapi pesan apakah yang didapatkan, dan ke mana masa depan diamanatkan?” Biarlah para pemimpin, juriat, masyarakat Marabahan yang menjawab. Bukan karena apa-apa, tetapi karena merekalah yang sanggup dan mempunyai kewajiban menjawabnya. Wallahu a’ lam bissawab.(jejakrekam)

Ditulis di Handil Bakti, Ahad 29 Syawal 1438 H
Salam hormat untuk zuriat Panglima Wangkang
Nasrullah Bakumpai

Sumber foto : da banua blogspot

 

1 Komentar
  1. Farid berkata

    Askum wr.wb…terketuk hati lun atas ulasan tersebut diatas…semoga bisa jadi tambahan reperensi karnanya…
    1. Beliau hidub bukan islam berdasarkan temuan aksesoris yang di gunakan semasa hidubnya (zimat) yang dikenakan dipinggangnya yang tidak menandakan adanya unsur islam .bilamana dikenakan di orang sekarang (ukuran pinggang) baru bisa dikenakan dua kali lilitan.
    2. Beliau gugur di suatu daerah bernama bedandan,, tertembak tepat di keningnya…selanjutnya oleh pengikut/anak buahnya jasat beliau di sembunyikan (bahasa banjar di serusupkan/sisipkan) kedalam rimbunan tanaman (bahasa banjarnya padang piai dan rumbia/salah satu jenis tanaman tropis khas kalimantan) selama 40 hari dan baru setelahnya diambil kembali guna menghindari ditemukannya jasat beliau oleh belanda pada saat itu dan tetap utuh/tidak rusak.
    3. Selain jimat yang dikenakan beliau sebagaimana yang di sebutkan di atas…beliau juga memiliki senjata berupa keris yang sekarang dinamakan Singa Bedauh (di salah satu bagiannya ada berbahan emas) dimana di keris tersebut di salah satu bagiannya ada tanda berupa tok (bahasa banjar cap krun) berlambangkan lambang kerajaan banjar…sebagai pemberian hadiah dari raja banjar..yang menandakan sudah adanya hubungan atau interaksi diantara keduanya.

    Data ini di dasarkan penuturan keluarga (keturunannya) yang penutur berkesempatan melihan nya secara langsung

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.