Geliat Perjuangan Tanah Banjar di Tengah Keindonesiaan

0

SEPANJANG negara belum bisa memberikan kesejahteraan, maka akan selalu muncul friksi-friksi di tubuh rakyat Indonesia. Begitulah sejarawan Banjar asal FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Yuslian Noor memaparkan perjalanan sejarah keindonesiaan dalam diskusi yang dihelat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, Kamis (1/6/2017).

PENULIS sejarah Banjar dan Kalimantan yang sangat aktif ini membawakan makalah berjudul Menakar Bingkai Keindonesiaan di Tanah Banjar dalam acara buka bersama di kantor LK3 Banjarmasin di Komplek Rajawali, Banjarmasin, cukup detail memapar siapa sebenarnya suku Banjar itu.

“Orang Banjar itu adalah bukan sebuah suku, namun sebuah bangsa. Sebab, masyarakat yang hidup di era Kesultanan Banjar itu menjelma menjadi sebuah suku baru. Padahal, kalau kita mau jujur ditarik ke belakang, maka Urang Banjar itu adalah suku campuran yang nenek moyangnya adalah suku Dayak atau Biaju dalam persepsi yang berkembang selama ini,” tutur Yusliani  Noor.

Penulis buku Islamisasi di Tanah Banjar ini mengungkapkan lahirnya bangsa Indonesia tak boleh dilepaskan dari perjuangan yang sangat melelahkan baik darah, air mata, harta dan nyawa putra-putri terbaiknya. “Sejarah Banjar mencatat berbagai perlawanan yang digerakkan Pangeran Antasari di Tanah Banjar dan Tumenggung Surapati di Tanah Dusun-Barito mencerminkan aksi heroik yang patut menjadi pelajaran bagi generasi lanjutan,” ucap Yusliani Noor.

Hipotesis bahwa Urang Banjar itu adalah kesatuan politik bukan etnisitas itu juga dikemukan profesor sejarah UIN Antasari Banjarmasin, Prof DR Alfani Daud, dan lainnya. “Jadi, sangat sedikit yang mengatakan Urang Banjar itu merupakan sebuah suku. Contohnya adalah ketika orang pedalaman yang sekarang disebut Dayak, kemudian hidup di wilayah Kesultanan Banjar maka yang muncul adalah sebutan sebagai Urang Banjar,” kata Yuslian Noor.

Ia kembali mengingatkan bahwa sejarah Perang Banjar itu telah menunjukkan terjadinya bergabungnya semua etnis yang hidup di Tanah Kalimantan khususnya Kalsel dan Kalteng dalam sebuah nation baru. “Patut dicatat, Perang Banjar yang berlangsung pada 1859-1906 itu telah menghancurkan aristokrasi Banjar yang membubarkan tradisi keraton yang egaliter. “Dalam fase ini melahirkan golongan masyarakat terjajah, setidaknya terjadi sejak 1906-1942. Namun, di satu sisi, lahir pula golongan terdidik Banjar, Dayak dan suku lainnya dengan pola pendidikan umum dan pendidikan agama yang berlangsung hingga sekarang,” kata dosen sejarah FKIP ULM ini.

Dikotomi pendidikan ini juga diberlakukan pemerintah kolonial Belanda. Menurut Yusliani, di era kolonial Belanda, selalu diidentitikkan bahwa jika berpendidikan umum ini dikuasai Belanda, sedangkan pendidikan agama dikonotasikan menjadi milik masyarakat Banjar.

“Makanya, dari pendidikan agama ini melahirkan tuan-tuan guru di Tanah Banjar. Sedangkan, pendidikan agama Kristen dan Katolik sejak awal dikembangkan kelompok misionaris dan zending,” ucapnya.

Era kolonialisme Belanda ini berlanjut di masa pendudukan Jepang dengan durasi 4,5 tahun. Menurut Yusliani, di era Jepang ini banyak orang Banjar dan Dayak yang dibantai dengan keji oleh pasukan Jepang. “Hal ini membuat masyarakat Banjar dan Dayak terpaksa harus mengolah makanan dari umbi-umbian, sekadar mengganjal perut. Termasuk, makan gadung, biji karet, biji kaminting dan lainnya. Di era ini pula, pendidikan di masa Jepang hanya sekadar menerapkan disiplin militer dan nyanyian heroik menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia. Padahal, di era ini, justru keterbelakangan dialami masyarakat Banjar. Siapa saja yang melawan Jepang, maka langsung dibunuh Jepang,” ujarnya.

Begitu Jepang menyerah ketika dua kotanya dibom, yakni Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Indonesia pun diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, hingga akhirnya Tanah Banjar menjadi bagian dari NKRI. Dari sinilah, menurut Yusliani, melahirkan rasa keindonesiaan itu ketika perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang ingin diambil kembali NICA Belanda dilawan dengan mengangkat senjata.

“Para pejuang di Tanah Kalimantan yang dimotori tokohnya seperti Hassan Basry yang menjadi Panglima ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan. Di samping itu, ada tokoh perlawanan dari suku Dayak, Tjilik Riwut dengan membangun MN 1001/MTKI di Tanah Banjar. Ini merupakan simbol perlawanan dari Tanah Kalimantan yang diwakili orang Banjar dan Dayak,” tuturnya.

Nah, menurut dia, sejarah terulang ketika aksi perlawanan terhadap penjajah Belanda dilakoni Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati dengan dukungan mayoritas Islam dan sebagian komunitas Kaharingan. “Patut dicatat, dalam aksi perlawanan itu, semua penganut agama terlibat baik Islam, Kristen, Katolik dan Kaharingan-Balian. Inilah kesamaan tanpa lagi membedakan warna suku, agama, dan sosial budaya. Tapi sejarah juga mencatat ada pula keberpihakan dari Sultan Tamjidillah II dibantu tokoh Dayak, Suta Uno yang memihak Belanda. Namun, semua itu kembali pada aspek kepentingan yang berbicara sesuai keadaan dan situasi zaman,” papar Yusliani Noor.

Untuk itu, sejarawan Banjar ini mengingatkan agar bingkai Indonesia sebagai nation sepatutnya mengusung kebersamaan dan kesamaan yang lebih utama, daripada mengekalkan perbedaan yang tak mungkin dinafikkan dalam sebuah bangsa. “Gading memang retak, tapi jangan retaknya yang ditonjolkan, karena retak pada gading merupakan ciri sebuah gading,” ucapnya beranalog.

Yusliani Noor pun mengingatkan tujuan membangun sebuah bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah menuju kesejahteraan. “Sekarang, kita bisa fakta yang ada. Mengapa rakyat gelisah, ya karena adanya ketidakadilan yang terjadi. Contohnya sekarang, subsidi listrik yang seharusnya dinikmati rakyat, malah dicabut. Apa dosanya rakyat menikmati itu? Makanya, jika nanti terjadi superior kekuasaan, maka tak menutup kemungkinan negara ini akan berada dalam jurang kehancuran. Ingat, sejarah pasti akan berulang, ketika kesejahteraan yang menjadi awal berdirinya negara ini tak tercapai,” imbuhnya.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.