Sepenggal Kisah Hidup Dayak Pitap Balangan

0

SUKU Dayak yang tersebar di Kalsel terbagi dalam beberapa kelompok besar. Mereka mendiami pegunungan meratus antara lain di wilayah hulu sungai dan daerah yang berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

POPULASI suku Dayak terbanyak berada di sepanjang kaki Pegunungan Meratus. Secara geografis kawasan Pegunungan Meratus terletak di antara 115°38’00″ hingga 115°52’00″ Bujur Timur dan 2°28’00″ hingga 20°54’00″ Lintang Selatan. Pegunungan ini menjadi bagian dari 8 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu: Hulu Sungai Tengah (HST), Balangan, Hulu Sungai Selatan (HSS), Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar dan Tapin.
Suku dayak terbesar adalah Dayak Meratus atau Suku Dayak Bukit yang terbagi menjadi Dayak Pitap di Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, Dayak Hantakan, di Kecamatan Hantakan dan Dayak Haruyan, di Kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Tengah. Kemudian, Dayak Loksado, di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Dayak Piani, di Kecamatan Piani, Tapin, Dayak Paramasan, di Kecamatan Paramasan, Banjar, Juga ada Dayak Riam Adungan dan Bajuin, di Tanah Laut, Dayak Bangkalaan, di Kecamatan Kelumpang Hulu, Kotabaru serta Dayak Sampanahan, di Kecamatan Sampanahan, Kotabaru.

Dari sekian banyak masyarakat Dayak di wilayah Banua Lima dulunya dan sekarang dikenal dengan Banua Anam karena adanya Kabupaten Balangan yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari HSU salah satunya adalah Dayak Pitap. Kelompok ini tersebar pada daerah pegunungan (hulu) di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan.

Dayak Pitap sendiri ialah nama yang dipakai untuk menyebut salah satu sub etnis dayak meratus yang ada di Kabupaten Balangan tepatnya di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi. Dayak Pitap adalah Masyarakat Adat Dayak yang biasanya dikategorikan sebagai bagian dari suku Dayak Meratus atau suku Dayak Bukit yang mendiami beberapa desa di kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Secara administratif, orang komunitas masyarakat Dayak Pitap berada di 3 Desa yaitu Ajung, Langkap dan Mayanau dari tiga desa ini terdapat 5 kampung besar yaitu Langkap, Iyam, Ajung, Panikin, Kambiyain.

Semula Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. Tapi dengan adanya peraturan sistem pemerintahan desa pada tahun 1979 dibentuk pemerintahan desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap.

Kemudian tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1980 tentang pedoman pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan kelurahan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa . Selanjutnya berdasarkan SK Camat Awayan ( saat itu wilayah Dayak Pitap masih masuk dalam Kecamatan Awayan, Kecamatan Tebing Tinggi masih berupa Perwakilan Kecamatan ) tahun 1993 kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun 1998, Kampung Iyam dan Kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan Kampung Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.

Pada saat sekarang, Desa Dayak Pitap hanya terdiri dari 3 rukun tetangga (RT) yaitu RT I Ajung, RT II Iyam dan RT III Kambiyain, dengan pusat pemerintahannya di Ajung Hulu. Sedangkan, Langkap sekarang menjadi satu desa tersendiri dan Panikin digabungkan dengan Desa Mayanau, Kecamatan Tebing Tinggi.
Secara geografis, wilayah Dayak Pitap berada di bentangan pegunungan Meratus yang terletak antara 115035’55°  sampai 115047’43° bujur timur dan 02025’32° sampai 02035’26° Llntang selatan. Jarak desa ke ibukota kecamatan 35 kilometer, jarak desa ke ibukota Kabupaten mencapai 48 kilometer dan jarak desa ke ibukota Propinsi Kalimantan Selatan sepanjang 231 kilometer. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru , sebelah barat berbatasan dengan Desa Gunung Batu dan Desa Auh Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, sebelah utara berbatasan dengan Halong, Balangan dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Durian, Kotabaru dan KecamatanBatang Alai Selatan, Hulu Sungai Tengah.

Pemerataan pembangunan merupakan hak semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali bagi masyarakat pedalaman yang hidupnya di daerah pegunungan, dan secara geografis cukup sulit untuk dijangkau. Kemudian adanya kebiasaan hidup masyarakat Dayak pitap yang sebagian masih mempertahankan hidup berpindah-pindah, dan hanya tinggal di pondok dekat kebun atau humanya.

Budaya Dayak Pitap Bisa Jadi Potensi Wisata

Sama seperti sub etnis Dayak Meratus lainnya, keberagaman adat-istiadat Dayak Pitap memiliki daya tarik tinggi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya bagi para wisatawan baik lokal maupun luar. Tapi tentu saja dengan catatan jika dikelola dengan sebaik-baiknya. Salah satu yang dapat menjadi aset yang mempunyai nilai jual yang tinggi bagi dunia pariwisata adalah nilai-nilai budaya yang melekat erat dan selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak Pitap yaitu seperti “Prosesi dan Ritual Adat Dayak Pitap” yang mana masyarakat Dayak Pitap yang tidak mau dipisahkan dari alam, yakni hutan tempat mereka hidup dan berkehidupan.

Di antara kebudyaan Dayak Pitap yang bias dijadikan objek wisata budaya adalah Aruh Bawanang yang disebut juga Aruh Ganal. Aruh merupakan salah satu kebudayan yang telah dipercaya sebagai warisan leluhur-leluhur mereka terdahulu (nenek moyang). Di dalam aruh juga terdapat unsur religi yaitu letak religi yang terendah adalah religi asali disebut juga religi bersahaja atau religi primitif.

Tradisi Aruh dalam masyarakat Dayak Pitap merupakan salah satu kebudayaan yang masih bertahan di tengah perkembangan zaman. Dalam kebudayaan ini sangat erat kaitannya terhadap hubungan manusia dengan alam. Tradisi Aruh dapat menyangkut kehidupan sosial dan religi. Makna sosial mengantarkan kita kepada keberadaan kebudayaan tersebut dalam masyarakat Dayak yang menjaga keharmonisan dengan sesama. Sedangkan makna religi dalam tradisi ini memberi bukti hubungan antara manusia dengan hal yang lebih berkuasa dari manusia (transenden), karena alam hadir bukan dibuat oleh manusia. Menghadirkan tiga nilai penting yaitu ungkapan syukur, selamatan, dan keharmonisan.

Selain Aruh, tradisi perkawinan (yang mengambar prosesi perkawinan dalam kehidupan) juga dapat dijadikan komoditas wisata yang dapat dikembang guna mendatangkang wisatawan, sebab dalam prosese dunia perkawinan (nikah) dalam adat dayak meratus biasanya ada enam kategore didalamnya. Misalnya ada istilah Jampi Pa’ung atau perkawinan dasar adalaha perkawinan melalui proses lamaran dan pertunangan terlebih dahulu. Sedangkan, Jampi Barondayan gambaran untuk perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah berstatus duda atau janda, tetapi tetap melalui proses meminang adalagi Jampi Barabutan adalah perkawinan yang terlaksana karena pihak perempuan meminta kepada pengulu adat untuk dikawinkan dan harus melalui tahapan beberapa ketentuan adat.

Selain itu, ada kategori Jampi Kataguran adalah perkawinan karena ditegur atau tertangkap basah (I’gandak) oleh wali asbah lalu dikawinkan. Lain lagi untuk istilah Jampi Ha Lehung atau Ngampang yang merupakan perkawinan yang terjadi karena pihak perempuan hamil diluar nikah dan kategori perkawinan Jampi Huang Wuwu ialah perkawinan antara saudara kandung. Perkawinan ini amat jarang terjadi, namun pernah terjadi pada masa lampau. Ajuga tatacara perkawinan untuk poligami (Bamadu).

Perkawinan bamadu menurut tatacara adat, dilakukan dengan cara pihak istri tua meminang kepada pihak calon istri muda. Bahkan ada juga cara perceraian (sarak) yang dimulai dari gugatan istri atau suami kepada kepala adat meminta adanya perceraian. Tiap tahapan perceraian ataupun rujuk selalu ada ketentuan adat yang harus dipenuhi
Semua kategori perkawinan ini ada ketentuan aturan adatnya, baik itu besaran mahar, denda adat maupun hari penetapan pelaksanaan perkawinannya ataupun proses pelaksanaan sidang adat perkawinan.

Secara keseluruhan dalam hal perkawinan dayak meratus ini diatur lewat sidang adat perkawinan. Dimana ada beberapa rangkaian atau unsur tatacara sidang adat perkawinan yang dimulai dengan, adanya waris (wali asbah), Penyancangan (pimpinan sidang), pembayaran timpah, pembayaran mahar (jujuran), lalu kedua mempelai duduk di pelaminan. Semua hal ini, bias menjadi tidak ternilai harganya jika dibina dan dikelola untuk dijadikan objek wisata budaya.

Selain Prosesi dan Ritual Adat Dayak Pitap, keberadaan peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dayak pitap yang merupakan hasil dari kebudayaan mereka juga bias dijadikan faktor utama maupun faktor pendukung pengembangan wisata budaya di Komunitas Dayak Pitap ini.

Salah satu benda yang bias dijadikan nilai tukar lebih dalam pengembangan pariwisata budaya kedepannya di Dayak Pitap adalah Bakul Arangan (Bakul Anyaman). Kelebihan krajinan Arangan ini adalah keanekaragaman motif anyamannya, dimana keanekaragaman ini bukan hanya sekedar media kreativitas semata, tetapi merupakan aktualisasi dari kehidupan sehari-hari orang dayak meratus baik itu terkait hubungan mereka dengan sesama masyarakat dayak meratus, alam sekitar hingga pada sisi relegi yakni, Ketuhanan.

Dalam pola anyaman yang dibuat ini, biasanya mewakili pengetahuan mereka orang dayak meratus tentang alam sekitar, baik itu berupa flora dan fauna maupun kebiasaan kehidupan sehari-hari. Tapi motif anyaman bisa juga mengambarkan unsur-unsur relegi yang mereka hormati Bahkan, hampir semua aktivitas kehidupan orang dayak meratus, baik itu bercocok tanam, berburu (bagarit), ritual keagamaan (aruh adat/ babalian) acap kali mengunakanan benda hasil anyaman yang didalamnya terdapat motif khusus sesuai kegiatan yang dilangsungkan.

Jadi lewat motif anyaman ini sebetulnya, kita bisa mengenal dari mana dibuat anyaman ini karena mempunyai ciri khas tersendiri. Selain itu,motif anyaman juga memuat suatu cerita/makna didalamnya, sehingga jika kita memahami maka kita dapat mengetahui pesan apa yang terkandung dalam sebuah motif anyaman.
Namun sayang, keanekaragaman motif anyaman khas dayak meratus yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan dayak bukit (orang bukit) ini, belum terdokumentasi dengan baik.

Padahal keanekaraman motif anyaman ini bisa dijadikan salah satu keunggulan atau nilai jual tersendiri guna mendukung kepopuleran kebudayaan dayak meratus baik untuk nilai ekonomi terhadap kerajinan anyaman yang dihasilkan maupun bagi dunia pariwisata di Banua.

Kekayaan adat istiadat yang dimiliki komunitas masyarakat Dayak Pitap sangat menjual dan menarik minat wisatawan. Karena itu potensi ini mesti dikelola dengan profesional. Pengelolaan ini tentu saja memerlukan investasi yang tidak sedikit berupa sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya.
Investasi di bidang sarana dan prasarana meliputi infra struktur yang bagus agar akses wisatawan menjadi lancer.

Selain itu, perlu pula dilakukan pembangunan kawasan hunian masyarakat adat Dayak di satu lokasi tertentu. Sehingga pengelolaannya akan makin mudah disertai pembinaan terhadap sumber daya manusia setempat agar masyarakat adat dapat menampilkan sesuatu yang unik dan menarik wisatawan tanpa harus kehilangan identitas meraka.

Jika potensi ini dikelola dengan maksimal maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik itu bagi masyarakat dayak pitap sendiri maupun masyarakat Balangan. Tapi terpenting, sebelum pengembanggan wisata kebudayaan dayak pitap ini digarap. Harus ada pendataan dan inventarisasi potensi wisata, termasuk kekayaan budaya masyarakat adat Dayak Pitap secara rincin dan komprehensif agar upaya untuk mengelola kekayaan budaya masyarakat adat Dayak Pitap secara profesional dapat segera diwujudkan.(jejakrekam)

Penulis   : Sugianoor

Jurnalis/Aktivis Lingkungan Balangan

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2017/05/08/sepenggal-kisah-hidup-dayak-pitap-balangan/,ajung Dayak Pitap,dayak pitap

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.