Menyelami Mata Air, Air Mata Kalimantan

1

KETIKA Iberamsyah Amandit (74), penyair Jenggot Naga, membacakan sajaknya “Mamang Borneo” dikediamannya, matanya berkaca-kaca sedih dan gundah karena di setiap aliran sajaknya itu adalah kerinduan untuk kembali bermain dengan rumpun pohon Rambai sepanjang sungai Barito tempat ia menghabiskan masa kanak-kanaknya.

BEGITULAH ia mengingatkan bisikan nurani terdalam kita untuk selalu rindu tempat asal, tempat kita bermain bersama kawan-kawan mengguyur badan di sejuk biru sungai, dengan pohon rimbun yang menjuntai, mirip kerinduan hati seorang perantau di ibu kota untuk mudik saat lebaran tiba.

Empat abad lebih umur Kalimantan Selatan dengan silih berganti kepemimpinan. Raja pertama, Sultan Suriansyah ketika masuk Islam, mengutus gurunya – Khatib Dayan – untuk menyampaikan dan pentunjuk kepada rakyatnya dalam menapaki jalan lurus menuju Tuhan. Dengan perahu, ia berlayar diatas permukaan air yang masih jernih, sungai-sungai masih menjadi peradaban tempat berkeluh kesah melepas penat, dan entah seberapa lama Sang Guru berada diatas perahu, tapi yang jelas ia menawarkan jalan terdekat menuju Tuhan.

Andai Anda bertanya pada air disepanjang Sungai Barito yang berwarna coklat tebal itu, kemana ia hendak mengalir, jawabannya adalah dia sedang beradu nasib dengan punggung ditunggangi kapal-kapal Tongkang sepanjang hari-sepanjang malam. Perjalanan panjang kembali menyatu dengan samudera yang bening, ikan-ikan yang asyik berenang dalam tubuhnya adalah damba setiap hari. Laut lepas, bak pelukan sang ibu, senantiasa menunggu dan merindukan kepulangan mereka (sungai-sungai) untuk berkumpul kembali.

Maka, ratusan sungai itu berlomba-lomba menyatu dengan debur ombak dilaut yang jernih, silaturrahim dengan ragam ikan-ikan dan melebur ke tempat dimana asal mula mereka dilahirkan.

Di antara sungai-sungai itu mungkin juga ada yang marah dan murka karena ribuan macam sampah dan penyakit terjangkit dibadannya, sehingga jalannya pelan dan selalu menjadi gunjingan banyak orang. Namun, banyak juga yang bahagia karena airnya bening dengan ikan-ikan cantik hidup berlalulalang, sementara parit dan sawah yang dilewati berucap terimakasih karena menjadi hijau merona.

Namun, seperti apapun kenyataan sungai-sungai di Kalimantan Selatan, semua airnya memiliki the final destination yang sama, kembali bergumul ke laut, meski, mungkin di antara pawai air itu ada yang cukup berputar-putar dan ratusan tahun baru sampai kepelukan samudera.

Wajah sungai, wajah kita

Meski jumlah sungai di Kalimantan Selatan itu mencapai ratusan, tapi saat dilihat lebih dekat, tiap sungai memiliki keunikan tersendiri, masing-masing memiliki nama, lebar, panjang dan kedalaman sendiri. Jenis sampahnya pun berbeda-beda.

Namun, jika Anda naik pesawat dari Bandara Syamsudin Noor (Banjarbaru) ke Bandara Gusti Syamsir Alam (Kotabaru) lalu melihat dari atas, Anda akan melihat bahwa sungai-sungai itu hampir memiliki kesamaan, liuknya berjuang menuju biru laut.

Begitulah, mungkinkah ratusan sungai yang mengalir di ribuan desa itu ibarat rindu mudik saat lebaran tiba? Bukankah kembali kefitrahnya, tanpa kerusakan-kerusakan adalah damba masyarakat di bantaran sungai?

Barangkali, begitu pula sungai Barito, dari Kalimantan Tengah mengalir ke Kalimantan Selatan, apa pun yang terbawa olehnya, manusia tak pernah menolak atas kehadirannya. Manusia senantiasa selalu memanfaatkan airnya, mencuci, berwudhu dan memandikan anak-anaknya.

Di balik keunikan tiap sungai-sungai dengan beragam karakter, liuk dan pohon-pohon dipinggirnya, saat Anda menyelam, pada riak arus bawah tersimpan sejuta kidung kesejukan di dalamnya. Kecipaknya seakan melantunkan sabda alam raya kepada-Nya. Dengan demikian nasib sungai menjadi nasib kita, nasib yang dengan tangan kita akan berubah lebih baik, lalu kita biarkan sungai-sungai itu kembali kefitrahnya.

Damba sungai besar

Seandainya semua sungai di Kalimantan Selatan – lebih-lebih Sungai Barito – dijaga kejernihannya dan bantaran sungai ditata rapi, warga kota ramai-ramai menjaga keindahan dan menjadi kesayangan bersama, niscaya semua orang akan senang melihatnya.

Bahkan, di Kota Banjarmasin sendiri, sungai Martapura menjadi sorotan pemerintah sebagai hiasan dan magnet pariwisata “seribu sungai”. Namun, Sekali lagi, jika sungai-sungai di Kalimantan Selatan bisa kita ajak bicara, niscaya ia ingin kembali jernih, tertata dan tentu kembali keasal mula.

Suka atau tidak, setiap kali naik kapal dari Banjarmasin ke Tamban, mata kita dijejali  batang-batang kayu yang entah berapa lama terendam, dan kita akan juga melihat kapal-kapal Tongkang berseliweran. Mungkin itulah kenapa Sungai Barito nampak lebam, seperti habis dipukul-pukul besi tumpul.

Tapi kita tentu sangat berharap, jika sungai besar ini kita perhatikanseperti anak-anak kita sendiri, bantaran sungaiditanamibunga-bunga yang elok dan setiap hari adalah kewajiban kita merawatnya. Mungkin suatu saat kita tak perlu mencintai sungai itu kembali, tapi cinta itu tumbuh dalam diri kita, sungai-sungai itu mengalir dalam diri kita, sebagaimana esensi air yang ingin kembali kepada laut, berkumpul bersama keluarga dan biru kembali.

Setelah tulisan ini rampung Anda baca, semoga kita bisa mengembalikan metos “Seribu Sungai” menjadi realitas-identitas dan hadir untuk anak-cucu kita kelak, mandi bersama dibawah rimbun pohon nan hijau dengan ikan-ikan yang bisa dipandang dari atas perahu (kolotok), sebagaimana IA membacakan sajak untuk cucunya dengan mata berkaca-kaca, ia tentu rindu tujuh puluh empat tahun silam, semasa kanak-kanaknya menghabiskan liburan, berenang di Sungai Barito yang jernih.(jejakrekam)

Penulis  :  Moh Mahfud

LPM Sukma UIN Antasari

 

 

1 Komentar
  1. Nur Ellyani Selvia berkata

    Keren!!

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.