Sejahterakan Rakyat Dulu, Baru Berpikir Memindahkan Ibukota Negara

0

WACANA pemindahan ibukota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kota Palangkaraya, sudah lama mencuat ketika Presiden pertama Soekarno meletakkan dasar pembangunan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah itu yang berpusat di Desa Pahandut pada 1957 silam. Namun, pro dan kontra masih memanas terkait wacana pemindahan ibukota negara di episentrum Pulau Borneo itu.

BERDASAR hasil riset Andrinof A Chaniago, baik sebelum atau sesudah menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mengungkapkan beban Jakarta yang begitu kompleks ketika menjadi ibukota negara dan pusat pemerintahan.

Bayangkan saja, dengan posisi Palangkaraya yang hanya terdiri dari lima kecamatan yakni Pahandut, Jekan Raya, Bukit Batu, Sebangau, dan Rakumpit dengan luas wilayah mencapai 2.400 kilometer per segi, atau kota terluas di Indonesia atau setara 3,6 kali luas Jakarta.

“Kalau saya melihat wacana pemindahan ibukota negara sebagai pusat pemerintahan dari Jakarta ke Palangkaraya itu harus dilihat dari berbagai sisi. Ini demi agar uang negara yang bernilai triliunan rupiah itu harus dikaji dengan matang,” ujar Yanto Brahma, wartawan senior Kalimantan Selatan kepada jejakrekam.com, Kamis (30/3/2017).

Yanto mengutip hasil kajian dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Dalam Negeri yang menyebut kisaran penghematan anggaran jika ibukota pindah dari Jakarta ke Palangkaraya mencapai Rp 2 triliun. Namun, DPR RI juga berpikir sebaliknya, karena dibutuhkan dana triliunan untuk mempersiapkan infrastruktur di ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.

“Dari sini saja, bisa diukur pemindahan ibukota Republik Indonesia ini ke Palangkaraya memang belum saatnya. Makanya, kita lihat dulu urgensinya, karena wacana semacam ini perlu pemikiran dan kajian yang matang. Sebab, hal itu juga menyangkut status daerah yang akan ditetapkan sebagai daerah khusus ibukota (DKI),” ujar Yanto.

Mantan Pemimpin Redaksi Harian Sinar Kalimantan ini justru melihat yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia sekarang adalah kesejahteraan, bukan wacana yang justru bisa mengalihkan isu-isu ketidakberhasilan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). “Sekarang, kita lihat masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hitung saja, berapa sih pendapatan per kapita rakyat Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia?” tutur Yanto.

Dia membandingkan Malaysia masih menetapkan Kuala Lumpur sebagai ibukota negeri, meski kantor pemerintahan dipindah ke Putra Jaya. “Memindah sebuah ibukota itu tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, pemindahan ibukota negara itu merupakan masalah yang sangat krusial,” ucap keponakan tokoh pers Kalsel, Djok Mentaya ini.

Menurut Yanto, kajian pemindahan ibukota negara ini harus komprehensif, bukan semata diukur dari sisi perekonomian dan politik, tapi juga menyangkut kultur sosial kemasyarakatan dan lainnya. “Jangan sampai begitu diputuskan ibukota negara ini dipindah ke Palangkaraya, justru masih menyisakan masalah. Ya, beban Jakarta memang sangat tinggi baik sebagai pusat pemerintahan dan negara, juga perdagangan dan keuangan, belum lagi topografi wilayahnya yang rentan bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan lainnya,” tutur Yanto.

Ia kembali menekankan pentingnya kajian mendalam agar nantinya pemindahan ibukota Indonesia ini begitu direalisasikan, jangan sampai justru membebani anggaran negara. “Butuh dana yang tak sedikit untuk merealisasikan wacana semacam itu. Jangan sampai memindahkan ibukota negara itu sama dengan memindahkan masalah Jakarta ke Palangkaraya,” pungkas Yanto.(jejakrekam)

Penulis   : Asyikin

Editor     : Didi G Sanusi

Foto        : Dronestagram

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.