Bebani Uang Negara, UU Pemasyarakatan Perlu Direvisi

0

PENGHUNI lembaga masyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) yang ada di seluruh Indonesia berdasar data sistem database pemasyarakatan (SDP) per Rabu (29/3/2017) telah menunjukkan angka yang cukup mengejutkan. Dari 33 provinsi atau Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM tercatat dari 487 lapas dan rutan yang ada, kini dihuni 213.698 orang atau melebihi kapasitas yang tersedia hanya 121.426 orang atau 176 persen.

KHUSUS di wilayah kewenangan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Selatan, terdapat 13 lapas dan rutan yakni Lapas Kelas IIA Banjarmasin, Lapas Kelas IIB Amuntai, Lapas Kelas IIB Kotabaru,  Lapas Kelas III Banjarbaru, Lapas Kelas III Tanjung, Lapas Narkotika Kelas IIA Karang Intan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I Martapura, Rutan Kelas IIB Barabai, Kandangan, Marabahan, Pelaihari, Rantau dan Tanjung. Dari 13 lapas dan rutan itu berdasar data yang terus ter-updated dari SDP mencatat ada 8.303 warga binaan, yang jauh di atas kapasitas tampung hanya 3.247 orang atau sudah overkapasitas mencapai 256 persen.

“Dengan besarnya jumlah penghuni di berbagai lapas dan rutan itu, maka UU Nomor 12 Tahun 1995 itu harus segera direvisi, termasuk perangkat payung hukum lainnya. Sebab, selama ini beban untuk menghidupi para penghuni lapas dan rutan itu ditanggung APBN. Jelas, jika tidak segera berpikir panjang, lama-lama APBN akan terus jebol,” ujar mantan anggota DPRD Kalsel, Anang Rosadi Adenansi kepada jejakrekam.com, Rabu (29/3/2017).

Ia menyarankan agar pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla segera mengajukan usulan revisi UU Pemasyarakatan serta dengan beban yang ada itu, mau tak mau harus menambal kebocoran. “Mustahil pemerataan pembangunan dapat terlaksana, tanpa ada tindakan yang bertanggungjawab dari seorang presiden sebagai pemimpin negara,” ucap Anang Rosadi.

Mengapa? Menurutnya, selama ini tindakan yang dilakukan para penghuni lapas atau rutan itu justru dibebankan kepada rakyat yang tidak tahu menahu atas perbuatan individual itu. “Sudah sepatutnya, biaya makan, hidup dan rehab para narapidana atau tahanan itu dibebankan kepada individu atau keluarganya. Jika mereka tidak mampu, maka negara untuk sementara menalangi. Namun, kewajiban itu tetap harus dibayar para terpidana atau keluarganya yang telah bebas,” kata Anang Rosadi lagi.

Ia mengungkapkan selama ini, semua yang berkaitan dengan urusan hukum dimulai dari penyelidikan, penyidikan hingga pemidanaan justru dibebankan kepada negara Ini belum lagi porsi anggaran yang disuntikkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Seperti para koroptur itu merupakan bentuk keserakahan mereka. Nah, begitu memasuki penyelidikan, penyidikan hingga pemidanaannya semua ditanggung negara,” tutur Anang Rosadi.

Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintahan Jokowi, terkhusus kabinet yang menjalani arah kebijakan itu jangan berpikir terbalik. “Jangan seperti sekarang, usulan itu justru datang dari bawah, sehingga kabinet atau pejabat yang ada di bawah kendali Presiden RI itu justru sulit mengeksekusi kebijakan. Presiden rakyat ini harus tahu bagaiman cara berpikir dalam memberi keadilan kepada rakyat,” tandas Anang Rosadi.(jejakrekam)

Penulis  : Didi G Sanusi

Foto       : Lapas Kelas II B Amuntai

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.