Tambah Dana Bantuan Parpol Dikhawatirkan Picu Keserakahan Oknum

0

USULAN penambahan dana bagi partai politik (parpol) yang disuarakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata demi memininalisir praktik korupsi akibat biaya politik yang mahal, justru menuai pro dan kontra.

DENGAN mengukur kondisi geogradis dan demografis dan kematangan demokrasi, Alexander menilai penambahan dana bagi parpol itu juga memperhatikan keuangan negara dari pusat, provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Rupanya, Komisi II DPR RI dan pemerintah pusat pun mengakuri wacana yang sudah bergulir sejak Oktober 2016 lalu itu. Apalagi, dalam APBN dan termasuk APBD telah dikucurkan bantuan keuangan bagi parpol yang menjadi peraih kursi parlemen pada Pemilu 2014 lalu. Di mana, satu suara dalam Pemilu 2014 lalu dihargai Rp 108 per pemilih.

Bahkan, Alexander juga mengusulkan agar pengusulan kenaikan dana bantuan parpol itu bertahap selama 10 tahun secara proposonal dengan mengacu kepatuhan parpol dalam mengelola dana berasal dari pemerintah seperti 25 persen untuk administrasi kesekretariatan dan 75 untuk prioritas pendidikan politik, rekrutmen, kaderisasi, dan pembenahan tata kelola parpol.  Rekomendasi lembaga anti rasuah itu pun adalah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan bagi Parpol, serta mengubah UU Nomor 2 Tahun 2008 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol, khususnya pengaturan keuangan parpol.

Nah, di mata mantan anggota DPRD Kalsel Anang Rosadi Adenansi justru penambahan bantuan dana parpol yang bernilai triliuan rupiah itu tak akan efektif dalam mencegah korupsi. “Sebab, korupsi itu sebetulnya adalah keserakahan, tanpa dibarengi perlindungan preventif seperti pembatasan transaksi dan beban pembuktian terbalik yang harus diakomodir dalam paket peraturan perundang-undangan,” ujar Anang Rosadi Adenansi kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Sabtu (25/3/2017).

Mantan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini mencontohkan apa yang diterapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang hanya menuntut setelah menjadi terdakwa. “Apalagi, jika sekarang fungsi KPK itu hanya kerjaannya melakukan supervisi, maka tidak menutup kemungkinan interaksi yang ada justru akan berubah menjadi sebuah tindakan terhadap perlindungan kepada para koruptor,” cetus Anang Rosadi Adenansi.

Putra tokoh pers Kalsel Anang Adenansi ini menilai kemampuan KPK dalam menganalisis modus korupsi, hingga kini tidak memadai dengan personil yang ada. “Makanya, sudah sepatutnya KPK itu mendorong pemerintahan Joko Widodo ini untuk melahirkan kebijakan yang konkret untuk meminalisir dan memberantas korupsi,” ujar Anang Rosadi Adenansi.

Caranya bagaimana? Jebolan Universitas Jayabaya Jakarta ini mengusulkan adanya lima langkah praktis untuk mengikis nafsu korupsi bagi siapa pun yang hidup di Indonesia. Menurut Anang Rosadi,  kejujuran tidak bisa diabngun hanya berupa imbauan apalagi menyampaikan ajaran dari kitab suci, tapi harus dibarengi dengan tindakan nyata yang memaksa seseorang untuk mau tak mau bersikap jujur.

“Konsep semacam ini sudah lama dicita-citakan pendiri bangsa ini, Bung Karno dengan konsep keadilan sosial yang mengakomodir konsep kesetaraan dan kesamaan kedudukan dan persaingan yang sehat, bukan seperti sekarang siapa yang dekat di bawah ketiak pejabat, maka dia pasti yang akan menguasai sumber ekonomi,” kata Anang Rosadi.

Ia hakkul yakin dengan pola menambah alokasi anggaran parpol tidak akan pernah bisa menghapus korupsi, karena anggota DPR/DPRD itu satu gen dan satu geng dan menjadi sumber persetujuan penggunaan uang rakyat yang ada di tangan para wakil rakyat. “Ya, istilahnya mustahil setan tidak mendekat dan jangan berlindung bahwa iman seseorang bisa turun naik dan kuat. Sebab, kuat jika diberi sogokan kecil, tapi kalau suapannya kakap tentu saja imannya bisa jebol. Makanya, rakyat juga berhak tahu, jangan sampai KPK justru menghabiskan anggaran negara dan tugasnya hanya pemadaman kebakaran,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis       : Didi GS

Ilustrasi      : Harian Jogja

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.