SASIRANGAN merupakan kain adat dalam kultur budaya etnis Banjar, Kalimantan Selatan. Sasirangan berasal dari dua kata ‘sa’ yang berarti satu dan ‘sirang’ berarti jelujur, berdasar proses pembuatannya, dijelujur, disimpul hingga dicelup untuk pewarnaan yang memiliki arti sakral dalam sejarah awal pembuatannya.
DIKUTIP dari cerita rakyat (sahibul hikayat) serta Hikayat Banjar yang disadur Johanes Jacobus Ras, profesor emeritus bahasa dan satra Jawa asal Universitas Leiden, Belanda, diceritakan pada abad 12 hingga 14, di masa Kerajaan Negara Dipa yang berpusat di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, di kala Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting hingga larut ke muara Sungai Negara. Tetap di Kota Bagantung (kini Rantau, Kabupaten Tapin), sang patih ini mengakhiri masa tapanya, setelah berjumpa dengan seorang wanita di atas pusara air yang dikenal dengan Puteri Junjung Buih. Nah, di atas lanting itu, Patih Lambung Mangkurat menggunakan kain sasirangan sebagai media tapanya dan dipercaya orang pertama yang menggunakan kain sakral ini.
Dari situ akhirnya, kain sasirangan pun menjelma menjadi kain pamintaan atau permintaan. Ya, ketika orang mengidap penyakit tertentu, maka kain sasirangan diyakini menjadi media penyembuh. Tak mengherankan, jika warna sasirangan memiliki nilai historis dan magis bagi sang pemakainya karena digunakan untuk batatamba atau pengobatan.
Dalam tradisi Negara Dipa diteruskan Negara Dipa, hingga berdirinya Kesultanan Banjar di bawah komando Pangeran Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah, kain sasirangan mendapat tempat yang terhormat dalam tutus raja-raja Banjar. Warna kuning yang menghiasi kain sasirangan itu menyimbolkan atau digunakan untuk pengobatan penyakit kuning atau kena wisa atau racun dalam tradisi Banjar.
Kemudian, sasirangan hijau untuk proses penyembuhan penyakit lumpuh (stroke), warna ungu untuk media penyembuhan penyakit perut seperti disentri, kolera dan diare. Lalu, warna merah digunakan untuk sakit kepala atau insomnia (sulit tidur), sedangkan warna hitam dipercaya untuk mengobati penyakit kulit gatal-gatal dan demam. Selanjutnya, coklat menjadi identitas bagi penyembuhan penyakit tekanan jiwa atau stres.
Beragam warna sasirangan ini juga dipengaruhi bahan baku alami yang dipakai seperti kuning dihasilkan dari temulawak dan kunyit, hijau dari jahe dan daun pudak, unggu dari biji buah gandaria (ramania), merah dicomot dari buah mengkudu, lombok merah, gambir atau kesumba (sonokeling), sedangkan hitam dari uar atau kabuau (buah khas pedalaman Kalimantan), serta coklat yang diambil dari kulit buah rambutan atau uar.
Seiring waktu dengan kekayaan pola pikir dan budaya, akhirnya kain pamintaan ini pun memiliki motif yang penuh makna filosofis sendiri. Hewan, tumbuhan serta objek yang ada di alam semesta menjadi inspirasi pembuatan motif kain sasirangan. Secara garis besar, ada 18 motif sasirangan yang menjadi pakem dalam budaya Banjar.
Seperti motif bayam raja yang merupakan atribut sesorang yang bermartabat dan dihormati masyarakat. Lalu, motif kambang kacang yang menggambarkan simbol keakraban. Selanjutnya, daun jaruju yang mengandung unsur tolak bala, tampuk manggis yang bermakna kejujuran karena buah tropis yang digelar pangeran buah ini antara isi buah dan bagian kulit bisa diketahui dengan jelas.
Kemudian, ada motif mayang maurai yang berarti mayang terurai yang digunakan untuk acara bamandi-mandi (mandi-mandi) dalam tradisi adat Banjar bagi wanita yang telah hamil 7 bulan. Dari cerita rakyat Banjar (folkler), naga balimbur pun yang menggambarkan seorang naga sedang mandi di tengah sungai di pagi hari dan berjemur di bawah terik mentari diwujudkan dalam motif kain sasirangan.
Motif selanjutnya adalah ramak sahang yang berarti hancur merica menggambarkan motif hiris pundak ganda, dengan gambar tak senyawa atau terputus. Lalu, motif daun katu yang akrab dengan sayur berkuah khas Banjar digunakan bagi ibu-ibu yang sedang menyusui. Motif sasirangan lainnya adalah bintang sudut ampat, lima, tujuh atau gugusan bintang alias bintang bahambur yagn menggambarkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa dengan bintang yang menghiasi langit semesta.
Dari kue khas Banjar bernama gagatas pun akhirnya mengilhami pembuatan motif sasirangan bernama hiris gagatas yang berarti cantik atau tak pernah bosan untuk terus dipandang. Begitupula, sekuntum bunga yang bernama kambang sasaki pada ornamen arsitektur rumah adat Banjar pun juga menghiasi motif sasirangan. Tumbuhan jamur atau cendawan yang hidup di alam bebas pun dijadikan motif sasirangan yang bernama kulat karikit. Motif ini menggambarkan hidup yang harus mandiri dan tahan menderita tanpa merugikan orang lain.
Ikan khas air tawar rawa-rawa dan sungai di Kalimantan Selatan bernama haruan pun dijadikan motif. Nah, gigi haruan (ikan gabus) ini menjadi motif yang menggambarkan ketajaman berpikir dan paling populer dalam seni mewarnai kain sasirangan. Kemudian, ada pula hiris pudak yang mengadopsi keharuman daun pandan dijadikan motif selanjutnya. Begitupula, hewan yang cerdik dan mitologi bernama ular lidi pun dijadikan motif sasirangan dengan cirri khas garis melengkung serta bervariasi.
Motif selanjutnya adalah kangkung kaumbakan. Dalam kain sasirangan, motif semacam ini digambarkan kankung yang terkena ombak diwujudkan dalam seni menjulur di atas kain putih dan diwarnai sebagai simbol tahan terhadap cobaan atau ujian dalam mengarungi hidup. Masih bertema ombak bernama ombak sinampur karang pun dijadikan motif sasirangan yang berarti bahwa dalam perjuangan hidup manusia pasti akan menemui ombak atau ujian. Terakhir adalah dara mangingang yang dalam tradisi kultur Banjar seorang gadis Banjar selalu disebut galuh yang dulu masih menginang atau memakan siring dengan campuran gambir hingga air liurnya memerah dan menetes dari bibirnya.
Lantas bagaimana dengan kondisi kekinian kain sasirangan di Kalimantan Selatan? Di tengah serbuan kain pabrikan asal Tiongkok dengan motif sasirangan jadi sudah merambah pasar-pasar kain di Banjarmasin dan sekitarnya, anggota Komisi I DPR RI Syaifullah Tamliha menekankan pentingnya agar pendaftaran hak paten dari para pengajin batik sasirangan. “Ini sangat urgensi bagi pengrajin sasirangan khususnya lagi pemerintah daerah untuk segera mempatenkan bahwa kain sasirangan merupakan produk asal Kalsel, seperti batik yang sudah mendunia yang dikenal sebagai produk asal Indonesia,” tutur Syaifullah Tamliha kepada jejakrekam.com, Sabtu (18/3/2017).
Agar mampu menembus pasar nasional bahkan internasional, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI ini berharap agar kualitas produk terutama dari bahan baku serta proses pembuatannya harus berstandar nasional, bahkan internasional. “Sebab, bagaimana pun kain sasirangan masih bersifat home industry. Ini perlu pembinaan lebih terarah dan diperkuat oleh pemerintah daerah agar mampu bersaing di perdagangan konveksi serta fashion di tengah pasar bebas seperti sekarang,” tutur politisi kelahiran Lampihong, Kabupaten Balangan ini.
Masih menurut Syaifullah Tamliha, kini tinggal pemerintah daerah untuk terus menggencar promosi dan memperkenalkan produk sasirangan sebagai asli Indonesia. “Saya sendiri dalam setiap kesempatan seperti saat bertemu dengan tokoh ulama di London, Inggris menyerahkan kain sasirangan sebagai cenderamata. Termasuk, di even-even resmi lainnya, kain sasirangan selalu saya perkenalkan sebagai produk asli Indonesia, khususnya Kalimantan Selatan,” ucapnya.
Mantan Sekretaris DPW PPP Kalsel ini berharap walau ada 18 pakem dalam motif kain sasirangan, bisa saja dengan daya nalar dan inovasi akan lahir motif-motif baru yang lebih atraktif dan menarik. “Ini bisa menggandeng para seniman dan budayawan Banjar agar bisa melahirkan lagi motif-motif yang variatif. Semua ini untuk mengangkat produk khas Banjar ini menjadi mendunia,” imbuh Syaifullah.(jejakrekam)