USIANYA baru 20 tahun, duduk di tingkat persiapan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin. Namun, terjangan peluru karena memperjuangkan nasib rakyat, Hasanuddin Haji Madjedi, harus menjadi martir Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di era peralihan Orde Lama Soekarno ke Orde Baru di bawah komando Soeharto, pada Kamis (10/2/1966) pagi itu.
DARI rumahnya di Jalan Batu Piring Nomor 21 Banjarmasin, Hasanuddin yang akrab disapa Asan di keluarga besarnya itu berpamitan dengan sang ayah, Haji Madjedi. Seorang pegawai kantor gubernuran itu mengizinkan sang anak bergabung dalam aksi demonstrasi yang mengusung tiga tuntutan rakyat (Tritura).
Tuntutan pertama turunkan harga barang, kedua bubarkan Partai Komunis Indnesia (PKI) dan membersihkan kabinet dari antek-antek komunis yang menjadi gelombang tuntutan mahasiswa, pemuda dan pelajar di Indonesia. Walau terlambat sebulan dari aksi serupa di Jakarta, toh mahasiswa-mahasiswa muda Kalimantan Selatan itu benar-benar peka terhadap kondisi yang dihadapi rakyat, karena permainan para tengkulak dalam distribusi beras, gula dan minyak dan condong mencekik leher.
Menuju titik kumpul di kampus ULM di Jalan Lambung Mangkurat (kini jadi kantor Bank Mandiri), Asan pergi cepat-cepat dengan sepeda ontelnya, diboncengi sang kakak. Ia ingin bergabung dengan para seniornya, seperti Mas Abi Karsa (Ketua Periodek KAMI), Gusti Rusdi Effendi, Yusriansyah Aziz, Djok Mentaya, Anang Adenansi, AS Musaffa (Ketua Presidium KAMI), Zainuddin Rais, Djohar Hamid, dan wartawan harian Mimbar Mahasiswa, HM Husni Thamrin.
Benar saja, pagi 10 Februari 1966, sudah ada ribuan mahasiswa baru dan senior berkumpul. Mereka mengenakan baju almamater kebesarannya. Ditandai dengan peci hitam (mirip TNI Angkatan Laut) dan logo Unlam, di sisi kanan peci.
Barisan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI ini, membaur bersama dalam lautan massa yang diperkirakan mencapai 15 ribu demonstran. Mereka tengah mengikuti apel siaga di Lapangan Merdeka (sekarang menjadi halaman Sabilal Muhtadin). Ada sekitar 16 organisasi kemahasiswaan, pelajar dan kemasyarakatan bergabung, terkecuali Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan lainnya.
Massa demonstran ini menuntut kepada Gubernur Kalimantan Selatan, H Aberani Sulaiman, Rektor Universitas Lambung Mangkurat Milono serta disaksikan Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) X/Lambung Mangkurat, Kolonel Sutop Yuwono. Begitu usai menyampaikan tuntutan, massa pun bergerak menuju ke Kantor Konsulat Republik Rakyat Tjina (RRT) yang kini menjadi kantor Ajenrem di Jalan Piere Tendean, Banjarmasin.
Konsulat Tiongkok ini jadi sasaran demonstran, karena diduga menjadi beking para tengkulak atau cukung sembako yang membuat harga melambung naik. Faktanya, akibat mereka yang menguasai jalur-jalur ekonomo, membuat harga sembako meroket. Bahkan, tingkat inflasi bisa mencapai 600 persen atau hyper inflasi. Ini ditambah lagi, Konsulat Tiongkok ini diduga terlibat dalam gerakan pemberontakan komunis, dengan siaran propaganda berhaluan kekiri-kirian yang dipancarkan Radio Viking Hsinhua, saban hari.
Saat menyampaikan aspirasi, petugas Konsulat Tiongkok ini menolak, hingga memicu kericuhan. Ini ditambah, aksi petugas keamanan yang menyemprotkan air dari mesin pemadam air untuk menghalau massa. Hujan suara tembakan dipadu terjangan air, mengguyur semua demonstran. Ada yang jatuh pingsan, dan sebagian besar menjadi korban pemukulan aparat yang represtif.
Ditunjuk sebagai koordinator, Mas Abi Karsa pun menyampaikan surat pernyataan dari KAMI dan segenap massa pendemo. Akhirnya, massa pun membubarkan diri. Ada kesepakatan usai menyampaikan tuntutan ke Konsulat Tiongkok, massa pendemo dari kalangan pelajar disuruh pulang. Sedangkan, arus mahasiswa terbagi lagi dalam dua bagian massa. Sebagian mahasiswa justru bergerak pulang menuju kampus ULM. Sebagian lagi melakukan longmarch melewat Jembatan Dewi menuju kawasan Pasar Baru dan Pasar Sudimampir.
Mengapa para mahasiswa yang tergabung dalam Eksponen 66 itu turun ke jalan? Ya, banyak sumbatan baik di dalam maupun di luar kampus turut memicunya. Terlebih lagi, kuatnya cengkaraman Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan, setelah Amar Hanafiah (Ketua Komisariat PKI Kalsel) mendesak Panglima Amir Mahmud bergabung dalam Dewan Revolusi, bentukan Kolonel Untung.
Nah, begitu tiba pertigaan pasar, teriakan mahasiswa yang menuntut penurunan harga, pembubaran PKI justru makin gencang. Mereka begitu garang menyuarakan tuntutan itu, tepat di depan pertigaan Toko Roti Minseng di Jalan Pangeran Samudera. Rupanya, kehadiran ribuan massa itu, dianggap menganggu stabilitas keamanan.
Hingga pasukan BKO dari Batalyon K Jawa Tengah yang berjaga-jaga, memuntahkan pelu dari senapannya dari ketinggian bangunan. Di tengah situasi yang kian tegang, jatuh tersungkur bersimbah darah sang pahlawan Amanat Pembelaan Rakyat (Ampera) Hasanuddin HM. Terdengar pekikan takbir menggema, seiring itu pula tubuh mungil Asan itu roboh ke tanah.
Asan pun digotong ramai-ramai oleh rekannya menuju ke Klinik Kesehatan Muhammadiyah. Namun, lobang peluru yang bersarang di pinggang belakangnya, terus mengeluarkan darah segar. Rupanya, takdir berbicara lain, Hasanuddin HM menjadi ‘syuhada’ dalam memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas akibat permainan kotor penguasa dan para cukong. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Ulin Banjarmasin.
Seperti tercatat dalam buku Sejarah Banjar yang disusun M Suriansyah Ideham dkk (2003), para pentolan demo seperti Djok Mentaya, AS Musaffa, Anang Adenansi, HA Zainuddin Rais, Djohar Hamid, Mas Abi Karsa, dan HM Husni Thamrin diperintahkan Panglima Daerah Militer (Pangdam) XI/Lambung Mangkurat, Brigjen Sabirin Mochtar untuk ditangkap dan ditahan. Mereka dilepas setelah Orde Baru pimpinan Soeharto berkuasa, menggantikan rezim lama Soekarno yang dianggap terpengaruh dengan gerakan oposan PKI.
Putra almarhum Anang Adenansi, Anang Rosadi Adenansi ingat betul peristiwa penangkapan sang ayah karena termasuk para tokoh yang menggerakkan massa mahasiswa berdemonstrasi itu. “Apa yang dituntut ayah saya bersama ribuan massa itu sangat wajar. Sebab, bagaimana mungkin rakyat bisa hidup di tengah harga barang yang naik di luar kendali. Ini diperparah lagi, kebijakan Orde Lama yang dimanfaatkan segelintir oknum, khususnya para penguasa pasar untuk memainkan harga,” tutur mantan anggota DPRD Kalsel.
Ia mengakui saat itu perekonomian Kalimantan Selatan tengah dikendalikan para pengusaha merah. “Kalau boleh meminjam istilah lama, ya pengusaha non pribumi. Ini dibuktikan dengan toko-toko sembako yang ada di Pasar Baru dikuasai mereka,” ucapnya.
Tak mengherankan, di kalangan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), tak memungkiri adanya istilah “Cina Merah”. Mereka yang dekat dengan ideologi komunis, dengan sentral aktivitas di Gedung Tjung Hua Tjung Hui di Jalan Pangeran Samudera, yang kini telah dirobohkan menjadi areal parkir.
“Pada saat terjadi gejolak di Indonesia, sebagai rentetan aksi G 30 S/PKI, memang ada sebagian warga Tionghoa yang memilih pergi dari Banjarmasin. Sebagian besar ada yang bermukim di Singapura, atau kembali ke Tiongkok,” ujar DR Karlie Hanafi Kalianda, yang kini menjadi anggota DPRD dan pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalsel ini.
Nah, untuk memperingati perjuangan Hasanuddin HM, predikat pahlawan AMPERA pun disematkan. Serupa dengan hal itu, Arif Rahman Hakim dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta juga mendapat gelar kepahlawanan tersebut. Kini, jenazah Hasanuddin HM disemayamkan di Taman Makam Pahlawan, selokasi dengan Pangeran Antasari di kawasan Jalan Masjid Jami Banjarmasin.
Pada Sabtu (18/2/2017), semangat patriotisme Hasanuddin Majedi yang kini namanya diabadikan sebagai nama masjid yang berada di kawasan Jalan Brigjen H Hasan Basry serta gedung olahraga di Jalan Pangeran Antasari serta nama jalan di sekitar Jembatan Dewi, Banjarmasin itu diperingati dalam napak tilas ke-51.
Dalam sambutannya, Gubernur Kalimantan Selatan, H Sahbirin Noor berharap agar tiga tuntutan rakyat yang digaungkan Hasanuddin HM bersama eksponen 66 itu bisa menjadi cambuk pembangunan perekonomian daerah yang pro terhadap rakyat. Begitupula, Rektor ULM Prof DR Sutarto Hadi pun mengingatkan tentang keadaan politik yang tidak stabil, akibat ulah PKI bersama antek-anteknya bisa menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia ke depan. (jejakrekam)