Politik Uang dan Racun Demokrasi
DEMOKRASI adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
TERMINOLOGI demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti pemerintahan. Singkatnya kata demokrasi sering diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau lebih kita kenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (rule of the people).
Dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital. Hal ini dikarekan even pesta rakyat itu merupakan salah satu parameter mengukur demokratis. Pemilu diselenggarakan oleh negara, dan rakyat wajib berpartisipasi dalam menentukan sikapnya dalam memilih calon pemimpin dan wakil mereka.
Di Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, penyelenggaraan pemilu bukan hanya untuk memilih anggota Legiilatif, tapi juga memilih pemimpin bangsa ini, mulai Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), tapi Gubenur, Bupati/Walikota atau dikenal (Pilkada).
Namun permasalahan terbesar dalam melaksanakan demokrasi itu kini adalah menyangkut soal ‘disiplin’ . Pengertian disiplin disini bukan hanya untuk para calon pemimpin,tapi juga rakyat yang menggunakan hak suaranya untuk memilih calon pemimpin yang memang dianggap layak dan pantas menjadi pemimpin.
Ironinya, dalam beberapa dekade pelaksanaan pemilu, baik legilastif dan pilkada ajang ini tidak lagi menjadi sebuah pesta demokrasi dari rakyat, tapi sudah berubah menjadi pesta KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotiesme), di mana money politics atau politik uang tampaknya sudah merajalela.
Masalahanya, karena politik uang disadari hal itu merupakan jurus paling jitu untuk melumpuhkan kedaulatan rakyat dengan memamfaatkan peluang. Ya, karena masih banyaknya rakyat miskin dan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Paling membuat kita miris adalah ketika praktik KKN ini ternyata sudah dimulai dari sejak partai politik.
Terbukti, bagi seseorang yang memiliki duitnya banyak mereka begitu mudahnya `membeli’ partai politik. Bahkan ‘memborong’ banyak partai politik agar diusung atau dicalonkan sebagai calon pemimpin dalam pilkada.,tidak peduli berapapun banyaknya uang yang harus dikeluarkan.
Meski dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia memungkinkan tidak melalui jalur partai politik agar bisa diusung sebagai calon kepala daerah. Namun itupun tidak mudah dan tetap harus mengeluarkan duitnya banyak untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan mengumpulkan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) warga, terutama lagi e-KTP seperti diterapkan dalam beberapa even pilkada.
Adanya fakta itu setidaknya membuktikan bahwa partai politik baik berasaskan nasionalis maupun yang katanya berlandaskan agama tidak lagi mengedepankan bagaimana untuk melahirkan para pemimpin andal dan sesuai dengan kehendak rakyat. Padahal, beban tugas yang diembannya yang diharapkan mampu membawa arah perubahan dan kemajuan.
Menyimak dan mencemarti pelaksanaan pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu kita patut bersyukur berlangsung lancar, aman dan tertib. Namun yang menjadi pertanyaan apakah pesta demokrasi ini sudah benar-benar berjalan bersih serta jujur dan jauh dari adanya praktik haram yaitu politik uang?
Jawabnya barangkali sangat jauh dari kata bersih dan jujur. Masalahnya, pasca pilkada isu bagi-bagi duit atau serangan pajar yang dilakukan dari pasangan calon pilkada, mulai pemilihan Gubernur, Walikota/Bupati sangat kencang berhembus.
Apalagi, dari hasil perhitungan sementara pelaksanaan Pilkada sudah dapat dikira-kira bahkan dipastikan siapa yang menjadi pemenangnya. Sang pemenang adalah pasti yang melakukan serangan fajar alias bagi-bagi duit sebelum pemilih memasuki tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan hak politiknya. Masalahnya karena politik uang tampaknya sudah menjadi racun demokrasi di negara ini.
Dengan adanya fakta demikian, siapapun bagi mereka yang tidak punya uang banyak jangan harap mengimpikan mencalokan diri menjadi kepala daerah karena bakalan tidak ada satupun partai politik yang siap mengusung. Apalagi mengimpikan hasrat politik dalam pelaksanaan Pilkada, bisa terpilih.
Menyadari hal demikian, tentunya ke depan sangat dibutuhkan disiplin dan kesadaran dari rakyat sendiri untuk menenggakan demokrasi. Ya, bagaimana agar hak suaranya hanya diberikan pada orang-orang yang memang pantas untuk dipilih, bukan karena ada iming-iming materi tertentu. Jika tidak, maka siap-siaplah kita untuk kecewa jika pemimpin yang dihasilkanpun adalah wakil rakyat atau pemimpin yang ‘mengkhianati’ kepentingan rakyat. Parahnya lagi, mereka hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan.(jejakrekam)
Penulis : Nida Hidayati
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat