Kisah ‘Lima Naga’ di Tanah Banjar

0

DI BAWAH tekanan komando Orde Lama dan berlanjut gaya reprensif Orde Baru, ternyata etnis Tionghoa mampu keluar dan memenangkan pertarungan di sektor ekonomi.

MIGRASI etnis Tionghoa dipercaya ke Tanah Banjar didominasi para pedagang ulung Tiongkok. Mereka diangkut dengan jong-jong dalam ekspedisi perdagangan dan politik Laksamana Cheng Ho (1405-1433) ke Nusantara. Seorang kasim muslim kepercayaan Yongle dari kaisar ketiga Dinasti Ming (1403-1424) diyakini turut andil melahirkan migran Tiongkok ke Bumi Lambung Mangkurat.

“Usai Cheng Ho, migrasi besar-besaran juga terjadi saat Perang Dunia I dan II, ketika di daratan China terjadi perang saudara antara tentara Tiongkok Daratan berpaham sosialis-komunis Ma Tse Tung dengan Chiang Kai-Shek berideologi nasionalis yang didukung Taiwan,” ujar Penasihat Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PMSTI) DR Karlie Hanafi Kalianda.

Dari sini, baik Tionghoa yang telah lama bermukim dan baru datang membaur. “Mereka menjadi pedagang bahkan pengusaha tangguh di Tanah Banjar,” ucap Karlie.  Karlie yang kini aktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalsel ini mengungkapkan baik di era Kesultanan Banjar maupun kolonial Belanda, hingga berdiri Republik Indonesia, para pedagang Tionghoa sangat berperan vital dalam percaturan niaga.

Dia mencontohkan di era kejayaan perdagangan karet, para pengusaha Tionghoa yang menjadi lokomotif dan penyangga pertumbuhan ekonomi Banjarmasin, hingga mencakup Kalsel dan Kalteng.  Bertempat di sebuah café di kawasan Pasar Baru, tepatnya Pasar Lima  berdiri perkumpulan juragan karet baik etnis Tionghoa maupun saudagar Banjar, terutama dari subsuku Kelua dan Alabio, bernama Sanghai Bar pada 1950 hingga 1970-an. Di sinilah berawal kisah ‘Lima Naga Banjar’ itu merajai sendi-sendi ekonomi ibukota Kalimantan Selatan, dan pengaruhnya juga menyebar ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Dari komunitas pengusaha Tionghoa diwakili perusahaan karet Tap Lie (kini Insan Bonafide), Hok Tong, Ex Liong Hin, Ban Seng, Nang Fong dan Pasaman.

“Dari Sanghai Bar inilah yang menentukan harga karet dunia, terutama pasarnya yang ada di Singapura dan Kuala Lumpur (Malaysia), ketika itu. Sebab, hanya bermodal faxmili, harga karet dunia naik atau turun ditentukan para juragan karet Tanah Banjar,” kenang Karlie.

Namun, nun jauh dari Jakarta, terbit beleid kontroversial lewat Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 Tahun 1959 yang diteken Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero. Regulasi itu berisi larangan bagi orang asing berusaha di bidang eceran di tingkat kabupaten ke bawah, dan wajib mengalihkan kepada warga negara Indonesia. “Saat itu, orang-orang Tionghoa di Banjarmasin memiliki kewarganegaraan ganda, China dan Indonesia. Walau, peraturan ini sempat mengakibatkan warga Tionghoa eksodus ke tanah leluhur, dipicu adanya kerusuhan berbau SARA ditambah peristiwa pemberontakan 30 September 1965 PKI.  Namun, jumlahnya tidak terlalu banyak,” ujar Karlie.

Anggota DPRD Kalsel asal Partai Golkar ini mengungkapkan ketika era kedigjayaan karet Kalsel dan Kalteng ‘terjun payung’, digeser era keemasan industri kayu. Lagi-lagi, para pengusaha keturunan merajai industri kayu dan jadi penyangga ekonomi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah pada 1980-1990-an.

Karlie yang akrab disapa Akang ini mengungkapkan ada ‘lima naga’ perusahaan kayu lapis yang jadi penentu pertumbuhan Kota Banjarmasin dan sekitarnya.  Yakni, PT Tanjung Raya, PT Daya Sakti, PT Antang, PT Barito Pasific, dan PT Wijaya, dikelola pengusaha keturunan Tionghoa. “Untuk dana pembangunan di Kalsel, waktu Gubernur Subarjo Sosroyo, diteruskan Mistar Cokrokusomo, dilanjutkan Gubernur HM Said, perusahaan kayu itu turut andil. Tak hanya sebagai penyumbang pajak, tapi juga kucuran dana bagi pembangunan daerah,” tutur Karlie.

Mantan Direktur PT Barito Pasific Timber mengakui di Tanah Banjar, khususnya Banjarmasin memang bermunculan para taipan kayu Tionghoa. Bahkan, mereka kembali meramaikan kawasan Pacinan (terutama di Jalan Piere Tandean) dengan perkantoran mewah perusahaan kayu. Hingga, banyak bermunculan perkumpulan sosial Tionghoa, seperti Perkumpulan Mulia Sejahtera, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Hippindo dan lainya dalam kerangka pembauran.

Karlie mengingatkan siapa pun, termasuk etnis Tionghoa di Tanah Banjar tetap memegang falsafah ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. “Sebab, kita adalah negara yang menganut Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, yang menghormati pluralisme,” tandas dosen STIH Sultan Adam ini.

Sedangkan, tokoh Tionghoa Banjarmasin, Priyadi Limantara mengakui edikitnya ada 6 ribu marga warga Tionghoa, seiring dengan pembuatan marga baru di tanah rantau. “Seperti orangtua saya merantau ke Indonesia saat berumur 18 tahun, karena sering berkelahi di Tiongkok, sehingga untuk mengamankan diri pergi ke negeri jauh,” ucapnya.

Menurut dosen Universitas Achmad Yani (Uvaya) Banjarmasin, persinggungan budaya Banjar dan Tionghoa itu seperti adanya panganan tempe, kecap dan sebagainya. Walhasil, menu dan pelengkap makanan itu tersuguh di meja-meja Urang Banjar.

Meski begitu, Priyadi Limantara tak memungkiri jika orang Tionghoa sangat ketat dalam soal keuangan, sehingga dikenal dengan sebutan medit atau engken (dalam bahasa Banjar). “Sebab, ada pepatah Tionghoa, kita harus memperhatikan uang, setipis-tipisnya uang kertas, lebih tipis hati manusia. Makanya, saat mengajar, saya sering membuka dompet, begitu melihat duit, saya segar kembali,” ujarnya, terkekeh.

Ia pun mengatakan ketekunan pedagang Tionghoa itu, hanya mampu disaingi para saudagar asal Alabio, yang mampu menguasai pasar-pasar besar di Banjarmasin seperti Pasar Ujung Murung dan Pasar Baru. “Namun, kalau berbicara hemat, tentu orang Tionghoa jauh lebih ketat. Bayangkan saja, kalau orang Alabio bisa makan bubur dengan ikan tering, maka orang Tionghoa jauh lebih ekstrim. Kami memang makan bubur, tapi bukan dengan ikan kering. Ikan itu sengaja digantung di atas meja makan, sambil dilihat sembari membayangkan makanan yang enak. Jadi, jauh lebih hemat,” kata Priyadi, beranalog.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2017/01/20/kisah-lima-naga-di-tanah-banjar/,Naga suku banjar
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.