Perusak Alam Itu Penista Ajaran Agama

0

PARA pemikir ilmu sosial memprediksi agama tak akan lagi jadi pegangan atau berperan di ruang publik. Namun, anasir itu justru bisa terbantahkan dengan makin meningkatnya semangat keagamaan di Indonesia, seakan tak tergantikan.

NILAI-nilai keagamaan, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, dinilai DR Rumadi Ahmad, saat ini baru sebatas pada ritualitas dan simbolik. “Bukan pada substansi agama itu. Padahal, dalam Islam jelas mengajarkan nilai kejujuran. Faktanya, banyak kasus hukum yang terjadi seperti korupsi merupakan sebuah tindakan penistaan agama dari pemeluknya,” ujar dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam Seminar dan Sarasehan Peran Agama di Ruang Publik di Hotel G Sign Banjarmasin, Selasa (17/1/2017).

Seminar yang dihelat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini juga dihadiri beberapa komponen lintas agama, Rumadi menekankan pentingnya menjaga nilai kejujuran dan toleransi antar umat beragama di Indonesia.

“Tindakan seperti korupsi, radikalisme dan narkoba merupakan bentuk penistaan agama yang sebenarnya. Padahal, dalam Islam itu mengajarkan bagaimana menjaga kejujuran itu,” kata Direktur Program The Wahid Institute.

Menurutnya, Islam juga mengajarkan agar tak merusak lingkungan. Namun, faktanya, beber Rumadi, justru kerusakan lingkungan seperti memalak hutan, menambang dengan serampangan, serta tindakan lainnya justru bukti-bukti ajaran agama itu tak dihayati dan diamalkan.

“Padahal, seharusnya ulama-ulama yang ada itu lebih mengajarkan substansi keagamaan, bukan masalah ritual dan simbolik saja. Ya, mengajar bagaimana cara shalat, puasa dan sebagainya itu penting, tapi persoalan yang terjadi pada umat seharusnya dijawab para tokoh-tokoh agama,” ucap Ketua Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU ini.

Rumadi tak memungkiri peran agama saat ini belum begitu maksimal untuk menjawab problema yang dihadapi umat. Hal ini ditambah lagi, dengan adanya tindakan-tindakan yang jauh dari nilai sesungguhnya dari agama. “Sebetulnya dibandingkan dengan Eropa dan Amerika yang longgar soal keagamaan, justru di Indonesia ini jauh lebih kuat. Bahkan, semangat keagamaan jauh lebih tinggi. Buktinya, lihat saja, berapa besar jumlah jamaah haji dan umrah yang bertolak ke Tanah Suci, atau pertumbuhan pembangunan masjid di Indonesia,” ujarnya.

Untuk itu, Rumadi mengajak agar membangun kesadaran bersama, namun kebangkitan beragama itu boleh sebatas simbolik yang bisa mengarah pada intoleransi.  “Artinya, jangan sampai praktik keagamaan yang tidak  toleran kepada orang lain justru paling ditonjolkan,” katanya.

Sedangkan, akademisi IAIN Antasari Banjarmasin, Wahyudin menilai saat ini, sebagian masyarakat kurang tanggap terhadap peristiwa tertentu. Bahkan, kata dia, para pengikut agama bagian dari mekanisme pasar, bagian dari struktur sosial yang sudah terbentuk dan sudah  di bawah cengkraman belenggu ekonomi.

“Peran tokoh agama tidak begitu besar di ruang publik. Harapan saya, mereka menghidupkan kembali dimensi spiritualitas keberagaman yang berwawasan ekososial. Saya tidak mendengar, ada  tokoh agama yang menyatakan secara gamblang dalam khotbahnya tentang bagaimana kita mengkritisi kerusahan lingkungan hidup, ya seperti tambang. Atau pencemaran sungai yang dikonsumsi anak-anak kita. Bagaimana nasib daerah ini, jika tokoh agama tak mengajarkan hal semacam itu,” tutur Wahyudin.

Ia mengutip bahwa Islam dan ekosistem lingkungan itu sangat erat kaitannya. Bahkan, Wahyuddin mengutip pernyataan Ibnu Arabi seorang filsuf Islam yang mengatakan konsep tajjali atau mengenal sang Khalik. “Menurut Ibnu Arabi bahwa alam dan Tuhan itu satu kesatuan. Jadi, kalau sudah merusak alam, berarti tidak menghormati keberadaan Sang Pencipta. Hal ini sudah menjelaskan bagaimana Islam itu punya konsep jelas dalam menghargai alam,” tandas Wahyudin.(jejakrekam)

Penulis : Riza

Editor   : Didi GS

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.