Menggugat UU Jaskon Baru, Instrumen Hukum yang Mengamputasi Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Daerah

0

OIeh : Dr H Subhan Syarief

KEHADIRAN UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon) yang baru mengantikan UU Nomor 18 Tahun 1999, menarik untuk dicermati. Banyak harapan untuk menuju ke arah yang lebih baik muncul ke permukaan.

SAYANGNYA, ternyata tafsiran dan bahkan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah/ Kementerian PUPR tak sadar sering membuat resah pelaku jasa konstruksi, termasuk juga masyarakat jasa konstruksi. Ujungnya, bisa dilihat sejak UU Nomor 2 Tahun 2017 digulirkan dan sampai dengan terbitnya PP Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 201, juga Permen PUPR Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi dan Permen PUPR Nomor 10 tahun 2020 terkait pengaturan Akreditasi ternyata memunculkan riak protes dan keberatan.

Puncaknya, dalam tempo dua tahun sejak terbit ternyata telah muncul tiga kali gugatan hukum terhadap produk aturan tersebut. Dua kali diajukan judisial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan satu kali diajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Lepas siapa yang menang atau dikabulkan dan siapa yang kalah maupun ditolak nantinya, tapi inti yang harusnya dicermati adalah bahwa ternyata UU Nomor 2 tahun 2017 berikut turunannya telah memunculkan masalah yang membuat keberatan dari masyarakat jasa konstruksi.

UU Nomor 2 Tahun 2017 ini juga memberikan paradigma baru dalam pelibatan masyarakat di sektor jasa konstruksi. Di awal pasal ketika berbicara hal asas dan tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi terungkap pada pasal 3 huruf C,  bahwa salah satu tujuan hadirnya UU ini adalah untuk mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi.

BACA : Pembubaran LPJKP, Sudahkah Sesuai dengan UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017?

Bagi yang cermat, tentu kata peningkatan ditafsirkan bahwa kehadiran UU baru dipastikan akan lebih baik dibanding UU lama. Sejatinya, bila ini terjadi, pasti sangat membanggakan dan konsisten klausul pertimbangan kenapa jadi UU Nomor 2 Tahun 2017 hadir mengantikan UU Nomor 18 Tahun 1999.

Pada klausul pertimbangan diungkap UU lama dianggap belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi. Dan berdasar inilah, maka UU No 18 Tahun 1999 digantikan dengan UU Jaskon baru yakni UU Nomor 2/2017 itu.

Sayang, ketika mulai didalami pasal per pasal dari UU Nomor 2 Tahun 2017, terkait hal peningkatan partisipasi masyarakat menjadi sirna. Tujuan mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Banyak pasal yang saling bertentangan, sehingga UU baru ini begitu dikuak dasarnya semakin memperlemah keterlibatan masyarakat dalam pengembangan jasa konstruksi. Terutama, masyarakat jasa konstruksi yang ada di daerah.

Tentu ini aneh sekali, bagaimana bisa UU baru mengantikan UU lama yang tujuannya untuk memperbaiki dan memperkuat, tapi ternyata yang terjadi sebaliknya, pengaturan malahan inkonsisten dan memperlemah peran masyarakat jasa konstruksi terkhusus yang ada di daerah.

BACA JUGA : Membahas Legalitas Penyetaraan SKA UU Jasa Konstruksi dan Sertifikat Kompetensi SKI UU Keinsinyiuran

Hal penyelenggaraan pengembangan jasa konstruksi terkait dengan pelibatan masyarakat yang dulu mendapat tempat utama dalam pengaturan UU Nomor 18 Tahun 1999, justru malah mengejutkan melalui UU Nomor 2 Tahun 2017, terkait peran serta masyarakat jasa konstruksi seolah sengaja terdegradasi dan diambil alih oleh pemerintah. Dalam hal ini Kementerian PUPR.

Menariknya wewenang kementerian ini bahkan sampai bisa merangkap sebagai regulator sekaligus operator. Kementerian PUPR bisa saja membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi bila Asosiasi Profesi dan Lembaga Diklat tidak mampu membentuknya. Dan yang menentukan mampu tidaknya adalah juga wewenang kementerian itu sendiri. Tentu fakta ini memprihatinkan dan dasarnya bertentangan dengan klausul menimbang pada mukaddimah UU dan asas tujuan dari pengaturan Jasa konstruksi.

Fakta lain yang menarik untuk dicermati adanya pengaturan kebijakan mengamputasi keberadaan dan wewenang Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai lembaga refresentatif perwakilan masyarakat jasa konstruksi yang dulunya independen dan mandiri baik yang ada di tingkat nasional ataupun yang ada di tingkat daerah.

LPJK adalah bentuk partisipasi formil masyarakat jasa konstruksi dalam kegiatan pengembangan jasa konstruksi yang di lindungi oleh UU. Dulunya berdasar UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 28 Tahun 2000, ataupun pada PP Nomor 4 Tahun 2010, justru lembaga LPJK ada di tingkat nasional (LPJKN) dan ditingkat daerah (LPJKP).

BACA JUGA : Sebuah Paradoks UU Jasa Konstruksi dan Peran Masyarakat Konstruksi (2-Habis)

Semestinya bila diselami makna utama  pertimbangan dihadirkannya UU Nomor 2 Tahun 2017 di Pasal 1 huruf C yang tegas dan jelas mengatakan bertujuan untuk mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Maka sepatunya mewarnai isi pasal yang ada dalam UU tersebut.

Artinya, bila konsisten antara tujuan dan isi pengaturan pasal per pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tersebut, maka sangat tidak logis bila yang dilakukan malah sebaliknya. Misalnya saja, membatasi gerak langkah LPJK dan bahkan menghapuskan peran LPJKP sebagai salah satu motor utama pengembangan jasa konstruksi di daerah.

Bila konsisten dengan mukaddimah dan tujuan hadirnya UU tersebut, maka bunyi aturan pasal yang digulirkan seyogyanya ke arah semakin memperkuat dan membenahi peran LPJK, baik di nasional ataupun di daerah dalam keterlibatannya mengembangkan jasa konstruksi di negeri ini. Tetapi, karena pasal yang digunakan terkesan ‘bersayap’ maka hal pengaturan LPJK yang kemudian dilimpahkan kepada kementerian, justru ujungnya menuai masalah.

Simak, Pasal 84 ayat (9) UU Jaskon yang menyerahkan hal pengaturan pelimpahan sebagian wewenang pemerintah kepada masyarakat jasa konstruksi berikut hal pembentukan Lembaga kepada Menteri/Peraturan Menteri. Inilah awal dari celah untuk mempermudahkan dan mempercepat melakukan ‘manuver hukum’ yang ujungnya bisa saja tanpa sadar tersisipkan kepentingan tertentu. Bahkan, berbau kontraproduktif bagi keterlibatan masyarakat dalam  pengembangan jasa konstruksi.

Mengacu pada pasal 84 ayat (9) yang kemudian dilegalkan melalui produk Permen PUPR No 9 dan Permen PUPR Nomor 10 yang semuanya dikeluarkan di tahun 2020. Sayang disayangkan adalah tahun terbitnya yang melampaui batas maksimal dua tahun sehingga terindikasi melanggar Pasal 105 UU Nomor 2 Tahun 2017. Kondisi ini berujung terjadinya gugatan hukum/ judisial review di lembaga peradilan tertinggi di negeri ini, yakni Mahkamah Agung (MA).

BACA JUGA : Sebuah Paradoks UU Jasa Konstruksi dan Peran Masyarakat Konstruksi (1)

Menariknya lagi, ternyata Pasal 84 ayat (9) UU Jaskon ini menjadi salah satu pasal yang dihilangkan pada UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang telah ditandatangani Presiden RI.

Pertentangan norma lain yang juga memprihatinkan ada pada Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun 2017. Pasal ini berbunyi : “Dalam Melaksanakan Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat melibatkan Masyarakat Jasa Konstruksi”. Kata atau frasa “dapat”, dalam pasal ini secara filosofis menunjukan bukti ketidakkonsistenan dengan pasal utama yang terdapat di UU Nomor 2 Tahun 2017.

Bahkan, sejatinya pasal ini bertentangan dengan makna asas dan tujuan kehadiran UU Nomor 2  Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang ada di Pasal 3 huruf C yang menjadi salah satu kata kunci dari kewajiban untuk memperkuat peran partisipasi masyarakat dalam sektor jasa konstruksi.

BACA JUGA : Inkonsistensi Makna Pasal dan Ayat UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017

Kata “dapat” bisa di artikan tidak bermakna menjadi “wajib” dilaksanakan. Faktor subjektivitas untuk menyatakan mau melibatkan ataupun tidak sangat kuat tergantung pandangan, persepsi, keinginan dan kemauan pemerintah saja. Dalam hal ini, artinya bila pemerintah mau melibatkan masyarakat ataupun tidak melibatkan masyarakat adalah menjadi wewenang utama mereka untuk memutuskannya. Inilah yang kemudian terjadi pada Pasal 84 UU Nomor 2 Tahun 2017, juga pada turunan PP Nomor 22 Tahun 2020, kemudian Permen PUPR Nomor 9 Tahun 2020 dan Permen Nomor  10 tahun 2020, dimunculkan.

Dari sini, keterlibatan dan peran LPJK pun menjadi terkebiri, baik kewenangannya , kemandirian, independensi dan tugas fungsinya. Bahkan LPJKP sebagai ujung tombak peran masyarakat jasa konstruksi daerah dalam pengembangan jasa konstruksi di daerah telah dihilangkan. Praktis, semua menjadi dikuasai dan dikendalikan Pemerintah, terkhusus Kementerian PUPR. Jadi, pada dasarnya terjadi kemunduran, karena kembali ke era lama sebelum UU Nomor 18 Tahun 1999 berlaku, sebut saja kembali ke era 21 tahun yang lalu. Era ketika semua yang terkait pengaturan dan pengembagan jasa konstruksi hulu dan hilirnya semua dikendalikan Pemerintah/Kementerian PU.

BACA JUGA : Kehadiran UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017, Apakah Harapan Baru atau Masalah Baru?

Dari fakta ini, maka tentu saja perintah Pasal 3 huruf C , hal asas dan tujuan kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2017 yang norma intinya ingin mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang jasa konstruksi dibandingkan dengan yang diatur oleh UU Nomor 18 Tahun 1999 tidak bisa tercapai. Bahkan pada hakuikatnya, UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi berikut semua turunannya, terindikasi melanggar Pasal 105 UU itu sendiri.

Utamanya, terkait regulasi yang pelan tapi pasti akan melumpuhkan peran masyarakat jasa konstruksi untuk memperkuat kemandirian dan independensi dalam keterlibatan mengembangkan jasa konstruksi. Terutama sekali bagi masyarakat jasa konstruksi yang ada di daerah.

Ternyata model sentralistik dan semua akan dikendalikan pemerintah pusat di sektor pengembangan jasa konstruksi telah semakin diperkuat dengan berlindung di balik kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, berikut aturan turunannya.

Dengan kondisi yang diungkapkan d iatas maka sebenarnya apa yang tertulis di awal isi UU Nomor 2 Tahun 2017 , pada klausul MENIMBANG di huruf C dan huruf D bahwa “Sektor Jasa Konstruksi merupakan KEGIATAN MASYARAKAT mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana AKTIVITAS SOSIAL EKONOMI KEMASYARAKATAN guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional, dan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan DINAMIKA PERKEMBANGAN JASA KONSTRUKSI”, pada dasarnya jiwa dari kedua hal ini telah diabaikan.

BACA JUGA : UU Jasa Konstruksi Titik Beratkan Keandalan Bangunan

Padahal klausul kata MENIMBANG dalam awal sebuah UU sebagai bagian pilar pokok yang menjadi jiwa sebuah produk regulasi ini telah ditentang oleh pasal  yang ada di dalam UU itu sendiri. Bahkan aturan turunannya pun turut semakin memperkuat pelanggaran tersebut , termasuk terjadi inkonsistensi,  penurunan kualitas dan kuantitas dari sisi makna pelibatan aktif masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi  yang dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 yang diatur secara mandiri, independen dan bermodel desentralisasi.

Tentu saja, hal ini sangat kontraproduktif dan menterpurukkan kualitas dari UU itu sendiri. Akhirnya, bagi yang ikuti sejarah dan cermat maka kehadiran UU Nomor 2 Tahun 2017 yang ketika awal di sosialisasikan oleh Pemerintah / Kementerian PUPR sebagai UU yang membanggakan, dan juga mampu menjawab persoalan jasa konstruksi serta berfalsafah desentralisasi ternyata hanya sekadar retorika belaka, tanpa didukung fakta.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, peran mandiri masyarakat jasa konstruksi daerah diabaikan bahkan dihilangkan sehingga akhirnya memicu berulang kali gugatan keberatan dari masyarakat jasa konstruksi tentang produk aturan tersebut.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalsel

Doktor Hukum Unissula Semarang

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.