Koalisi Serius Menolak, Pasal Karet Revisi Kedua UU ITE Ancam Kebebasan Berekspresi dan Pers

0

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) telah meneken UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 4 Januari 2024.

PERUBAHAN kedua ini dapat sorotan dariKoalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius). Hal ini karena pada revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.

“Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia,” tulis Koalisi Serius dalam keterangannya, Jumat (12/1/2024).

Koalisi Serius terdiri dari gabungan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS) – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

BACA : Revisi Kedua UU ITE Ancam Kemerdekaan Pers

Kemudian ada pula dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI).

Turut bergabung dalam Koalisi Serius adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) serta Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).

BACA JUGA : Jamin Kemerdekaan Berekspresi, Pemerintah dan DPR Didesak Cabut Pasal-pasal Bermasalah UU ITE

Bagi Koalisi Serius UU ITE di Indonesia merupakan salah satu tren tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

“Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya,” tulis Koalisi Serius.

Sejak awal Koalisi Serius menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia. 

BACA JUGA : Segera Revisi UU ITE, Pedoman Implementasi UU ITE Tak Selesaikan Akar Masalah

Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan UU itu masih memertahankan masalah lama. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.

Pasal tersebut antara lain berbunyi:

Pasal 27B ayat (1) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:

a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.

BACA JUGA : Teguh Santosa: Pertegas Posisi Hukum Karya Jurnalistik di SKB UU ITE

Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,

b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.

Selain itu, ada juga Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

Pasal 28 ayat (3) berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

BACA JUGA : Dalami Kondisi Kejiwaan Pelaku, Polisi Jerat Pemilik Akun @taufikarisandy dengan UU ITE

Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum. 

Sebelumnya, sebanyak 68 organisasi global juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.

Atas hal itu, Koalisi Koalisi Serius menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.

BACA JUGA : UU ITE Bisa Jadi Regulasi Karet, ULM Gelar Lokakarya Bersama Penyidik Kepolisian

Kemudian, mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya. Serta, mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.

Sementara itu, akademisi komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Fahrianoor juga mengajak agar elemen pergerakan dan masyarakat kampus bisa memelototi revisi UU ITE yang telah disahkan.

BACA JUGA : Komunitas Pers Desak Segera Revisi UU ITE

“Ada pasal-pasal yang bermasalah bisa digunakan untuk menghantam dan membungkam suara kritis. Khususnya, kritikan sosial yang bisa dianggap ujaran kebencian, termasuk kerja-kerja jurnalistik. Ini harus dikritisi,” kata Fahrianoor kepada jejakrekam.com, Jumat (12/1/2024).

Menurut dia, hadirnya UU ITE yang sejatinya mengatur soal kejahatan elektronik justru dipakai untuk tujuan yang berbeda, sehingga keberadaan pasal karet bisa digunakan tergantung keinginan pengadu atau penyidik. “Ini yang harus kita kritisi bersama,” ucap doktor lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.