Kisah Persaudaran Raja Banjar-Dayak Maanyan dari Layangan Dandang Salindang Mayang Sari

0

MUSIM kemarau dengan tiupan angin cukup jadi wahana bagi para pencinta olahraga tradisional layang-layang atau kaliyangan dalam bahasa Banjar.

BUKAN layangan kecil atau yang biasa digunakan anak-anak, namun layang-layang besar berukuran 3×4 meter persegi yang disebut dandang dengan hiasan dan motif semenarik mungkin

Menerbangkan layang-layang menjadi tradisi budaya turun temurun yang dijaga oleh warga ‘Hulu Sungai’ khususnya di Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Tengah (HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan, terutama saat memasuki musim kemarau dengan cuaca dan tiupan angin yang mendukung.

Seperti pada Festival Layang-Layang Dandang yang dihelat di Desa Padang Kecamatan Simpur, Kabupaten HSS pada akhir Oktober 2023 lalu.

BACA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Dalam perlombaan ini tak hanya mengadu keindahan layang-layang Dandang, namun juga bunyi yang dihasilkan dari layangan yang disebut Kukumbangan atau suara mirip kumbang terbang, saat diterpa angin kencang.

“Kami bahagia karena Festival Layang-Layang Dandang masih bisa digelar lagi. Sebab, para pencinta layang tak hanya dari Kabupaten Tapin juga datang dari Barabai (HST) dan Rantau (Tapin),” tutur Akhmad Jani, anggota Tim Layang-Layang Dandang Salindang Mayang Sari dari Desa Hariti, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten HSS.

BACA JUGA : Ramuan Nenek Moyang, Aneka Minyak Dayak Maanyan Dipercaya Berkhasiat

Menurut dia, budaya Bedandang atau menerbangkan layang-layang ukuran jumbo dengan hiasan khas merupakan budaya turun temurun di Pahuluan, karena bisa menembus batas usia.

“Sebab, yang bermain layang-layang, khususnya Dandang bukan hanya remaja atau anak-anak, orang dewasa dan orang tua juga bisa ikut bermain,” kata pria yang kini berusia 54 tahun ini.

Dengan layang-layang andalannya Salindang Mayang Sari, Akhmad Jani mengaku bangga karena hasil karya timnya menjadi tontonan menarik para penonton. Dengan keindahan dan keunikan desain layang-layang ukuran jumbo, saat mengudara tinggi juga mengeluarkan bunyi dengungan yang nyaring.

BACA JUGA : Rukyat Era Raja Banjar Sultan Adam; Tetuha Kampung Wajib Lihat Bulan

“Bagi kami menerbangkan layang-layang Dandang, khususnya Selindang Mayang Sari dengan corak dan motif unik merupakan sebuah kebanggaan tersendiri,” tutur Jani.

Menurut dia, layang-layang Salindang Mayang Sari mirip dengan seekor elang dengna ekor berupa selendang panjang nan menarik. Berkibar seperti putri duyung yang berenang di lautan.

Jani menceritakan layang-layang Dandang bermotif Salindang Mayang Sari ini sarat makna karena menggambarkan persaudaran antara Raja Banjar dengan Uria Mapas, penguasa Tanah Maanyan.

“Putri Mayang Sari diangkat saudara oleh Uria Mapas karena kecantikan dan keluhuran budi putri Raja Banjar ini. Usai Uria Mapas mangkat, Putri Mayang Sari yang memimpin daerah Dayak Maanyan,” tutur Jani.

BACA JUGA : Cerita Prof MP Lambut; Persaudaran Dayak Kristen dan Masyarakat Banjar Islam

Di bawah kepemimpinan Putri Mayang Sari terbukti bisa membawakan kesejahteraan bagi masyarakat Maanyan dengan hasil panen melimpah, memerhatikan nasib rakyat hingga mengatur soal pembayaran pajak tak memberatkan rakyat.

“Meski Putri Mayang Sari beragama Islam, namun pemerintahan di Tanah Maanyan tetap menerapkan sistem tradisi Dayak. Hingga, pada 15 Oktober 1615, Putri Mayang Sari meninggal dan dimakamkan secara terhomat di Sangarasi,” cerita Jani.

Selain layang-layang Salindang Mayang Sari, ada pula nama layangan Dandang lainnya seperti Datu Pamulutan, Independen dan lainnya yang menyesuaikan keinginan sang pembuat.(jejakrekam)

Penulis Iwan Sanusi
Editor Siti Nurdianti

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.