Orang ‘Pulau Lada’; Catatan dari Pulau Terpencil (Borneo Manuskrip)

0

Oleh : Setia Budhi, Ph.D

TOME Pires dalam the Suma Oriental yang terbit di London, tahun 1944. Dalam tulisan ini, Pires mengatakan bahwa pada abad ke-15, tersiar kabar dari para pedagang Melayu yang memberitahu orang-orang Eropa, termasuk dirinya tentang kekayaan rempah-rempah yang berada di kawasan timur Indonesia.

LIMA tahun saya tinggal di sebuah pulau kecil di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tiga tahun sesudahnya saya datang secara ulang alik. Pulau ini eksotik dengan ekologi berpantai dan juga daratan ketinggian yang cukup untuk melihat pemandangan laut sekitarnya. Itulah Pulau Sebuku.

Ragam penduduknya juga unik, sebagian Bugis, Mandar dan Banjar. Pulau ini sudah masuk dalam peta zaman kolonial Portugis, Belanda dan Jepang, termasuk dinukilkan dalam Kitab Nagarakartagama.

Sebelum menginjakkan kaki tahun 2012, saya sudah membaca profil pulau ini secara singkat, tetapi tahun 2013 saya paham mengapa Belanda masuk ke Pulau ini. Dan jawaban tepatnya adalah pulau ini penghasil lada.

BACA : Istana Sultan Banjar Mewah Karena Melimpahnya Lada

Saya membandingkan saja pulau ini dengan Pulau Banda di Kepulauan Maluku di Timur Indonesia. Jadi kalau begitu sebenarnya pulau ini lebih tepat disebut sebagai Pulau Lada. Baiklah, cerita tentang perburuan lada patut membaca catatan dari Tome Pires dalam The Suma Oriental yang terbit di London tahun 1944. Pires mengatakan bahwa pada abad ke-15, tersiar kabar dari para pedagang Melayu yang memberitahu kepada orang-orang Eropa, termasuk dirinya tentang kekayaan rempah-rempah berada di kawasan timur Indonesia.

Migrasi

Orang-orang “Pulau Lada” jauh seperti yang kita pikirkan tentang kerukunan, sebagaimana kehidupan mereka telah mengatur tempat tinggal secara berkawasan. Pembagian kampung yang sarat dengan nilai toleransi dan menghargai adat istiadat. Kampung Blambus misalnya mayoritas dihuni oleh Orang Banjar, sementara Kampung Rampa berpenduduk Orang Bugis-Mandar. Migrasi orang Banjar ke berbagai negeri di Nusantara ini memang terus menjadi perdebatan, motivasi ekonomi, pergolakan politik, zaman garumbulan dan pendapat lain yang tidak kalah pentingnya adalah motiv dakwah Islam.

Perburuan rempah akhirnya sampai juga di Banjarmasin dan kemudian menjadi kawasan transsaki tidak hanya Portugis, Belanda tetapi juga China. Kepentingan bisnis dan kekuasaan politik Eropa dan China di Pelabuhan Bandarmasin abad ke 14. Banjarmasin menjadi magninute terpenting yang membuktikan perannya sebagai hub (jaringan) jalur rempah ke Melaka dan Eropa.

BACA JUGA : Ada Lada Nagara, Tanah Laut dan Kayutangi yang Bawa Kemakmuran

Sejarah seharusnya menjadi pelajaran bagaimana kita hari ini, dan dengan itu kita telah diberi pemahaman supaya dapat menyelamatkan diri dan bangsa ini dari hegemoni bangsa lain.

Lalu, bagaimana keadaan sosial ekonomi “Pulau Lada” itu sekarang ? Tentu ini sangat menarik mengaitkannya dengan aspek sosiologi dan antropologi. Jika secara ekologi pulau ini menyimpan ‘kekayaan sejarah”, kita dapat melihat rentak kehidupan sosialnya. Orang-orang “Pulau Lada” ini dalam kehidupan yang rukun walau secara secara etnik memang ada perbedaan.

Orang-orang “Pulau Lada” jauh seperti yang kita pikirkan tentang kerukunan, sebagaimana kehidupan mereka telah mengatur tempat tinggal secara berkawasan. Pembagian kampung yang sarat dengan nilai toleransi dan menghargai adat istiadat.

Kampung Blambus misalnya mayoritas dihuni oleh Orang Banjar, sementara Kampung Rampa berpenduduk Orang Bugis-Mandar. Walaupun begitu, menarik juga keterangan yang diberikan warga yang berasal dari Banjar, apa yang menjadi motivasi mereka datang dan bertempat tinggal di pulau ini.  Dalam bahasa kependudukan tentu pertanyaan itu dikenal dengan faktor pendorong migrasi orang Banjar ke “Pulau Lada”.

BACA JUGA : Ditanam Sejak Sultan Suriansyah, Banjarmasin Pusat Lada Dunia

“Datuk nenek kami datang ke sini, pada zaman garumbulan, cerita dulu itu kampung-kampung di Banjar Pahuluan, banyak yang diobrak-abrik para garumbulan, penculikan, pencurian dan perkelahian. Akirnya warga di Hulu Sungai banyak yang balari, sebagaian balari ke arah barat ke Sumatera dan sebagian lagi balari ke arah timur, termasuk ke pulau ini untuk mencari selamat.”

Logis juga ya, jika migrasi itu disebabkan factor ekonomi tentulah kurang tepat sebab tahun-tahun Garumbulan (1940 an) itu keadaan ekonomi di Banjar Hulu Sungai tidak terlalu parah, pertanian padi masih bagus, bahkan perdagangan dari hasil penyadapan karet masih lancar.

BACA JUGA : Dermaga Muara Bahan dan Kisah Para Pemburu Rempah (3-Habis)

Migrasi orang Banjar ke berbagai negeri di Nusantara ini memang terus menjadi perdebatan, motivasi ekonomi, pergolakan politik, zaman garumbulan dan pendapat lain yang tidak kalah pentingnya adalah motif dakwah Islam.

Terakhir, saya ini ceritakan di sini bahwa jika orang Banjar di kampung Blambus bekerja sebagai menanampadi, sayuran, pisang dan buah buahan (termasuk lada), maka orang-orang Bugis – Mandar di Kampung Rampa bekerja sebagai Nelayan. Pembagian kerja kampong yang sangat bagus dan bernuansa kearifan lokal.

“Jujur haja, buhan kami Banjar ini kada bisa melaut mancari iwak laut, kami kabiasaan bahuma, bataman pisang, sayuran. Itu pang sudah kabudayaan Banjar kami turun timurun”.

BACA JUGA : Dermaga Muara Bahan dan Kisah Para Pemburu Rempah (2)

Tahun 2019, saya secara permanen meninggalkan “Pulau Lada” ini, walaupun demikian kontak dengan para tokoh masyarakat, kepala desa dan pemuda masih berterusan sampai hari ini.

Tentu saja pulau yang banyak penyimpan potensi perikanan laut dan potensi pertanian dan peternakan pasti mampu menafkahi seluruh warga di pulau ini. Pengelolaan pertanian secara baik di Kampung Blambus hasilnya untuk konsumsi warga pulau, dan itu akan mengurangi ketergantungan pasokan sembako berasdari Pulau Laut -Kotabaru. Sebaliknya hasil perikanan laut juga untuk memenuhi nutrisi warganya. Jangan lupa, potensi peternakan pulau ini masih cukup besar, saya dapat melihat penduduk mengembalakan

BACA JUGA : Dermaga Muara Bahan dan Kisah Para Pemburu Rempah (1)

kerbau rawa yang jumlahnya mungkin mencapai lebih 100 ekor. Di habitat asalnya Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), para peternak kerbau rawa disebut sebagai Orang Sugih, sebab dengan ternak itu mereka dapat pergi menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci.

Dengan memaksimalkan potensi laut, pertanian, peternakan yang dianugerahkan Tuhan untuk masyarakat Pulau Sebuku ini, sudah pasti dapat mempertahankan ekologi dan kelestrarian lingkungan pulau dari generasi ke generasi penerusnya.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar Prodi Sosiologi FISIP ULM

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.