Mitigasi Pandemi, The Power of Tetangga

0

Oleh: Dr. MS Shiddiq, S.Ag, M.Si

THE Chinese use two brush strokes to write the word ‘crisis.’ One brush stroke stands for danger; the other for opportunity. In a crisis, be aware of the danger–but recognize the opportunity.”  (John F. Kennedy, politikus dan presiden ke-35 Amerika Serikat (1917-1963).

DISKURSUS soal pandemi Covid-19 tampaknya belum berhenti. Solusi dan strategi menghadapi pandemi ini sudah banyak diurai beragam pakar dan keahlian.

Mulai dari perspektif medis dan kesehatan masyarakat, sosio-kultutal dan lingkungan, komunikasi dan kebijakan publik hingga filsafat dan agama. Semua mencoba membaca, menafsir, menguraikan dengan narasi berbeda tetapi dengan substansi yang sama.

Sementara itu masyarakat semakin gusar, sebab penetrasi kebijakan mitigasi bencana yang sudah dibuat Pemerintah Pusat tampaknya kurang cerdas diaplikasikan para kepala daerah. Akibatnya, masyarakat semakin terpuruk dalam pandemi.

Dunia usaha, sektor jasa, industri, manufaktur hingga ekonomi mikro  dan UMKM yang pada era krisis biasanya tahan banting dipaksa mati suri oleh keadaan yang tidak menentu ini.

Kondisi menjadi semakin parah ketika masyarakat dihadapkan pada drama-turgi lemahnya komunikasi para pemangku kebijakan (stakeholder), yang oleh Charles Berger dan Richard Calabrese (1975) menyebabkan ketidakpastian, kapan dan kemana pandemi Covid-19 ini akan berujung.

BACA : Tangani Virus Corona, Pemkab HSU Gelontorkan Dana Hingga Rp 200 Miliar

Pertanyaannya retorisnya kemudian adalah, apa yang bisa kita lakukan di masa krisis ini? Menghadapinya dengan penuh kepanikan atau menemukan peluang dan solusi sebagai manifestasi kesalehan sosial kita sekecil apapun itu?

Tsunami Kemanusiaan

Covid-19 muncul bagai tsunami yang meluluh-lantakkan keteraturan sistem yang dibangun manusia dunia, tak terkecuali Indonesia. Tradisi manusia dunia yang sejatinya saling membutuhkan dalam interaksi sosial, kultural, ekonomi dan politik, dipaksa untuk saling mencurigai antara yang satu dengan yang lain–kalau tidak disebut mewaspadai, karena tak hendak ditulari.

Tempat ibadah kini mulai tak berpenghuni. Ramadhan yang datang bertepatan saat pandemi; surau, langgar, mushalla dan masjid mulai dijauhi. Pun demikian pula faktanya dengan jemaat gereja, vihara, pura dan pusat keramaian umat beragama. Semua seolah mengunci diri dengan hashtag “dirumahsaja”.

Para pengusaha; mall, restoran, ritel, hotel bahkan pasar-pasar tradisonal makin menjerit. Daya beli masyarakat terjun bebas ke dasar jurang yang teramat dalam. Krisis di era pandemi covid-19 ini kalau dibiarkan bisa membuat masyarakat prustasi, karena banyak yang terpaksa dirumahkan, kalaupun tetap bekerja harus siap dengan gaji yang dipotong separuhnya.

BACA JUGA : Kunci Sukses Pelaksanaan PSBB di Kota Banjarmasin

Bisa jadi ini menyebabkan lonjakan pengangguran dan peningkatan angka kemiskinan. Lebih jauh lagi, mungkin saja ini adalah bom waktu yang berpotensi menyebabkan meningkatnya angka kejahatan.

Hasil penelitian Center for Indonesian Democracy Studies (CIDES) Institute menyebutkan, jika pada medio Januari – Maret 2020 jumlah penduduk golongan rentan miskin dan hampir miskin di Indonesia lebih dari 68,3 juta jiwa, atau hampir tiga kali lipat jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan (golongan miskin dan sangat miskin). Sebagian besar dari golongan ini bekerja di sektor informal, termasuk yang mengandalkan upah harian.

Jadi, kalau prediksi para ahli virus benar pandemi ini akan berlangsung hingga enam bulan bahkan mungkin lebih, angka pengangguran dan kemiskinan pasti lebih besar lagi dari itu. Dan yang paling terdampak adalah masyarakat kecil dan ekonomi lemah. 

Ujian Kesalehan Sosial

Para pengusaha meskipun juga mengalami krisis, sebagian besar masih dapat bertahan melakukan mitigasi secara mandiri hingga enam bulan ke depan. Tapi coba kita bayangkan masyarakat yang bekerja di sektor informal termasuk yang mengandalkan upah harian, para petani, nelayan yang penghasilannya tidak mementu, dapat dipastikan akan mengalami krisis parah, bahkan mungkin memasuki gerbang kelaparan.

World Food Programme (WFP) menyebut, pada 2020 masyarakat yang menderita kelaparan terancam meningkat hingga 265 juta orang. Setengah dari jumlah itu akibat pandemi covid-19. Dan yakin saja, data itu terjadi di negara kita.

Masih ingat cerita tragis Yuli, seorang ibu rumah tangga yang memiliki empat orang di Serang Banten yang mati kelaparan karena dua harian tidak makan (KompasTv, 19/04/20)? Mungkin saja, ledakan kelaparan dampak pandemi ini bisa melebihi dampak krisis 1998. Artinya, kita tak boleh berdiam diri membiarkan itu terjadi.

BACA JUGA : Selama PSBB, Kapolda Kalsel Jamin Pos Perbatasan Kota Banjarmasin Dijaga Ketat

Meskipun pemerintah sudah membuat stimulus kebijakan fiskal dengan alokasi anggaran Rp405,1 triliunan, melalui APBN/APBD, relaksasi pajak, bea cukai dan retribusi daerah maupun kebijakan moneter melalui restrukturisai kredit dan kebijakan lainnya, tapi tampaknya masih kurang efektif.

Demikian pula kebijakan program jaringan pengaman sosial (social savety net) yang sudah dibuat tampaknya tidak berjalan mulus, karena belum direformulasi sesuai kondisi pandemi saat ini.

Di tengah kecurigaan banyak pihak bahwa anggaran besar yang sudah disiapkan itu potensial disalahgunakan, karena lemahnya pengawasan dan kurangnya koordinasi antar instansi dalam penyaluran bantuan, ditambah tumpang-tindihnya data penerima bantuan dan buruknya kinerja birokrasi kita, maka dibutuhkan kekuatan bersama untuk bisa bertahan dan keluar dari pandemi ini.

BACA JUGA : Rezim PSBB dan Herd Immunity

Momen Ramadhan kali ini yang bertepatan dengan pandemi wabah seratus tahunan ini, harusnya membangunkan kembali kesadaran kebersamaan dan solidaritas kita sebagai bangsa. Inilah ujian kesalehan sosial sebenarnya.

Kita harus saling berangkulan, bergandengan tangan, jangan biarkan saudara kita kelaparan. Peristiwa meninggalnya Yuli sama sekali tak boleh terjadi lagi di negara yang punya julukan gemah ripah loh jinawi ini.

Penulis sepakat dengan jalan pikir Suhendro Boroma dalam tulisannya The Winner Will Be Human Immunity(Radar Banjarmasin, Kamis (30/04/20), kalau situasi pandemi ini dianalogikan sebagai perang, dan musuh bersama kita adalah covid-19, maka “daya tahan tubuh”-lah yang menjadi senjata untuk melawannya.

Daya tahan tubuh dihasilkan dari asupan makanan dan gizi yang cukup dan tepat. Logikanya, daya tahan tubuh kita menjadi lemah serta potensial terpapar covid-19 jika kita kekurangan makanan apalagi sampai kelaparan.

Lalu, siapa yang bertanggung-jawab melakukan dan bagaimana memulainya? Jawabannya adalah kita. Dan kita harus berani memulainya dengan cara memperhatikan lingkungan tetangga kanan kiri kita. Jangan sungkan bertanya apakah masih ada persediaan makanan atau tidak, dan tak perlu pula malu mengakuinya jika memang berada di posisi yang serba tidak berpunya.

Penulis jadi teringat cerita seorang kawan, Santi Indra Astuti, mahasiswa asal Bandung yang sedang mengambil gelar doktor komunikasi di University Sains Malaysia, yang mengaku merasa terhibur meskipun tak bisa keluar karena kebijakan karantina wilayah di negara jiran tersebut.

Santi bertutur setiap pagi dipintu kamarnya tergantung satu paket sembako lengkap dengan sayur mayurnya. Kita dapat pula meniru cara ibu-ibu di beberapa daerah yang setiap hari menggantung di pagar rumahnya beberapa paket sembako dan mie instan dan membiarkan siapa saja mengambilnya.

Penulis juga sangat terkesan dengan gerakan lintas komunitas dan lembaga di sejumlah daerah yang bergerak tanpa dikomando menggalang dukungan dan donasi untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

Pada situasi krisis seperti sekarang, mitigasi mandiri sangatlah penting. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah kepedulian kita pada lingkungan di sekitar kita. Kepedulian pada orang di sekitar kita, sejatinya membuktikan kualitas keimanan seseorang pada Tuhannya.

Nabi Muhammad SAW bahkan menegaskan, “Tidak beriman seseorang di antara kalian (umat Islam) yang dirinya kekeyangan tetapi tega membiarkan saudaranya (mati) kelaparan” (HR Bukhari).

Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini seperti laiknya situasi krisis menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi kita sebagai warga bangsa. Kita memilih menghadapinya dengan perasaan was-was dan ketakutan berlebihan. Atau, kita memilih untuk melawannya dengan cara mencari peluang. Peluang terbaik kita adalah menabur kabajika tanpa harus mencari-cari kambing hitam.

Kita dapat keluar sebagai pemenang dari krisis ini sangat bergantung pada apa kontribusi yang bisa kita berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Inilah solusi melawan covid-19, inilah mitigasi pandemi, The Power of Tetangga. Selamat menjalankan ibadah puasa. Wallahu A’lam.(jejakrekam)

Penulis adalah Direktur Eksekutif Islamic World for Peace (IWP) Indonesia, Peneliti CIDES Institute, Doktor Komunikasi Politik, Peminat Masalah Sosial Kemasyarakatan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.