Nakes Korban Kebiadaan Teroris KBB, Pelanggaran Hukum Internasional (1)

0

Oleh :  Abd Halim

TANAH Papua masih belum juga dapat lepas dari serangkaian konflik bersenjata. Dari sejak era Orde Baru hingga Reformasi telah berjalan, rangkaian kejadian kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok separatis pendukung kemerdekaan Papua masih terus terjadi. Tak sedikit warga sipil yang justru jadi korban. 

BERAGAM upaya pendekatan oleh pemerintah dari lintas Presiden, hingga terakhir oleh Presiden Joko Widodo, masih belum mampu menekan konflik di Bumi Papua. Motif kekerasan semakin beragam. Tak hanya bermula dari isu kemerdekaan saja, tapi juga rasisme yang masih kerap menjangkit.

Beberapa hari yang lalu,  sejumlah tenaga kesehatan diserang oleh Kelompok Teroris Papua di Distrik Kiwirok. Sebagaian mereka bisa melarikan diri, namun sebagian lagi dianiaya oleh  Kelompok Teroris Papua.  Dua tenaga kesehatan dilaporkan sempat hilang pasca penyerangan tersebut.

Mereka kemudian ditemukan di jurang kedalaman 30 meter. Salah satu di antaranya meninggal dunia. Penyerangan Puskesmas di Distrik Kiwirok terjadi pada Senin (13/9/2021). Kerusuhan Papua tak hanya sekali, suatu kejadian yang beberapa kali terulang dengan berbagai trigger. Tentunya sebagai warga negara tidak ada satu orang pun yang menginginkan hal ini terjadi. Pemerintah yang dianggap lebih mengetahui dan memahami kondisi Papua tidak cukup melakukan antisipasi terhadap kejadian yang mungkin banyak memakan korban, termasuk tenaga medis.

Hak Perlindungan Keamanan dalam Wilayah Konflik.

Perang atau sengketa bersenjata adalah langkah yang sah untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketika cara-cara damai sudah tidak dapat lagi menemukan jalan keluar. Sengketa bersenjata mendapatkan pengaturan dalam beberapa  konvensi, seperti Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.

Sebuah sengketa bersenjata pasti akan membawa kesengsaraan  yang luar biasa pada umat mausia. Berjuta-juta orang, baik militer maupun sipil  menjadi korban. Akibat dari sengketa bersenjata adalah timbul banyaknya korban, maka sangat dibutuhkan petugas medis untuk memberikan pertolongan dan perawatan bagi korban perang.

BACA : Tragedi Kemanusiaan Kematian Dokter di Tengah Wabah Covid-19

Namun dalam kenyataannya masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap petugas medis. Para petugas medis sengaja dijadikan sasaran serangan oleh para pihak yang bersengketa, padahal dalam Konvensi Jenewa I 1949 dan Protokol Tambahan 1977 telah jelas mengatakan bahwa petugas medis harus selalu dihormati dan dilindungi dan tidak boleh dijadikan obyek serangan.

Perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik memang diatur dalam Konvensi Jenewa pertama tanggal 12 Agustus 1949 (“Konvensi Jenewa”), di antaranya dalam Bab IV tentang Anggota Dinas Kesehatan. Pada dasarnya, mengutip penjelasan halaman 7 buku “Ringkasan Konvensi-Konvensi Jenewa Tertanggal 12 Agustus 1949 Serta Protokol-Protokol Tambahannya” yang diterbitkan oleh Komite Internasional Palang Merah, demi kepentingan orang-orang yang cedera, sakit dan korban kapal karam, setiap kesatuan medis, baik militer maupun sipil, yang berada dibawah kekuasaan pihak yang berwenang harus dilindungi.

Lebih lanjut, pengaturan mengenai perlindungan terhadap petugas kesehatan dalam medan perang dapat ditemui dalam pasal-pasal Konvensi Jenewa dan Protokol tambahannya. Misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 11, Pasal 24-27, Pasal 36, dan Pasal 37 Konvensi Jenewa maka petugas kesehatan harus dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan, di antaranya mencakup:

• Seseorang yang ditugaskan, baik permanen maupun sementara, semata-mata untuk pekerjaan medis (mencari, mengumpulkan, mengangkut, membuat diagnosa dan merawat orang yang cedera, sakit, korban kapal karam dan untuk mencegah penyakit). Mereka itu adalah dokter, perawat, jururawat, pembawa usungan.

• Seseorang yang ditugaskan, baik permanen maupun sementara, semata-mata untuk mengelola atau menyelenggarakan kesatuan medis atau pengangkutan medis. Mereka itu adalah administrator, pengemudi, juru masak dan lain-lain.

BACA JUGA : Tindak Kekerasan terhadap Dokter dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

Ketentuan tersebut juga dijelaskan di dalam Konvensi Jenewa I 1949 Bab III Pasal 19 yang menerangkan bahwa bangunan-bangunan tetap dan kesatuan kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan dalam keadaan apapun tidak boleh  diserang, tetapi selalu harus dihormati dan dilindungi oleh pihak-pihak dalam sengketa.

Pasal 21 juga menerangkan bahwa perlindungan dari serangan yang merupakan hak dari bangunan-bangunan tetap dan kesatuan-kesatuan kesehatan bergerak dari dinas kesehatan, tidak akan berakhir, kecuali jika bangunan-bangunan  dan kesatuan-kesatuan dipergunakan  untuk melakukan perbuatan-perbuatan diluar kewajiban-kewajiban perikemanusiaan mereka yang merugikan musuh.

Penyerangan terhadap petugas medis merupakan sebuah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional, dimana para petugas medis seharusnya mendapat perlindungan dan dihormati dalam keadaan apapun. Perlindungan  terhadap para Petugas Medis diatur di dalam Pasal 24, Pasal 25 dan Pasal 26  Konvensi Jenewa I, dan Pasal 9 dan Pasal 10 Protokol Tambahan II.

Telah diterangkan di dalam Pasal 9 Protokol Tambahan II 1977 bahwa anggota-anggota  dinas kesehatan harus dihormati dan dilindungi, dan harus diberi segala bantuan  yang tersedia bagi pelaksanaan kewajiban-kewajiban mereka dan tidak boleh dipaksa untuk melakukan tugas-tugas yang tidak sesuai dengan misi kemanusiaan mereka, serta tidak dapat diminta untuk memberikan pengutamaan (prioritas) kepada siapapun juga kecuali atas dasar medis (medical ground).

BACA JUGA : Tindak Pidana Perusakan Fasilitas RS, Apa Sikap IDI? (2)

Semua penyerangan yang ditujukan pada semua perangkat dan kesatuan tenaga medis serta anggota-anggota dinas kesehatan hanya bertujuan agar para petugas medis dan kesatuan-kesatuan medis tidak dapat menolong dan mengobati para korban perang yang membutuhkan pertolongan medis. Hal ini juga dijelaskan dalam Konvensi Jenewa I 1949 Pasal Protokol Tambahan I 1977 Pasal 12 Ayat 1 untuk sengketa bersenjata internasional dan Protokol Tambahan II 1977 Pasal 11 Ayat (1) untuk sengketa bersenjata non internasonal : Medical units and transports shall be respected and protected at all times and shall not be the   object of attack . Yang menyatakan bahwa kesatuan-kesatuan dan angkutan-angkutan kesehatan harus dihormati dan dilindungi setiap waktu dan tidak boleh menjadi obyek serangan.

Berdasarkan Hukum Internasional mengenai lambang petugas medis diatur di dalam:

1. Konvensi Jenewa I 1949 Pasal 38 sampai dengan Pasal 44, Pasal 53 dan Pasal 54

2. Konvensi Jenewa II 1949 Pasal 41 sampai dengan Pasal 45

3. Konvensi Jenewa IV 1949 Pasal 18 sampai dengan Pasal 22

4. Protokol Tambahan I 1977 Pasal 18, Pasal 85 dan Annex I Pasal 1 sampai dengan Pasal 5

5. Protokol Tambahan II 1977 Pasal 12

6. Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent By the National Societies (disetujui dalam the 20th International Conference, Wina 1965 dan direvisi oleh the Council of Delegates, Budapest 1991).

Lambang-lambang yang dikenal dan diakui di daerah konflik yang tercantum dalam Bab VII Pasal 38 Konvensi Jenewa I mengenai lambang pengenal, berbunyi bahwa sebagai penghargaan terhadap negara Swiss, maka lambang pusaka palang merah di atas dasar putih, yang terbentuk dengan cara membalikkan warna-warna bendera federal, dipertahankan sebagai lambang dari dinas kesehatan angkatan perang. Walaupun demikian, bagi negara-negara yang sebagai pengganti palang merah telah memakai lambang bulan sabit merah atau singa dan matahari merah atas dasar putih, lambang-lambang tersebut juga diakui dalam ketentuan-ketentuan konvensi ini.

Berdasarkan pasal tersebut maka Konvensi Jenewa mengenal dan mengakui tiga lambang, yaitu: Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Singa dan Matahari Merah. Akan tetapi, yang sekarang digunakan hanyalah Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. (jejakrekam/bersambung)

KKB (Teroris) Papua :  Pelanggaran Berat

Penyerangan terhadap petugas medis, rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya tidak dibenarkan di dalam Hukum Humaniter Internasional. Konvensi Jenewa dan Protokol tambahannya telah menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut telah dilarang dan merupakan suatu pelanggaran terhadap konvensi.

Berbagai pelanggaran terhadap petugas medis tersebut merupakan salah satu jenis pelanggaran berat seperti yang disebutkan di dalam Konvensi Jenewa I Pasal 50, Konvensi Jenewa III Pasal 130, Kovensi Jenewa IV Pasal 147 dan Protokol Tambahan I Pasal 85 ayat (2).  Dalam Konvensi Jenewa I Pasal 50, Konvensi Jenewa III Pasal 130, Konvensi Jenewa IV Pasal 147, menyebutkan bahwa Dimana pelanggaran berat yang dimaksudkan adalah pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, dan apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh Konvensi.

BACA JUGA : Damage Control; Darurat Kematian Dokter dan Nakes Akibat Covid-19

Dalam Pasal 85 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977 menyatakan bahwa tindakan yang dinyatakan sebagai pelanggaran berat dalam Konvensi merupakan pula pelanggaran berat dalam Protokol, bila dilakukan terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam kekuasaan suatu pihak lawan yang dilindungi oleh pasal-pasal 44, 45 dan 73 Protokol, atau terhadap yang luka-luka sakit dan korban-korban dari pihak lawan yang dilindungi oleh Protokol ini, atau terhadap anggota-anggota dinas kesehatan atau dinas keagamaan, satuan-satuan kesehatan atau angkutan angkutan kesehatan yang berada dibawah pengawasan Pihak lawan dan harus dilindungi oleh Protokol ini.

Kepada para petugas medis, selama mereka mempertahankan kenetralannya dan merawat semua pasien tanpa melihat politik, agama atau etnis mereka, maka dilarang untuk melakukan penyerangan. Lambang-lambang perlindungan perlindungan seperti palang merah dan bulan sabit merah diberlakukan untuk mengidentifikasi dengan jelas instalasi, kendaraan dan personil medis sebagai entitas yang dilindungi.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama/Pembina Utama Madya

Wakil Ketua Komisi Etik dan Hukum RSDI Banjarbaru

Ceo dan Owner KLINIK UTAMA HALIM MEDIKA

Candidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA dan CLA

Anggota Kongres Advokat Indonesia KAI dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia IPHI

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel. Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI).

Anggota Perhimpunan Profesi Mediator Indonesia (PPHI)

Ketua Harian Perkumpulan Profesional Hypnotherapy Indonesia (PPHI) Pusat

Ceo dan owner PT RADJAGO APLIKASI INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.