Sumpah Pemuda, Sumpah Serapah dan Tergerusnya Rumah Idealisme Kebangsaan

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

KEMARIN 28 Oktober 2021 sebagai hari Sumpah Pemuda yang digelorakan pemudi-pemudi Indonesia pada 28 Oktober 2028. Gelora nasionalisme 93 tahun itu sebagai komitmen nasionalisme sebagai bentuk kesaksian sejarah di hadapan hegemoni kolonialisme yang telah merobek-robek marwah, martabat dan jati diri rakyat Indonesia.

SENSITIVITAS sosial dan politik dari pemuda Indonesia sebagai wujud pemberontakan terhadap kolonialisme yang telah menjajah dan menguasai sumber daya ekonomi, politik, dan sosial secara biadab yang  merampas nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia.

Gelora nasionalisme itu sebagai cikal-bakal merakit nilai persatuan dan nasionalisme dari berbagai daerah. Sumpah pemuda sebagai  bentuk  imaginary contruction yang berhasil menyatukan serpihan imaginasi dari berbagai daerah.

Adalah Ben Anderson di alam bukunya, Imagined Communities (1982) dan Parakitri T Simbolon dalam buku Indonesia Menjadi (1995),  menggambarkan mengenai perjalanan sejarah Indonesia menuju Rumah Nasionalisme yang penuh perjuangan berliku dan berdarah-darah.

Anderson dan Simbolon bercerita secara apik dalam bukunya mengenai imaginasi atau hayalan rakyat Indonesia tetang mimpi hadirnya sebuah Rumah Indonesia dan terbebas dari belenggu kekuatan kolonialisme yang membuat rakyat menderita.

BACA : 92 Tahun Sumpah Pemuda (Minggu, 28 Oktober 1928-Rabu, 28 Oktober 2020) (1)

Kedua ilmuwan sosial itu  memiliki kesamaan dalam menggambarkan alur sejarah dan menjelaskan mengenai kerinduan suku-bangsa dari berbagai daerah untuk bersatu dalam semangat nasionalisme untuk mewujudkan Rumah Indonesia.

Sumpah Pemuda 93 tahun silam telah menorehkan saham sejarah bagi bangsa Ini yang tidak terlupakan. Mitos pemuda sebagai agen sejarah dan perubahan bagi sebuah bangsa memilik peran kesejarahan. Panggilan kesejarahan itu adalah Sumpah Pemuda 93 itu.

Pelajaran apa yang dapat kita pelajari dari 28 Oktober 1928 itu? Kini, kita hidup dalam setting sosial dan sejarah yang berbeda jauh saat. Pemuda Indonesia 93 tahun silam itu adalah menghadapi kolonialisme. Hanya ada satu bagi pemuda itu adalah melawan penjajahan.

BACA JUGA : Sumpah Pemuda, Tujuh Komunitas Motor di Banjarmasin-Banjarbaru Cetus Aksi Donor Darah

Penjajahan sebagai musuh utama yang telah menghina merampas martabat-marwah rakyat Indonesia. Lalu, bagaimana peran kesejarahan pemuda saat ini yang disebut Generasi Milenial atau Generasi 4.0 dalam merespon situasi kesejarahan bangsa ini?

Apakah mitos pemuda sebagai agen sejarah atau  agen perubahan masih relevan bila Pemuda Indonesia sudah berada pada budaya apatisme dan hedonisme? Masih tersisa sejumlah pertanyaan kritis yang pantas dialamatkan kepada pemuda saat ini.

Perilaku apatisme, hedonisme, krisis idealisme saat ini tidak dapat dipisahkan dari setting sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berlangsung pada saat ini. Perilaku apatisme dan hedonisme itu telah menderive cara pandang yang beragam sehingga mengalami keterasingan dan mengalami disorientasi.

Menyumpahi Bangsa Sendiri

Sikap kritisme dan nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk Sumpah Pemuda 93 tahun silam sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Pemuda saat sedang mengalami polarisasi idealisme dan nasionalisme di tengah bangsa dan negara yang sedang berubah.

Pemuda saat ini melawan bangsanya sendiri bukan melawan penjajah. Apa yang dialami oleh Pemuda Indonesia 93 tahun silam itu, Pemuda Indonesia saat ini bebas sejarah jauh lebih berat dan lebih komplek dari 93 tahun silam.

Sekali lagi, pemuda melawan menyumpahi bangsanya sendiri. Menyumpahi penguasa yang perilaku penguasa yang mewarisi watak kolonialisme masa dan jaringan oligarki politik dan politik yang terstruktur dan lebih berbahaya dari kolonial masa lalu.

BACA JUGA : LDII: Semangat Sumpah Pemuda Harus Dilestarikan

Praktik korupsi (political corruption), korupsi kebijakan (Policy Corruption), Political Family) sebagai bagian daftar penyakit  yang membuat Pemuda mengambil sikap apatisme, hedonisme, distrust, dan stateless feeling. Tumpukan panyakit yang dilakukan para elite politik yang kehilangan rasa malu dan kehilangan nasionalisme itu menjadi medan Sumpah Serapah pemuda ini.

Yang tersisa adalah nasionalisme semu dan yang sering dinarasikan dan kapitalisasi para aktor politik dihadapan publik. Mengkapitalisasi isu nasionalisme sebagai strategi untuk membangkitkan nasionalisme semua dan demi menghajar pikiran-pikiran yang dianggap radikal oleh penguasa.

Celakanya, disaat menjual narasi isu nasionalisme, pada saat yang sama juga praktik korupsi, panyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), elite capture of corruption semakin terstruktur dan terdesentralisasi bagaikan amuba di musim hujan.

Nisan sejarah nasionalisme yang diucapkan anak-anak muda Indonesia 93 itu kini telah tergerus oleh rayap sejarah, kerakusan penguasa dan pembusukan politik (Political Decay).

BACA JUGA : Kisah G Obos, Jong Borneo dan Rasa Keindonesiaan

Pemuda Indonesia saat lebih asyik bermain Tik-Tok, nongkrong di kafe, mencari judul-judul film, membaca buku-buku komik, main game. Semua ini dalam nuansa entertainment dan lucu-lucuan.

Debat-debat diskusi, seminar, bedah buku, mendiskusikan penguasa korupsi, pilkada curang, keterlibatan  pengusaha sebagai cukong pilkada, perampokan sumber daya alam para ekonomi kapitalis, adalah tema-tema yang tidak menjadi prioritas dan interesting pemuda-mahasiswa saat ini.

Main setting pola pikir mahasiswa sudah terperangkap pada budaya pragmatisme, instant, dan lucu-lucuan. Coba diamati program-program kegiatan mahasiswa di kampus-kampus di negeri ini lebih banyak teralokasi pada hal-hal yang bernuansa entertain, lucu-lucuan, dan rekreatif. Boro-boro membaca bukunya Peter Flaming yang menggemparkan itu, The Dark Academia: How Univerisities Die.

BACA JUGA : Ganti Borneo dengan Kalimantan, Kisah Perjuangan Kaum Sopir Barabai

Tulisan ini ingin menggambarkan bahwa situasi politik, ekonomi dan kontruksi sosial bangsa ini telah menggiring peradaban bangsa ini dalam situasi krisis nasionalisme, tidak terkecuali pemuda-mahasiswa saat ini. Selanjutnya, apa yang saya jelaskan dalam tulisan ini tentu saja tidak mewakili gambaran umum pemuda-mahasiswa.

Masih ada sekelompok pemuda-mahasiswa yang memiliki kreatifitas, nasionalisme, dan memiliki kegelisahan intelektual terhadap situasi bangsa saat ini, oleh Thomas Pipensky disebut sedang mengalami Back Sliding of Democracy.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen FISIP Uniska Banjarmasin

Direktur Center for Politics and Public Policy Studies, Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.