Laku Sufisme dan Jalan Suluk Warnai Bentukan Masjid di Tanah Banjar

0

ADA tiga model masjid yang jadi rujukan umat Islam sedunia yang berada di Timur Tengah. Yakni, Masjid Al Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, di Tanah Arab Saudi dan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, Palestina. Termasuk di Kalsel, ketika aroma Islam sangat mewarnai seni tata bangunannya. 

ARSITEKTUR adalah jejak peradaban masyarakat manusia yang meninggalkan beberapa pertanda. Karya sastra, kesenian dan arsitektur adalah bagian dari pertanda atau lambang peradaban itu.
Dalam buku Arsitektur Masjid (2009) yang ditulis Ir Achmad Fanani, dengan mengutip pendapat sejarawan Islam asal Tunisia, Ibnu Khaldun bahwa ada tiga model dasar masjid di dunia.

Yakni, Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah yang kini berada di wilayah Kerajaan Arab Saudi, serta Kubah Al-Sakhra di Yerusalem yang menjadi bagian dari bangunan Masjid Al-Aqsa di Palestina. Semua masjid itu tetap tersentral dengan bangunan Rumah Allah; Ka’bah yang menjadi titik orientasinya.

Pola ketiga masjid tersuci bagi umat sedunia itu mengandung nilai filosofis indah, seperti Masjid Nabawi yang merupakan rumah Nabi Muhammad SAW, sang pembawa Dinul Islam, sedangkan Kubah Al-Sakhra adalah monument peringatan Mi’raj Nabi SAW.

“Masjidil Haram adalah poros orientasi bisa bergerak dari segala arah, dan secara teoritis berbentuk radial dengan patokan empat dinding Ka’bah. Sedangkan, Masjid Nabawi merupakan poros orientasi mengarah dari utara ke selatan. Sementara, Kubah Al-Sakhra cenderung menjulang ke atas,” ujar Achmad Fanani yang juga seorang arsitek Indonesia menyabet penghargaan tertinggi arsitektur internasional, Aga Khan.

Menurut perancang Masjid Agung Semarang,Jawa Tengah ini, elemen dasar dalam arsitektur masjid itu terdiri dari dua poros; prosesi ibadah dan budaya atau konstruksinya. Makanya, Fanani yang juga arsitek jebolan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini menggambarkan dalam elemen arsitektur masjid itu sedikitnya harus terdapat tempat imam (mihrab), makmum zula (haram riwaq), tempat khutbah berupa mimbar, kaligrafi, ornament, bukaan atau gerbang, kolom/pilar pelengkap riwaq atau beranda, atap (kubah), tempat wudhu (pancuran), serta azan atau minaret (menara).

Lantas bagaimana dengan arsitektur masjid yang ada di Nusantara, khususnya Indonesia? Fanani dalam bukunya itu mengungkapkan ada hal yang spesial dalam tata bangunan masjid di Jawa, yang kemudian menyebar seantero Nusantara. “Diakui atau tidak, Islam awal di Indonesia, khususnya di Jawa, sangat dipengaruhi aliran sufi. Yang berarti, ahli ilmu suluk atau ilmu tasawuf,” cetusnya.

Dalam hal ini, Fanani merujuk adanya pengaruh para wali yang terkenal dengan sebutan Wali Songo (Sembilan Wali) di Tanah Jawa. Ada hipotesis bahwa Islam datang ke Tanah Jawa pada abad ke-10, dan kemudian menyebar termasuk ke Tanah Banjar pada abad ke-14. Hal ini ditandainya dengan dibangunnya Masjid Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, di era kekuasaan sang penguasa Tanah Banjar pertama; Sultan Suriansyah (1526-1550).

Tokoh Wali Songo yang menjadi arsitek masjid mengandung ajaran sufisme disebut Fanani adalah Sunan Kalijaga. Wali yang bernama asli Raden Mas Said atau Jaka Said yang merupakan murid Sunan Bonang ini terkenal sebagai seorang pemimpin, pujangga, dan filsuf yang menyiarkan agama Islam dengan pendekatan kearifan lokal.

Makanya, Fanani melukiskan pola pendekatan sufi kepada Allah SWT digambarkan dalam bentukkan bangunan kerucut. Titik puncak pencarian hakikat Tuhan itu adalah titik jatuh di tengah-tengah bulatan dasar kerucut yang merupakan proyeksi dari hakikat yang didekati.

Laku sufisme ini dibagi Fanani dalam arsitektur masjid di Tanah Jawa yang kemudian diadopsi di Tanah Banjar adalah mengandung ajaran syari’at, tarikat, makrifat dengan puncaknya hakikat. Menurut Fanani, syariat adalah laku pertama yang harus ditempuh kalangan awam, kemudian berlanjut pada tarikat yang merupakan laku khusus yang menjadi jalan langsung pendekatan kepada Sang Khalik. Lalu, terakhir adalah laku makrifat sebagai titik puncak sebuah pertemuan antara titik puncak dan garis jatuh.

“Makanya, banyak bangunan masjid akhirnya berbentuk segi empat yang dirintis para wali guna menyederhanakan bentuk lingkaran menjadi alas kerucut. Kemudian, adanya garis-garis ke titik puncak, sehingga bangunan masjidnya seperti berbentuk piramida,” cetus Fanani.

Ia mengakui bentuk arsitektur masjid semacam itu merupakan bentuk laku sufi yang dikonstruksikan lewat bangunan berbentuk piramida yang dipadukan dengan unsur budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Tauhid (Pengesaan Allah SWT).

“Makanya, puncak dari bangunan itu kerap dilambangkan dengan bentuk buah nenas yang merupakan plesetan dari surat An-Nas dalam Al-Qur’an. Namun, semua bentuk bangunan masjid itu tetap menggambarkan laku sufi dimulai dari sejak pendalaman syari’at, hakikat, kemudia bergerak ke tarikat dan makrifat dengan puncak pencarian berupa ketiadaan jarak spiritual,” ujarnya.

Fanani dalam bukunya menegaskan mengapa ditaruh pada puncak itu buah nenas dalam bangunan masjid adalah sebuah pengingat proses pendekatan kepada Tuhan, bahwa sang pelaku adalah tetap manusia.

Simbol sufistik memang menjelma dalam bentukan masjid-masjid keramat di Tanah Banjar. Sebut saja, Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Jami Banjarmasin, Masjid Su’ada atau Masjid Ba’angkat yang didirikan Syekh H. Abbas dan Syekh HM Said bin Al Allamah Syekh H Sa’dudin pada 28 Zulhijjah 1328 Hijriyah/1908 Masehi di Desa Wasah Hilir, Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Kemudian, Masjid Al Mukarromah yang dikenal dengan Masjid Keramat Banua Halat di Desa Banua Halat Kiri, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin. Serta, Masjid Pusaka Banua Lawas di Kabupaten Tabalong dan Masjid Al’Ala, Jatuh, Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), serta masjid lainnya yang bentukan sangat mirip dengan limas khas Masjid Demak, Jawa Tengah.

Nah, simbol laku spiritual ini juga diakui budayawan Banjar, YS Agus Suseno nyaris telah dilupakan dalam bentukan bangunan masjid yang ada di Banua. Dia mencontohkan hal yang pertama kali mengalami perubahan adalah Masjid Agung Al-Karomah di Martapura, yang awalnya berbentuk bangunan limas berundak tiga, menjadi bangunan bergaya Persia atau Arab.

“Padahal, awalnya masjid kita selalu menganut ajaran sufisme seperti tiga tahapan dalam mendekati Allah SWT, lewat syari’at, tarikat, ma’rifat menuju hakikat. Namun, semua itu berubah ketika Masjid Agung Al-Karomah dipoles dengan gaya kubah ala Persia. Akhirnya, bangunan ini ditiru bangunan lainnya khusus di kawasan Hulu Sungai (Banua Anam),” tutur Agus Suseno, beberapa waktu lalu.

Budayawan Taman Budaya Kalsel ini mengakui simbol kearifan lokal dalam arsitektur masjid Tanah Banjar itu justru masih terlihat di Masjid Kanas (Tuhfaturroghibin), Alalak Tengah, Banjarmasin, dengan mempertahankan simbol buah nenas sebagai bagian dari puncak laku sufisme tersebut. “Seharusnya, kita tak perlu ‘mengarab-arabkan’ bangunan masjid kita. Sebab, dalam Islam, saya yakin sangat memperhatikan sentuhan budaya lokal dalam seni bangunannya,” ucapnya.

Dia mencontohkan pola menara yang awalnya tidak dikenal dalam arsitektur Islam adalah adopsi dari pola bangunan bergaya Romawi. Agus Suseno menyebut oleh Dinasti Ummayah (661-750) yang berpusat di Damaskus, Suriah sebagai khalifah bersistem kerajaan banyak menghiasi bangunan masjid dengan menara. “Akhirnya, budaya itu pun menjadi bagian dari seni bangunan Islam. Kita bisa melihat di awal perkembangan Islam di Makkah dan Madinah, tidak mengenal adanya bentukan bangunan seperti menara,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.