Sindir Lewat Gambar Empat Lalat Mencibir Enggang, Seni Mural Bukan Vandalisme

0

EMPAT lalat layaknya mencibir burung enggang (Rhinoplax vigil). Begitulah judul karya mural Jeffry Andika. Goresan dari tangan-tangan terlatih Big Jeff-sapaan akrabnya, itu tampak terpampang di dinding Pelindo, Jalan RE Martadinata, Kertak Baru Ilir, Banjarmasin Tengah.

EKSPRESI ledekan berwajah marah itu, Big Jeff mengungkapkan adalahg sebuah metafora yang mengartikan tentang kondisi masyarakat saat ini dianggap sebagai netizen (warganet) dan burung enggang adalah Kalimantan secara umumnya.

“Dari lukisan ini banyak sudut pandang yang diambil. Saya memaknainya adalah upaya menjaga mentality kita. Jadi, burung enggangnya menggambarkan kondisi Kalimantan dan bentuk mahkota itu sebagai pelaku graffiti-nya,serta baju perisai itu adalah pertahanan kita. Maka dari itu, banyak metafor-metafor disitu menggambarkan kondisi kita,” ucap Seniman Mural, Big Jeff kepada jejakrekam.com, Sabtu (16/10/2021).

Malam itu, Jeff tengah menyempurnakan karya miliknya yang hampir selesai. Tangan gempal itu memegang cat kaleng semprot bermerek Acrylic Epoxy, ia telaten membentuk tiap sketsa yang digarap selama empat hari itu.

“Satu hari membuat sketsa ini, dan hari kedua di tahapan membuat gradasi pada bagian-bagian background,” ucapnya.

BACA : Tak Masalah dengan Kritik, Walikota Klaim Siap Berdayakan Seniman Mural Banjarmasin

Perlahan, Jeff memperkuat warna-warna gradasi itu. Mulai dari sayap, buntut hingga latar hitam yang dikelilingi oleh tumpukkan sampah. Menurutnya, itu adalah metafora dari suara-suara yang tidak perlu kita dengarkan. “Tumpukkan sampah itu ibarat cibiran-cibiran orang sih, ya, anggep angin lalulah,” sebutnya.

Big Jeff saat menggarap mural karyanya dalam Banjar Mural Festival 2021 di Banjarmasin. (Foto Rahim Arza)

Jeff ingin menyampaikan pesan lewat karya lukisnya bahwa kondisi pandemi saat ini membentuk mentalitas masyarakat agar lebih kuat lagi. Lewat simbol lalat, Jeff mengatakan sangat cocok melukiskan itu sesuai karakternya yang terkesan mengganggu di tengah rutinitas seseorang.

“Lalat yang mencibir itu, dibalas lagi oleh burung Enggang dengan menjulurkan lidahnya. Bacotan-bacotan itu menyimbolkan lalat yang berisik dan mengganggu itu,” jelasnya.

Kata Jeff, budaya masyarakat kita kerap mencibir orang bahkan dalam kondisi di rumah pun dianggap tidak bekerja. Artinya, kata dia, merujuk kepada personality yang mudah sekali mengejek tanpa memahami seseorang. “Mulut orang, kan, sulit sekali dikontrol,” sahutnya.

BACA JUGA : Gambarkan Kondisi Pandemi, Jika Sukses Banjar Mural Festival Bakal Jadi Even Tahunan

Terlepas itu, Jeff merespon berita yang tengah viral terkait stigma mural di masyarakat, terlebih mural bernada kritikan. “Mural yang viral itu no comment sih. Versi masing-masing, lalu adanya mural kemarin enggak ngaruh juga sih dihapus. Temen-temen udah biasa,” kata pria kelahiran 1993 itu.

Walau sempat dihapus aparat, bagi Jeff justru hal yang biasa saja dilakukan pemural di tengah kegelisahannya. Ia menegaskan karya teman seprofesinya itu bukan sebuah gerakan vandalisme tetapi sebuah upaya memperindah kota lewat seni mural.

“Sebenarnya, kalau kita jujur-jujuran ya. Banyak sekali yang kami ingin murali pada dinding-dinding kosong di Banjarmasin maupun Banjarbaru, mau kami sikat saja jika pemerintah lambat melakukannya,” kata Jeff.

BACA JUGA : Dihapus, Mural Sindiran soal Prokes Makin Marak di Banjarmasin

Arti lambat di sini, diuraikan Jeff bahwa kawasan kumuh tanpa diwarnai dinding-dinding tersebut maka segera mereka lakukan sebuah gerakan seni mural. Upaya itu sudah jauh dilakukannya demi menggelontorkan dana yang tertahan di pemerintah maupun instansi swasta, yang bergerak dibidang apapun agar terkondisikan dengan baik untuk menata kawasan kota.

Jeff mengakui, upaya koleganya sesama seniman jalanan dalam mendindingi tembok itu, ongkosnya tidaklah murah. Mereka mesti mengeluarkan budget yang fantastis demi memural tersebut,” kata lelaki bertubuh subur ini.

BACA JUGA : Tuangkan Kreativitas di Tembok, Seni Graffiti Bukanlah Kejahatan

Dana dikeluarkan pemural untuk menembok, biasanya sekitar di angka Rp 1 juta ke atas, dan standarnya segitu beli bahannya aja itu,” ucapnya.

Adanya Banjar Mural Festival (BMF) ini, Jeff berharap gerakan ini makin meluas lagi dan membentuk ekosistem para muralis, bahkan bisa membumi di 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.