Raperda Pergudangan Berpotensi Tumpang Tindih dengan Perda IMB dan RTRW

0

AMBISI DPRD Banjarmasin yang tengah merancang raperda penyelenggaraan pergudangan dengan membidik alihfungsi rumah toko (ruko) menjadi gudang diingatkan pengamat kota, Nanda Febriyan Pratamajaya untuk dipikirkan kembali terkait urgensi produk hukum itu.

PLANOLOG jebolan Universitas Brawijaya (UB) Malang ini mengingatkan bahwa saat ini, Pemkot Banjarmasin telah memiliki berbagai perangkat hukum yang berkelindan dengan raperda penyelenggara pergudangan.

“Kalau bicara penetapan lokasi pergudangan di Kota Banjarmasin, maka hal ini sudah diakomodir dalam Perda Nomor 5 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang  Wilayah Kota Banjarmasin Tahun 2013-2032. Memang, perda ini pada 2018 ini sedang dalam proses revisi,” ucap Nanda Febriyan Pratama kepada jejakrekam.com, Senin (6/8/2018).

Menurut Nanda, apabila raperda ini justru berisi ketentuan perizinan pendirian gudang, maka justru tumpang tindih dengan Perda Nomor 15 Tahun 2012 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Memang, tidak ada istilah izin mendirikan gudang (IMG). Sebab, izin mendirikan ruko atau izin mendirikan fisik gedung lain karena sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengaturan tentang izin pendirian bangunan di sebuah kota atau kabupaten hanya ada satu, yaitu berbentuk IMB,” tegas Nanda.

Ketua DPP Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (Intakindo) Kalsel justru mempertanyakan urgensi penyusunan raperda tentang penyelenggaraan pergudangan, karena ketentuan hal tersebut justru telah diatur dalam kedua produk hukum di atas.

Nanda menjelaskan larangan adanya pembangunan gudang atau kawasan pergudangan dalam Kota Banjarmasin, berdasar Perda Perda Nomor 5 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banjarmasin Tahun 2013-2032, memiliki maksud agar tidak ada aktivitas bongkar muat dan mobilisasi angkutan barang dalam Kota Banjarmasin.

“Sebab, jika hal itu diizinkan berpotensi mengganggu ketertiban masyarakat kota, baik dari sisi transportasi, seperti berpotensi menimbulkan kemacetan dan mempercepat rusaknya jalan maupun dari sisi aktivitas pergudangan tersebut,” kata mahasiswa S2  Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini.

Menurut Nanda, penetapan kawasan pergudangan melalui Perda RTRW sepatutnya harus didukung seluruh pihak dan diawasi agar pelaksanaannya benar-benar sesuai amanat belied tersebut.

Ia merincikan salah satu dampak dari penetapan suatu kawasan menjadi kawasan pergudangan, yakni terhentinya rekomendasi maupun izin membangun/ merehab suatu bangunan yang bukan merupakan bagian dari pergudangan itu sendiri.

Hal ini mengingat, beber Nanda,  kawasan pergudangan memiliki aktivitas 24 jam yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap aktifitas non pergudangan, misalkan aktivitas permukiman dan pendidikan.

“Atas dasar itu, tidak direkomendasikan adanya aktivitas non pergudangan, berada di dalam kawasan pergudangan, tentu relokasi adalah keniscayaan agar tidak muncul konflik pada aktivitas keduanya,” papar Nanda.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.