Gugat Menteri ESDM dan PT MCM, Walhi Tuntut SK 441/2017 Dicabut

0

GUGATAN Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melalui Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono bergulir di PTUN Jakarta, Rabu (4/3/2018). Materi gugatan terhadap SK Menteri ESDM bernomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 tentang IUPK operasi produksi batubara PT Mantimin Coal Mining (MCM) dibacakan tim kuasa hukum lingkungan Walhi dan Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) HST.

DALAM materi gugatannya, Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan Hidup Ronald A Siahaan, bersama Pengkampanye Energi dan Perkotaan Eknas Walhi, Dwi Sawung serta Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan izin yang dikeluarkan Menteri ESDM itu sama sekali tidak melibatkan masyarakat di daerah. Padahal, masyarakat daerah akan terdampak dari operasi tambang batubara PT MCM mencakup Kabupaten Balangan, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel.

“Sedangkan, Perda Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Hulu Sungai Tengah 2016–2036 menyatakan bahwa Kabupaten HST memang terdapat potensi batubara, namun peruntukannya tidak untuk dieksploitasi,” papar Ronald Siahaan.

Sementara lokasi PT MCM di Batutangga, Kabupaten HST justru 56 persen dari luasan izin merupakan kawasan esensial karst. Lokasi izin juga merupakan sumber air dan air baku bagi PDAM HST.

Hal senada juga diungkapkan Kisworo Dwi Cahyono. Pria yang akrab disapa Cak Kiss ini mengungkapkan bahwa Pegunungan Meratus merupakan satu-satunya yang belum tersentuh pertambangan dan harus dipertahankan sampai kapan pun. “Potensi kerugian pertambangan batubara akibat air baku yang rusak sebesar Rp 194.400.000.000 per bulan. Pertambangan batubara juga berdampak pada kerusakan lingkungan dan ancaman banjir di tiga kabupaten yakni HST, Balangan dan Tabalong,” papar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel ini.

Dia juga menyebutkan izin pertambangan yang dikeluarkan Kementerian ESDM itu berdampak pada lahan padi milik masyarakat seluas 22.218 hektare di enam kecamatan,  meliputi Kecamatan Batang Alai Selatan, Batang Alai Utara, Barabai, Pandawan, Labuan Amas Utara dan Labuan Amas Selatan.

“Potensi kerugian akibat rusaknya lahan padi itu mencapai Rp 511.014.000.000 per musim tanam. Ini ditambah, terancamnya irigasi Batang Alai yang dibangun pada 2009 senilai Rp 500 miliar,” ungkap Cak Kiss.

Begitupula, Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi menegaskan terbitnya izin tambang itu menunjukkan bahwa pemerintah masih memberi ruang eksploitasi bahan mentah dan sumber daya tidak terbarukan untuk kebutuhan jangka pendek.

“Pengalaman pahit minyak bumi tidak menjadi pelajaran oleh pemerintah, ekspor dan penambangan minyak bumi besar-besar di masa lampau tidak memikirkan kebutuhan jangka panjang hingga hari ini membuat Indonesia justru mengimpor minyak bumi,” beber Dwi Sawung.

Dia mengingatkan agar pengalaman pahit itu sejatinya membuat pemerintah membatasi eksploitasi batubara, dengan membatalkan izin. “Kemudian, pemerintah tidak mengeluarkan izin baru operasi produksi adalah salah satu jalan agar pengalaman pahit minyak bumi tidak terjadi di batubara,” ucapnya.

Usai pihak penggugat Walhi bersama Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan membaca gugatan, pada sidang ke-6 pihak tergugat Menteri ESDM dan turut tergugat PT MCM akan membacakan jawaban gugatan pada Rabu (18/4/2018) mendatang.(jejakrekam)

 

Penulis Arpawii
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.