Nay, Dari Prosa ke Puisi

Oleh : Micky Hidayat

0

SIAPA kira segala sesuatu menjelma cerita
alurnya seperti gula-gula di mulut anak kecil. 
Aku kira Tinkerbell tidak akan pernah jatuh cinta
karena Peter Pan sudah ditakdirkan bersama Wendy. 
“Entah bagaimana, tetiba aku mencintaimu.”
Dialog itu menyalahi seluruh skenario
Pementasan seperti benang kusut, 
bagian lainnya sulaman jaring laba-laba. 
Peri kecil baik hati
Suatu ketika terluka dan tidak bisa terbang lagi
Kamu keliru jika mengira sayapnya yang patah

Ia mematri banyak kebahagiaan untuk dibagi
tapi lupa menyimpan satu untuk dirinya sendiri
“Entah bagaimana, tetiba aku mencintaimu.”
Dialog itu menuai puja-puji
padahal kita sama sekali tidak memerlukan pujian. 
biarkan piano berdenting sendiri tanpa lirik
lalu malam-malam menyiksamu dengan gelantungan
rindu di setiap lorongnya

Selamat malam Tinkerbell, 
demi debu peri dalam genggaman
atas segala perih yang kaurasa
mari kita rayakan segenap lara. 

(“Entah Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu”,Nailiya Nikmah JKF) 

PUISI di atas dibacakan dengan intonasi yang terjaga, penuh penghayatan dan sangat ekspresif oleh penyairnya sendiri, Nailiya Nikmah JKF (Nay) di panggung Gedung Balairungsari Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Jumat (26/7/2019) malam.

Acara sastra bertajuk “Bincang Buku, Musikalisasi dan Baca Puisi” yang bertepatan dengan peringatan Hari Puisi Indonesia (HPI), 26 Juli, ini diselenggarakan oleh Datamur Present bekerjasama dengan Taman Budaya Kalsel dan Penerbit Tahura Media Banjarmasin.

Di panggung bersetting serba hitam, tampil Teater Wasi Putih (Politeknik Negeri Banjarmasin) mengawali acara yang dipenuhi penonton ini dengan sajian musikalisasi puisi, menyanyikan puisi Nay berjudul “Daun-Daun yang Terlepas dari Rantingnya” dengan aransemen yang sangat apik. Dilanjutkan dengan suguhan musikalisasi puisi yang tak kalah apik dari Sanggar Batu Benawa (SMKN 2 Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah), menyanyikan puisi karya Nay, “Romansa Tanah Basah Kepada Hulu Sungaiku”.

BACA : Musikalisasi Puisi EBTAM, Mengangkat Karya Sastrawati Nailiya Nikmah

Usai sajian dari kedua kelompok musikalisasi dan pembacaan puisi oleh Nay, dilanjutkan sesi diskusi/bincang buku antologi puisi Nay. Dua pembicara diskusi yang berlangsung cukup hangat ini adalah Dr Hatmiati Masy’ud (cerpenis, novelis, dan komisioner  KPU Kalimantan Selatan) dan Rahmiyati (cerpenis, sutradara, dan Guru di SMKN 3 Barabai, Kab. HST), dipandu oleh Dewi Alfianti (cerpenis, penyair, dan Dosen di FKIP ULM).

Antologi Puisi “Entah Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu (EBTAM)” yang memuat 87 puisi ini merupakan buku puisi perdana Nay setelah  hampir tiga puluh tahun ia menggeluti dunia penulisan puisi. Diterbitkan oleh Tahura Media Banjarmasin dengan ilustrator dan desain cover digarap oleh tangan dingin sastrawan Sandi Firly, buku ini dieditori pula oleh Dewi Alfianti.

BACA JUGA : Dikritik Penyair Kawakan Micky Hidayat, Nay Tak Khawatir Plagiat

Secara umum, tema puisi yang disuguhkan oleh Nay dalam buku ini mayoritas mengeksplorasi tentang perasaan cinta, selain berbicara tentang persoalan hidup dan kehidupan lainnya.
Puisi-puisi Nay yang terhimpun di dalam buku ini tidak semuanya adalah puisi naratif, sebagaimana disinyalir oleh kedua pembicara, Hatmiati dan Rahmiyati. Banyak juga puisi, terutama di beberapa puisi pendeknya yang bernuansa kontemplatif, puisi suasana dan renungan.

Adapun puisi EBTAM yang diandalkan oleh Nay sebagai judul buku puisinya ini menarik untuk dibahas. Misalnya, pencantuman kosa kata “Tetiba” terasa asing bagi para pembaca yang sesungguhnya lebih akrab dengan kata “Tiba-tiba”. Lantas kenapa Nay lebih menyukai “tetiba” ketimbang “tiba-tiba-tiba”? Hal ini mungkin dimaksudkan oleh penyairnya berkesan lebih puitis atau untuk menimbulkan efek puitiknya.

BACA LAGI : Terinspirasi Jembatan Rumpiang, Ada Rahasia di Antologi Puisi EBTAM

Kata “tetiba” ini seringkali dipakai oleh para penutur bahasa Indonesia dan para penyair sebagai upaya efisiensi atau penghematan kata dengan menyingkat kata ulang, juga mengikuti pola pembentukan kata yang diterapkan pada kata, misalnya “tetiba” (dari “tiba-tiba”), “gegara” (dari “gara-gara”), “lelaki” (dari “laki-laki”), “tetamu” (dari “tamu-tamu”), “reranting” (dari “ranting-ranting”), “dedaun(an)” (dari “daun-daun”), dan kosa kata lainnya.

Dalam tata bahasa, pembentukan kata seperti ini disebut “dwipurwa”, yakni pengulangan sebagian atau seluruh suku awal sebuah kata. (“Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia”, Kridalaksana, 2007).

Kata “tiba” adalah kata kerja, sedangkan “tiba-tiba” adalah kata keterangan. Oleh sebab itu, kata “tetiba” bukanlah bentukan yang absah atau sahih dalam bahasa Indonesia. Namun, sesuai dengan sifat bahasa yang dinamis, tidak tertutup kemungkinan bentuk kata semacam ini (tetiba) akan diterima di kemudian hari.

BACA LAGI : Terinspirasi Kehidupan Banjar Hulu, Si Pilanggur pun Masuk Deretan Sastra Rancage

Demikian pun tentang titimangsa atau tahun penciptaan yang tak dicantumkan di semua puisi Nay dan saya pertanyakan dalam forum diskusi adalah hak kepenyairan Nay untuk tidak mencantumkannya, atau istilah Nay sebagai rahasia pribadi kepenyairannya. Tapi, pencantuman titimangsa bagi puisi adalah penting untuk mengetahui, menelusuri atau melacak jejak proses kreatif seorang penyair.

Penyair Nay dilahirkan di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Setelah merampungkan Program Magister di PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dosen Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin ini menulis puisi sejak awal 1990-an. Selain puisi, ia juga serius di genre penulisan prosa, yaitu cerpen, novel, esai sastra, dan naskah drama.

Tulisannya dipublikasikan antara lain di harian Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Media Kalimantan. Karyanya terdapat dalam beberapa buku, yaitu “Nyanyian Tanpa Nyanyian” — antologi cerpen bersama 9 cerpenis perempuan Kalimantan Selatan (2007), “Menulis Mudah” (kumpulan esai, 2008), “Konser Kecemasan” — Antologi Puisi Peduli Lingkungan Penyair Kalimantan Selatan (2010), “Rindu Rumpun Ilalang” (antologi cerpen tunggalnya, 2010), “Pelangi di Pelabuhan” –Antologi Cerpen Penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Kalimantan Selatan (2011), “Para Kekasih” — Antologi Puisi Religius Indonesia (2011), “Kalimantan dalam Prosa Indonesia” (2011),

Kemudian, “Ketika Api Bicara” — Antologi Cerpen Pendidikan Berkarakter (2011), “Senja di Teluk Wandoma” — antologi cerpen tema bahasa (2011), “Malam Kumpai Batu” (antologi cerpen, 2012), “Kepak Sayap Sastra Banua untuk Kemanusiaan” — antologi pemenang lomba mengulas karya sastra, cipta puisi, dan penulisan novel (2013), “Tadarus Rembulan” (antologi puisi bersama, 2013).

BACA LAGI : Walau Tak Punya Aksara, Bahasa Banjar Kaya dengan Karya Sastra

Ada pula, “Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia” ( antologi puisi bersama, 2014). “Sekaca Cempaka” adalah novelnya yang diterbitkan oleh Quanta, Elexmedia, Penerbit Kompas-Gramedia (2015). Esainya juga dimuat dalam buku “Memikirkan Sajak Micky Hidayat” — Kumpulan Pembicaraan Sajak-Sajak Micky Hidayat (Penerbit Pustaka Puitika, Yogyakarta, 2016).

Esai Nay juga terdapat di buku “Me + You = Sakinah — Kumpulan True Stories (Penerbit Zukzezz Ekspres, 2019). Nay adalah aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin, dan di Dewan Kesenian Banjarmasin (DKB). Penyair ini juga sering menjadi pembicara pada forum seminar, pelatihan, workshop, diskusi, bedah buku seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa.

Kiprah seorang Nay di dunia kepenulisan dan kesusastraan Kalimantan Selatan memang lebih dominan di genre penulisan prosa (cerpen dan novel) ketimbang genre puisi. Kedua genre sastra ini juga tampak serius digelutinya. Dan tak gampang pula bagi Nay untuk menentukan sikap: tetap konsisten di jalur penulisan prosa ataukah banting stir ke jalan puisi dan kepenyairan.

BACA LAGI : Eka Kurniawan: “Sastra Global Mestinya Tidak Melulu Berbahasa Inggris”

Dalam konteks ini, penulis prosa atau puisi bukanlah identitas. Atau bisa dikatakan: profesi cerpenis, novelis, dan kepenyairan tidaklah ditentukan oleh identitasnya, melainkan lebih menentukan identitasnya, dan itu adalah sebuah proses yang tak pernah putus. Demikian pun dalam konteks karya sastra, proses kreatif dan hasil karyalah yang lebih menentukan ketimbang identitas yang melekat pada diri seorang penulis atau pengarang.

Nay, nyatanya ia mampu membuktikan, bahwa sebagai penulis prosa dan puisi ia berhasil dan karyanya mampu berbicara di level lokal dan nasional.  Kehadiran buku puisi Nay ini patut disambut dengan gembira karena semakin menambah kepustakaan/dokumentasi buku puisi penyair perempuan di Kalimantan Selatan dan Indonesia. Selamat dan sukses atas terbitnya buku puisimu ini, Nay. (jejakrekam)

Penulis adalah Sastrawan dan Cerpenis Kalsel

Putra Pujangga Kalsel Hijaz Yamani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.