Ganti Borneo dengan Kalimantan, Kisah Perjuangan Kaum Sopir Barabai

0

AKSES jalan yang dibangun di masa Pemerintah Kolonial Belanda dari ruas Jalan Ulin (kini Jalan Achmad Yani) tembus hingga ke Hulu Sungai. Tak hanya untuk keperluan akses moda transportasi umum, juga untuk mobilisasi militer dan mobil pos (postauto).

HAL ini juga ditopang dengan berdirinya SPBU di zaman Belanda bernama Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) didirikan pada 26 Februari 1907 di Den Haag, sebuah perusahaan minyak Belanda, anak dari perusahaan Royal Dutch Shell.  Nah, B.P.M ini pula yang mendirikan stasiun pengisian bahan bakar umum di masa kolonial, termasuk di Barabai.

Di masa pergerakan nasional, organisasi kaum sopir yang pro tuntutan kemerdekaan Indonesia itu dibentuk di Barabai, bernama Pesatuan Sopir Barabai atau Bond Indonesische Chauffeur (BIC) pada 1934.

BACA :  Bedah Buku Pilanggur dan Satipis Apam Barabai, Upaya Melestarikan Bahasa Lokal

Peneliti sejarah dari Balitbangda Provinsi Kalsel Wajidi Amberi mengungkapkan organisasi kaum sopir BIC ini turut memompa semangat nasionalisme kaum pergerakan khususnya di kalangan para sopir. Ini karena, akses transportasi di Kalimantan Selatan terhubung lewat jalur darat dari Banjarmasin, Rantau, Kandangan dan Barabai, terbukti dengan adanya terminal atau Taxistandplaats di samping Gedung Bioskop Julianna Theater (sekarang Gedung Eks Pegadaian di Barabai).

“Saat itu, BIC di Barabai dipimpin Ali Baderun, M Salman dan Arafiah. Lama-lama kelamaan, BIC di Kalimantan Selatan mempunyai cabang di beberapa daerah seperti B.I.C Cabang Haruai yang dipimpin oleh Inang Bahdie Ketua, Anang Basunie wakil Ketua, Hamidhan Juhri Sekretaris, Mohammad Taher Bendahara, dan Achmad Pembantu,” tutur Wajidi Amberi kepada jejakrekam.com, Rabu (20/3/2019).

BACA JUGA : Pergulatan Barabai, Bandoeng van Borneo di Kaki Bukit Meratus

Ternyata organisasi para sopir di Barabai ini makin lama makin membesar, hingga kedudukan Pengurus Besar BIC di Kalimantan Selatan dipindahkan ke Banjarmasin. Sebagai Ketua Umum BIC dijabat Achmad Zakaria dengan Sekretaris Umum Abdussamad dan Usuf sebagai Bendahara, sedangkan M Husin dan Abubakar di posisi Pembantu Umum.

Wajidi mengungkapkan pada akhir tahun 1939, BIC seluruh Indonesia menggelar Kongres I di Malang, Jawa Timur, yang juga diikuti BIC dari Kalimantan Selatan. Saat itu, kongres itu dihadiri Mr Tajuddin Noor, penasihat BIC seorang putera Kalimantan yang bertempat tinggal di Lawang Jawa Timur.

BACA LAGI : Kritik Pemerintah Kolonial Belanda, Tokoh-Tokoh Parindra Banua pun Diganjar Penjara

“Kongres I mengeluarkan  beberapa keputusan, seperti bendera BIC berwarna merah dan putih sebagai simbol bendera kebangsaan, dan  warna hijau dengan tanda bundaran di tengah sebagai simbol B.I.C. Selanjutnya lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, dan menyatakan satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air, dan satu negara Indonesia,” tuturnya.

Dari beberapa foto yang didapat sejarawan Kalsel ini, pada peringatan Kongres BIC ke-3 ado. 1/8-’36 Barabai, Selatan dan Timur Pulau Kalimantan bertempat di Kantor B.I,C Cabang Barabai pada 1934.

“Penggunaan nama Kalimantan dalam Kongres B.I.C ke-3 di Barabai dengan tulisan Selatan dan Timur Pulau Kalimantan merupakan bentuk keberpihakan para nasionalis untuk menggunakan istilah Kalimantan yang lebih pribumi (indigenoes) dibandingkan Borneo atau Borneo Selatan yang berkonotasi kolonalis atau asing  (foreign),” papar Wajidi.

BACA LAGI : Musyawaratutthalibin, Ruh Perjuangan Organisasi Islam Terbesar di Tanah Kalimantan

Magister pendidikan IPS Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini mengungkapkan dirinya mendapat foto itu dari H Abdul Muis, Ketua LVRI Barabai (Studi Foto Anek Barabai).

“Nah, keahlian Pak H Abdul Muis ini didapat dari pelajaran dari Hasimoto, juru potret Jepang yang konon merangkap mata-mata Jepang di Kalimantan Selatan,” ucap Wajidi.

Menurut Wajidi, organisasi semacam BIC serta kaum pergerakan lainnya di Kalimantan yang turut membidani tuntutan kemerdekaan dan bergabungnya tanah Banjar ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno-Mohammad Hatta di Jakarta.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.