ASKS, Penumpang Gelap dan Rekomendasi

1

ARUH Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XV di Kotabaru (6-10 November 2018) telah berakhir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. ASKS ajang sastra satu-satunya di Indonesia yang berlangsung dari kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya di Kalsel secara berkesinambungan.

USAI “putaran pertama” di 13 kabupaten/kota, ASKS XV di Bumi Sa-ijaan adalah “putaran kedua”. Ibarat manusia, ASKS telah berusia remaja: “generasi manual” mulai berkurang, disambut dan, atau, digantikan oleh “generasi digital”; “generasi awal ASKS” banyak yang berpulang, “generasi baru ASKS” sedang menapaki jalan panjang.

Sebagai salah seorang “generasi awal” yang ikut serta membidani kelahiran ASKS I di Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004) — bersama Burhanuddin Soebely, Bahdar Djoehan, Uda Djarani, Abdaluddin (Udin Salak), Ruslan Faridi dan lain-lain (semuanya telah berpulang) — jika terdapat perbedaan mutu acara pelaksanaan antara “ASKS putaran pertama” dengan “ASKS putaran kedua”, lumrah saja.

Pelaksanaan ASKS di kabupaten/kota (program kegiatan, materi lomba, penerbitan buku sastra dan lain-lain) sebetulnya hak penuh tuan rumah untuk mengatur dan menentukan (sesuai kemampuan kabupaten/kota masing-masing). Yang “wajib hukumnya” dijamin tuan rumah/penyelenggara adalah akomodasi/konsumsi bagi tamu/undangan/pembicara/Dewan Juri/peserta yang berasal dari kabupaten/kota lain.

ASKS I di Kandangan awalnya tidak dimaksudkan untuk dilakukan secara bergiliran dari kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya di Kalsel. Di hari pertama (lewat tengah malam), di Pendopo Bupati HSS (ketika tamu/undangan/peserta ASKS tidur di penginapan masing-masing) Burhanuddin Soebely (ditemani sejumlah panitia) melontarkan pertanyaan: “Bagaimana kalau besok (hari kedua ASKS, sebelum penutupan) kita bikin semacam “Sidang Pleno” — yang dihadiri wakil-wakil peserta dari kabupaten/kota lain — agar ASKS juga dilaksanakan di kabupaten/kota lain…?”

Gagasan yang seakan tiba-tiba turun dari langit itu membuat udara dingin Bumi Antaluddin hangat seketika. Keesokan harinya, saat ide itu disampaikan dalam Sidang Pleno, terjadi kegaduhan. Wakil-wakil peserta dari kabupaten/kota lain (bukan cuma penyair, tapi juga pejabat/birokrat/instansi kabupaten/kota) saling berebut, menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah (!).

Alasan utama untuk melaksanakan ASKS secara bergiliran dari kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya di Kalsel adalah merebut dana APBD (yang menganaktirikan sastra, menganakemaskan kegiatan olahraga dan agama) untuk sastra. Strategi itu berhasil.

Terlepas dari mutu acaranya, strategi dan perjuangan sastrawan (almarhum Burhanuddin Soebely dan kawan-kawan) untuk merebut hak seniman sastra di APBD (guna melaksanakan ASKS) membuat kegiatan sastra dapat berlangsung setahun sekali di Bumi Antasari. Di Indonesia — bahkan mungkin di dunia — hal ini hanya terjadi di Kalsel (!).

Pada ASKS I di Kandangan diluncurkan La Ventre de Kandangan, Mosaik Sastra HSS 1937-2003 (Penerbit Pemerintah Kabupaten HSS, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2004) — buku kumpulan puisi dan cerpen sastrawan HSS (yang dibahas D. Zawawi Imron).

Kehadiran sastrawan D Zawawi Imron (sebagai pembicara) dalam ASKS I juga lebih karena faktor kebetulan, bukan direncanakan sejak awal. Ketika merancang ASKS I (2003), almarhum Burhanuddin Soebely dan Abdaluddin (“Udin Salak”) bilang kepada saya: “Gus, duit gasan Aruh Sastra sabarataan salawi juta haja. D Zawawi Imron rahat di Rantau. Kawalah kita minta sidin jadi sastrawan tamu? Hakunlah sapambari kita haja? Kita jamin pasawat, makan, nginum wan kaguringannya di Kandangan. Kaina kita bawai sidin bakunjangan ka Loksado. Tagal, ikam haja nang bapandir lawan sidin…”

Demikianlah — meskipun tidak selalu — niat baik akan berbuah baik. Lewat tengah malam, dari Kandangan, dengan mobil butut kami menemui D Zawawi Imron (yang tengah mengisi acara Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya di Kabupaten Tapin) di penginapannya, di Kota Rantau. Setelah negosiasi, D Zawawi Imron bersedia dibayar Rp 750 ribu (tidak termasuk transportasi PP, akomodasi dan konsumsi — saat itu tarif standarnya Rp 3 juta).

Setelah ASKS I di Kandangan, ASKS II berlangsung di Kabupaten Tanah Bumbu (2005) dan ASKS III di Kotabaru (2006) — mendatangkan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dan D Zawawi Imron — itulah kehadiran SCB yang pertama di Pulau Kalimantan. Setelah itu, ASKS IV bergulir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU, 2007).

Dengan berbagai sebab, ASKS “putaran pertama” tak semuanya saya hadiri. Setelah dan sebelum ASKS XV di Kabupaten Kotabaru, saya sempat menghadiri ASKS X di Tanjung (Kabupaten Tabalong, 2010) dan ASKS XI di Barabai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 2011).

Di setiap pelaksanaan ASKS ada agenda “Sidang Pleno” (yang dihadiri wakil instansi/dinas terkait dan sastrawan kabupaten/kota). Kehadiran wakil instansi/dinas terkait dari kabupaten/kota penting — lebih-lebih bagi kabupaten/kota yang akan menjadi tuan rumah ASKS tahun berikutnya — untuk mengevaluasi pelaksanaan ASKS yang sedang berlangsung, mendengarkan aspirasi dari wakil-wakil kabupaten/kota dan merumuskan rekomendasi.

Yang jadi soal (setelah para tatuha Aruh Sastra tidak aktif/tak ada lagi), belakangan ada “penumpang gelap” yang membelokkan arah Sidang Pleno pada Rekomendasi ASKS. Selain memberi rekomendasi bagi kegiatan ASKS tahun berikutnya, sejatinya Sidang Pleno memberi rekomendasi/pernyataan sikap terhadap isu-isu aktual yang terjadi di bidang sastra, budaya dan apa pun yang tengah berkembang di Kalsel.

Rekomendasi ASKS IV di Kabupaten HSU (2007), misalnya, menyerukan agar Pemprov Kalsel dan pemerintah kabupaten/kota memelihara dan melestarikan sastra lisan Banjar yang kian terpuruk, madihin dan lamut.

Almarhum Burhanuddin Soebely dan Eko Suryadi WS, Sainul Hermawan dan Micky Hidayat ikut serta sebagai Tim Perumus.
Rekomendasi ASKS bukan gerakan politik, hanya pesan moral. Karena tak diajak serta dan diberi tahu, saya tidak ikut Sidang Pleno ASKS XV. Yang jadi soal, Rekomendasi ASKS XV di Kotabaru tidak menyampaikan seruan atau pernyataan sikap terhadap kerusakan alam lingkungan dan gerakan #SaveMeratus yang tengah menjadi perhatian publik di Kalsel — ancaman yang bukan main-main terhadap kelangsungan hidup warga Bumi Antasari.(jejakrekam)

Penulis adalah pekerja seni dan budaya, tinggal di Banjarmasin.

1 Komentar
  1. Nailiya Nikmah JKF berkata

    Catatan yang indah. Referensi bagus buat nang anum kaya ulun. Love ASKS.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.