Kritik Pemerintah Kolonial Belanda, Tokoh-Tokoh Parindra Banua pun Diganjar Penjara

0

POLITIK etis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan sebagai balas budi terpola dalam tiga kebijakan utama yakni irigasi, edukasi  dan migrasi. Namun, politik balas budi ala Belanda ini sebenarnya tak sepenuh hati, hingga melahirkan kaum pergerakan berpendidikan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan.

KESADARAN nasionalisme dan pergerakan mengusir penjajahan dengan cara-cara intelektual dilakoni kaum terpelajar sebagai lokomotif perlawanan. Salah satunya, lewat mekanisme partai politik (parpol) yang diakui pemerintah kolonial Belanda, karena membentuk dewan-dewan lokal dalam konsep desentralisasi usai lahirnya UU Desentralisasi pada 1903.

Menurut peneliti sejarah Banjar, Wajidi Amberi, dari tangan para kaum terdidik ini yang mendirikan parpol. Seperti, Partai Indonesia Raya (Parindra) besutan dr Sutomo yang juga salah satu pendiri Budi Utomo, bersama kawan-kawannya pada 1935 di Surabaya.

Parpol ini merupakan fusi dari beberapa partai politik dan fase kedaerahan, seperti Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Serikat Selebes, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Budi Utomo dan lainnya.

“Sedangkan di Kalimantan Selatan, pada mulanya Parindra bernama Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang lahir pada 14 Mei 1932. Organisasi PBI digerakkan oleh kaum intelek, terutama guru-guru,” tutur Wajidi Amberi kepada jejakrekam.com, Selasa (26/6/2018).

Hingga, menurut Wajidi, pada 1935, berdiri Cabang Partai Indonesia Raya (Parindra) di bawah pimpinan Merah Johansyah. Saat itu, Parindra berkembang pesat dan menjadi satu-satunya parpol terbesar di Kalsel.

“Lewat jalur politik ini, Parindra berusaha memperbaiki penghidupan rakyat dengan mendirikan badan-badan koperasi, rukun tani, bank rakyat, pelayaran dan perdagangan. Termasuk, untuk kepentingan pendidikan, organisasi ini membentuk Perguruan Rakyat Parindra di Kandangan, Banjarmasin, Barabai, Birayang, dan Amuntai,” ungkap Wajidi.

Magister Pendidikan IPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini mengungkapkan dalam pergerakan politik ini, wakil-wakil dari Parindra berusaha duduk dalam keanggotaan raad-raad yang ada seperti Volksraad di pusat, Provinciale Raad yang di daerah menjadi Banjar Raad, Gementeraad, dan Raad-Raad lokal lainnya.

“Parindra mempunyai organisasi bawahannya seperti Rukun Tani, Rukun Pelayaran, Rukun Keputrian, Kepanduan Suryawirawan, maupun Perguruan Rakyat Parindra itu sendiri. Ini yang membuat parpol ini sangat kuat jaringan dan akar massanya,” ucap Wajidi.

Meski begitu, Wajidi tak memungkiri sikap moderat dan korporatif memang ditunjukkan Parindra terhadap Pemerintah Hindia Belanda, berbeda dengan organisasi kemasyarakatan atau parpol yang kontra dengan penjajah.

“Prinsip ini yang membuat wakil-wakil rakyat dari Parindra bisa duduk di dewan provinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota. Ternyata, lama kelamaan, justru muncul rasa takut dan cemas dari pemerintah kolonial Belanda, karena aktivitas Parindra justru condong melawan pemerintah,” ungkap Wajidi.

Menghadapi gerakan Parindra yang awalnya lunak kemudian keras terhadap penguasa, akhirnya  Pemerintah  Hindia Belanda selalu menempatkan orang-orang PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau para agen intelijen  di setiap rapat partai, baik rapat terbuka maupun rapat tertutup.

“Tidak jarang PID ini mencari-cari alasan atau perkara untuk membubarkan rapat Parindra, menangkap pembicara dan tokoh-tokoh  seperti terhadap H Ali Baderun (Ketua Parindra Cabang Barabai), memaksa Merah Johansyah (Komisaris Parindra) dan keluarga untuk pindah ke Surabaya,” beber Wajidi.

Bahkan, masih menurut dia, para pentolan Parindra Kalsel ini baru diizinkan kembali ke Banua, sampai meninggal dunia pada 1942. Sebut saja, tokoh Parindra Banjarmasin A Zakari yang dipindahkan ke Malang.

“Kemudian, Belanda juga memenjarakan tokoh Parindra Cabang Kandangan, H Ahmad Barmawi Thaib, selama penjara 3 tahun dan kemudian  dikirim ke Penjara Sukamiskin di Jawa Barat,” tutur Wajidi.

Gara-gara sikap kritis H Ahmad Barmawi Thaib dalam tulisan artikel yang bersifat politik melalui mingguan Pembangunan Semangat, dituduh Belanda telah melakukan persdelict. “Belanda juga menangkapi tokoh-tokoh Parindra Cabang Amuntai. Sebab, mereka membuat mosi menentang peraturan kerja erakan (rodi),” papar Wajidi.

Peneliti sejarah di Balitbangda Provinsi Kalsel ini menyebut tokoh-tokoh Parindra Cabang Amuntai yang ditangkap Pemerintah Hindia Belanda adalah H Murhan dijatuhi hukuman penjara 2 tahun 6 bulan. Kemudian, Abdul Hamidhan divonis 1 tahun penjara, sedangkan H Amir dan E. Sandan masing-masing dikenakan penjara 2 tahun.

Tak puas hanya itu, Belanda juga melakukan politik sapu bersih terhadap lawan politiknya. Menurut Wajidi, nasib serupa juga dialami tokoh Parindra Banjarmasin, Hadhariyah M juga dituduh persdelict, karena tulisannya berupa cerpen berjudul  “Tersungkur Di Bawah Kaki Ibu” (judul aslinya “Suasana Kalimantan”) yang diterbitkan di Medan.

“Tulisan Hadhariyah M ini dianggap pemerintah bertendensi politik sehingga penulisnya  bersama penanggung jawabnya, Matu Mona (nama aslinya Hasbullah Parinduri), diajukan ke Pengadilan Banjarmasin pada tahun 1941,” ucap Wajidi.

Melalui persidangan di bawah intervensi Pemerintah Hindia Belanda, hakim kolonial pun menjatuhi vonis 4 tahun penjara bagi Hadhariyah M, dan hukuman lebih ringan dikenakan kepada Matu Mona yang diganjar 1,5 tahun penjara. “Saat itu, keduanya dianggap melanggar KUH Pidana,” tutur Wajidi, seraya mengungkapkan dalam risetnya memperoleh foto-foto lawas dari keluarga  Achmad Darmawie, Joerliani Djohansjah, Artum Artha, dan H Abdul Muis.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/06/26/kritik-pemerintah-kolonial-belanda-tokoh-tokoh-parindra-banua-pun-diganjar-penjara/,tulisan mengkritik penjajahan belanda
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.