Polda Kalsel Harus Hormati MoU Dewan Pers dan Polri

0

Oleh : Muhamad Pazri

JIKA benar ada proses hukum kasus Diananta Putra Sumedi mantan jurnalis Banjarhits.id bersama Kumparan tetap berlanjut, namun dengan kasus berita yang berbeda, maka perlu ditegaskan dan diingatkan kembali hal itu terkait produk jurnalistik. Jadi, harus dibedakan antara delik pers dengan delik pidana.

BAHWA seharusnya karena menyangkut produk jurnalistik dilakukan terlebih dahulu beberapa langkah preventif, misalnya yang merasa dirugikan bisa menggunakan hak jawab,  hak koreksi,  hingga hak meralat.

Polda Kalsel harusnya menghormati MOU Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pegaduan dan pemberitaan media. Sehingga tidak terjadi istilah dugaan terkesan kriminalisasi terhadap pers muncul kembali.

Kasus terkait pemberitaan oleh media yang benar-benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. Karena sudah ada MOU Dewan Pers, PWI dan Polri.

Karena  sejarahnya perlu diingat kembali, seluruh organisasi wartawan baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga telah lama mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghentikan kriminalisasi terhadap Pers.

BACA : Dihukum karena Berita, Diananta Tak Kapok Pilih Jalan jadi Pewarta

Bahwa tegas pada Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers. JIka masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi dan diproses adalah dugaan bentuk  ancaman serius untuk kebebasan pers.

Seharusnya terkait soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akuratdisertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

BACA JUGA : Diananta Divonis Penjara 3 Bulan 15 Hari, Pegiat Demokrasi : Hari Kelam Kebebasan Pers

Bahwa di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).

Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu.

BACA JUGA : Pasal Karet Rancangan KUHP Berpotensi Ancam Kebebasan Pers

Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan pers yang merugikan adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers. 

Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers.

BACA JUGA : 2018, Tahun Yang Belum Berpihak Pada Kebebasan Pers

Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers.

Sehingga  untuk di Kalimantan Selatan, saya berharap kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut.(jejakrekam)

Penulis adalah Direktor Borneo Law Firm (BLF) Banjarmasin

Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat

Advokat dari Peradi Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.