Bukan Hindu Kaharingan, Masyarakat Desa Kambiyain Sebut Penghayat Balian

0

KAHARINGAN diperkenalkan Tjilik Riwut pada 1944 sebagai agama leluhur masyarakat Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

NAMUN, ternyata agama Kaharingan tak cukup sebagai pengakuan identitas masyarakat Dayak sebagai pribumi Pulau Borneo, meski secara konstitusi kebebasan beragama atau menganut kepercayaan itu dijamin oleh UUD 1945.

Hanya saja, terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, hanya ada enam agama diakui Negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Alhasil, agama Kaharingan pun akhirnya dimasukkan dalam unsur kepercayaan leluhur yang terakomodir dalam agama Hindu, khususnya Hindu Dharma Bali. Terlebih lagi, secara kedekatan kebudayaan dianggap lebih lekat dibandingkan agama lainnya. Hal ini juga dirasakan ratusan kepala keluarga (KK) yang menghuni di Desa Kambiyain, Kecamatan Gunung Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.

BACA : Siap Lawan, Tokoh Dayak Loksado Wanti-Wanti Jangan Tambang Pegunungan Meratus

“Sebenarnya, kami ini bukan penganut agama Hindu (Bali), apalagi Kaharingan yang sama sekali kami tak kenal. Namun, kami ini adalah penghayat Balian, agama leluhur kami di Pegunungan Meratus yang sudah turun temurun dianut,” kata Kepala Desa Kambiyain, Anang Suriani kepada jejakrekam.com, dalam media tour AJI Balikpapan Biro Banjarmasin ke desa yang berada di lerang barisan Pegunungan Meratus kolaborasi dengan Walhi Kalsel dan Green Peace Indonesia, akhir Desember 2023 lalu.

Meski di samping rumah sang Pembakal Anang ini terdapat semacam pura kecil untuk persembahyangan kepada para Dewa yang sangat kental sentuhan budaya Bali. Termasuk, dalam ruangan tamu Pembakal Anang ini juga dihiasi foto-foto Trimurti atau Tiga Dewa Utama dalam kepercayaan umat Hindu, seperti Brahma, Wisnu dan Siwa atau Mahadewa bersama para dewinya.

BACA JUGA : Diawali Aruh Basambu dan Bawanang, Syukur Hasil Panen, Dayak Loksado Gelar Aruh Ganal

Toh, ternyata praktik agama Balian tetap yang dipegang erat oleh warga Desa Kambiyain lewat Balai Desa Kambiyaian sebagai tempat ritus-ritus peribadatan dan kebudayaan masyarakat Dayak Pitap.

Pamela J Stewart bukunya berjudul Expressive Genres and Historical Change: Indonesia, Papua New Guinea, and Taiwan (2005) menyatakan bahwa Balian merupakan rohaniawan dalam agama Kaharingan yang terkenal di kalangan suku Dayak Ngaju, suku Dayak Meratus, serta suku Dayak lainnya.

Peta kawasan adat dan hutan Dayak Pitap di Kabupaten Balangan. (Foto Didi GS)

Seorang Balian bertugas memimpin ritual keagamaan Kaharingan, berurusan dengan Dunia Atas dan Dunia Bawah dari para roh manusia yang telah meninggal, serta bertugas memanggil Sangiang sebagai juru damai dalam suatu peristiwa yang menjadi topik pada suatu upacara keagamaan Kaharingan.

BACA JUGA : Ini Lima Metode ‘Batambaan’ Pengobatan Tradisional Masyarakat Banjar

Benar saja, Anang Suriani bersama warga Desa Kambiyain tetap menjaga warisan leluhur menghayati ajaran-ajaran Balian yang mengandung nilai-nilai moral tinggi, seperti menjaga warisan hutan adat, kesakralan alam dan lingkungan hidup, terkhusus padi dan air yang menjadi sumber penghidupan.

Desa Kambiyain sendiri awalnya merupakan Kecamatan Awayan, ketika Kabupaten Balangan belum terbentuk saat masih bergabung ke Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).

Begitu UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan, akhirnya Awayan pun berpisah dari induknya, dan kini dipecah lagi dalam beberapa kecamatan, di antaranya Kecamatan Tebing Tinggi.

BACA JUGA : Testimoni Penganut Kaharingan yang Alami Diskriminasi

Hingga lewat Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pembentukan Desa Ajung dan Desa Kambiyain di Kecamatan Tebing Tinggi serta Desa Padang Raya, Desa Sumber Agung dan Desa Mamigang di Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, desa-desa ini mulai berjarak dan terpisah dengan garis atau batas desa.

Terbukti, masalah batas desa antara Desa Ajung yang dihuni mayoritas muslim meski masih berkerabatan dengan warga Desa Kambiyain masih belum tuntas. Padahal, sebelumnya, dua desa ini merupakan bagian dari kawasan adat Dayak Pitap yang masih menjaga keasrian alamnya agar tak dijamah orang-orang serakah atas kekayaan alam yang terkandung di barisan Pegunungan Meratus.

Mafhum saja, Pegunungan Meratus yang ada di Kabupaten Balangan, sebuah kabupaten termuda di Kalimantan Selatan memang kaya dengan emas hitam batubara, bijih besi, hingga keanekaragaman hayati dan hewani. Khususnya, pohon-pohon endemik berikut buah-buahan khas hutan hujan Borneo dan tanaman obat-obatan berkhasiat.

BACA JUGA : Sampaikan Kegelisahan, Delis Lantunkan Delapan Lagu Ciptaan Pada Pentas Sensapi Deah

Desa Kambiyain pun masih berkerabat dengan masyarakat Dayak Pitap yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Tebing Tinggi maupun Awayan. Termasuk, masih satu leluhur dengan Dayak Deah, Dayak Halong dan Dayak Maanyan di Balangan maupun tetangganya; Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

“Iya, ini yang kami khawatirkan. Sebab, perizinan yang dimiliki sejumlah perusahaaan atau pengusaha itu baru berakhir pada 2030. Tentu ini menjadi kekhawatiran, bukan soal kerusakan alam, namun juga berimbas kepada kebudayaan serta kepercayaan kami sebagai penghayat Balian,” kata Anang Suriani.

Menurut Anang Suriani, jika misalkan perkebunan skala besar atau monokultur seperti kelapa sawit merambah ke kawasan hutan Meratus, khususnya di Desa Kambiyain, jelas akan berpengaruh pada kelestarian agama Balian itu sendiri.

BACA JUGA : Walhi Kalsel: Lebih Baik Akui Masyarakat Adat Pegunungan Meratus Daripada Dagang Karbon

“Bayangkan, kami tidak bisa lagi menggelar aruh adat, karena padi ladang berganti dengan sawit. Lalu, soal masak-masakan yang kebanyakan dari santan kelapa, tak mungkin diganti dengan minyak sawit. Belum lagi, bikin ancak bukan dari daun sawit. Inilah mengapa kami bertekad untuk memertahankan tanah kami sampai kapan pun,” ucap Anang Suriani.

Padi hasil ladang baik beras putih maupun beras merah yang menjadi komuditas andalan masyarakat Dayak Pitap. (Foto Didi GS)

———-

Dia mengatakan spirit itu tetap dihidupkan dan terus dijaga dari generasi ke generasi, karena masyarakat Desa Kambiyain yang menjadi bagian dari komunitas Dayak Pitap harus bangga dengan identitas dirinya sebagai penjaga alam dan kebudayaan asli bumi Kalimantan.

BACA JUGA : AMAN Usulkan Perda Masyarakat Adat di Balangan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengakui keberadaan masyarakat adat seperti di Desa Kambiyain sepatutnya ini menjadi atensi khusus pemerintah pusat dan daerah.

“Kami tak bisa membayangkan jika atap Kalsel seperti di Desa Kambiyain ini dirusak oleh orang-orang serakah, mau jadi apa Banua ke depan? Bukan hanya alam yang rusak, tapi juga kepercayaan, kebudayaan hingga generasi masyarakat adat yang konsisten menjaganya dari generasi ke generasi. Inilah mengapa penting keberpihakan pemerintah berupa regulasi atau kebijakan baik UU, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah terhadap eksistensi masyarakat hukum adat,” imbuh Kisworo.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.