Masjid Terapung dan Pemikiran Fiqih Komtemporer KH Adnani Iskandar

0

PEMBANGUNAN masjid terapung di tepian Sungai Martapura, memang cukup mengejutkan. Apalagi, masjid ini kabarnya menghabiskan dana miliaran rupiah berdiri di atas lahan bekas langgar yang dibangun ulama terkemuka di zamannya, Syekh Jamaluddin Al Banjary atau Surgi Mufti di Sungai Jingah.

TULISAN yang saya rangkai ini menjawab pertanyaan rekan-rekan pers, meminta pendapat soal pembangunan masjid di bantaran Sungai Martapura. Mungkin ini masalah sensitif untuk diperbincangkan.

Namun, saya tak bisa menghindar dengan beragam alasan berdasar pikiran, akal sehat dan nurani agar semua tak salah paham dengan pemikiran ini. Saya sendiri mendukung sepenuhnya pembangunan pusat keagamaan seperti langgar, masjid atau mushala dan sejenisnya sebagai wadah beribadah dan mencetak generasi yang dekat dengan Tuhan serta bersilaturahmi dengan sesama.

Namun, ada hal yang menggelitik dalam pemikiran saya, ketika ada sebuah masjid terapung dibangun di tepian sungai. Jika zaman dulu sudah berdiri, mungkin tak mengapa karena sudah terlanjur.

BACA :  Bergaya Masjid Nabawi, Masjid Terapung Bani Arsyadi Didirikan di Sungai Jingah

Sekarang bagaimana? Banyak aturan yang telah dibuat termasuk yang digodok dan kemudian dituangkan pemerintah pusat bersama DPR RI yang membuat undang-undang. Sebut saja, semisal UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengairan serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, sangat jelas 10 hingga 20 meter dari bibir sungai atau sempadan sungai dilarang adanya bangunan.

Ini belum lagi, jika dikaitkan dengan UU Lingkungan Hidup, UU Tata Ruang atau peraturan lainnya yang menyangkut garis sempadan sungai. Bahkan, Pemkot Banjarmasin sudah memiliki perda yang senafas dengan itu.

Inilah aturan yang kita harus sepakati karena menjadi hukum positif di negeri ini. Tinggal bagaimana kepatuhan kita untuk menjalankannya. Memang berat bagi saya untuk mengemukan pendapat, namun itulah faktanya.

Mungkin orang akan mengaitkan dengan pencalonan saya sebagai salah satu calon legislatif di Pemilu 2019 ini. Namun, perintah nurani ini tak dibendung untuk mengemukan pendapat. Apalagi, ada kekhawatiran tak bisa terpilih, merupakan satu kewajaran bagi seseorang, hingga akhirnya takut bersuara. Yakinlah takdir dari Yang Maha Kuasa jauh lebih kita percayai, dibandingkan hitung-hitungan di atas kertas.

Dari tulisan ini, saya mengutip pendapat sejumlah ulama yang bisa menjadi teladan, karena pendapatnya bisa dipegang. Adalah almarhum KH Adnani Iskandar, yang di eranya sempat menjabat Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan berpendapat walaupun bangunan itu benda mati, namun dia menunjukkan sebuah keteladanan. Jangan sampai istilah Urang Banjar, mengguyang tungkat kena dahi (menggoyang tongkat terkena dahi sendiri), ketika kita memberi contoh yang tak bijak.

Wajar, pemikiran KH Adnani Iskandar yang merupakan ulama ahli fikih komtemporer ini menjadi rujukan. Apalagi, pemikiran almarhum sempat menjadi bahan penelitian oleh para akademisi dan mahasiswa IAIN (kini UIN) Antasari Banjarmasin pada 2010 silam.

BACA JUGA :  Jadi Bandar, Umur Pasar Terapung Muara Kuin Setua Kesultanan Banjar

Saat berdialog sesama hidupnya di rumahnya di Jalan Djok Mentaya (dulu Nagasari), paling tidak 15 tahun yang lalu, KH Adnani Iskandar berpesan agar sungai dijaga ekosistemnya, karena ada makhluk yang juga membutuhkan sungai, selain manusia.

Jika tak salah, pemikiran almarhum KH Adnan Iskandar adalah sungai adalah untuk kepentingan umum berupa jalur transportasi sungai dan lainnya. Ketika ada kepentingan umum yang jauh lebih besar, maka kepentingan khusus bagi sebagian orang harus mengalah dan taat.

Pemikiran KH Adnani Iskandar ini sejalan dengan apa yang saya ungkapkan dalam tulisan ini. Saya menghormati pemikiran ulama yang jauh mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan khusus.

BACA LAGI :  Jadi Ikon Banua, Kampus Terapung UMB Segera Diresmikan Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir

Begitupula, ketika almarhum Walikota Banjarmasin Sofyan Arpan juga mengemukan untuk membersihkan kanal di Teluk Dalam, Jalan Sutoyo S untuk dibangun jalan sekunder, demi kepentingan umum yang lebih besar dibandingkan jauh pemukman atau tempat berjualan. Sayang, rencana itu gagal, ketika almarhum Sofyan Arpan berpulang.

Soal ketika ada tempat yang lebih baik untuk membangunkan, alangkan indahnya dunia itu. Tetapi, ketika bangunan yang ada di sungai sudah ada sejak dulu, biarlah itu menjadi catatan sejarah peradaban kita. Namun, jangan sampai kita membangun baru yang akan menjadi contoh baru yang terkesan malah bertentangan dengan regulasi yang ada.(jejakrekam)

Penulis adalah Warga Banjarmasin

Putra Tokoh Pers Kalsel Anang Adenansi

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.