Refleksi Demokrasi; Pemilu (Pilu) 1955-2019 dan Sidang Mahkamah Konstitusi (2-Habis)

Oleh : M. Rezky Habibi R

0

BEBERAPA hari yang lalu, layaknya laga el clasico, kita dipertontonkan sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon Presiden-Wakil Presiden 02 Prabowo-Sandi sebagai pihak pemohon yang tidak terima dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon.

DALAM persidangan di Mahkamah Konstitusi tersebut kita dipertontonkan dengan perdebatan-perdebatan intelektual yang kita harapkan dapat membangun legal culture masyarakat Indonesia dalam berhukum serta minat masyarakat di dalam pendidikan hukum.

Dimana selambat-lambatnya pada tanggal 28 Juni 2019, mendatang, hakim konstitusi sudah harus memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ini yang selanjutnya akan disusul sidang-sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon legislatif. Tentu, yang kita harapkan muncul adalah pertarungan bukti-bukti dan perdebatan intelektual tidak hanya perdebatan yang berkutat pada perang argumentasi yang kering substansi.

BACA : Refleksi Demokrasi; Pemilu (Pilu) 1955-2019 dan Sidang Mahkamah Konstitusi (1)

Apabila dicermati terdapat tiga hal yang menarik dari fundamentum petendi yang diajukan oleh pemohon 02 melalui kuasa hukumnya. Pertama; terkait hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam hal perbaikan permohonan yang menambah objek permohonan. Kedua; terkait permohonan menyatakan bahwa anak perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ketiga; terkait penyelesaian perselisihan proses yang merupakan kompetensi absolut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang coba dibawa kuasa hukum 02 ke Mahkamah Konstitusi.

Tanpa bermaksud mendahului Hakim Konstitusi, apabila tiga hal tersebut dikabulkan oleh Hakim Konstitusi maka menarik ditunggu rasio decidendi apa yang akan dijadikan dasar argumentasi oleh Hakim Konstitusi dalam putusannya sehingga memilih pendekatan judicial activism yang lajimnya lebih sering menahan diri dengan pendekatan judicial restraint dalam putusan-putusan sebelumnya.

BACA JUGA : Potensi Sengketa Pemilu di MK Tinggi, Komisioner Bawaslu se-Kalsel Dibekali

Kendati dalam sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi itu sendiri pada tahun 2003-2014 tidak pernah mengabulkan satu pun sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon Presiden dan Wakil Presiden, mengingat begitu rumitnya pembuktian permasalahan klasik seperti C1, DPT, DPTb dan TSM dengan perbandingan wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar.

Apapun putusan Mahkamah Konstitusi nantinya, sebagai negara yang mendaku diri negara hukum putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi haruslah dihormati tanpa kecuali sebagai mahkota Mahkamah Konstitusi.

Menutup tulisan ini terlepas dari refleksi demokrasi pemilu-pilu 1955 dan 2019, kita patut berbangga untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu serentak dengan aman dan damai tanpa ada keributan yang signifikan.

BACA JUGA : BPP 02 Kalsel Nilai Alasan KPU RI Hanya untuk Berkilah saja

Walau pada saat hari pencoblosan harus diakui bersama masih banyak terdapat masyarakat yang kebingunan terkait mekanisme mencoblos dengan begitu banyaknya lembaran kertas yang harus dicoblos dan banyaknya kekurangan lembaran surat suara untuk pencoblosan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, hal itu masih dalam batas wajar merupakan hal yang pasti mengurangi kadar kualitas demokrasi pada perhelatan pemilu itu sendiri.

Begitu banyak pekerjaan rumah yang menjadi catatan kita bersama dalam merefleksikan pemilu 2019 sebagai wujud dari demokrasi, e-voting adalah diskursus yang harus didiskusikan baik dari teknis pelaksanaan sampai pada proses pelaksanaannya nanti sehingga dapat setidak-tidaknya meminimalisir meninggalnya petugas pemilu dalam perhelatan pemilu yang akan datang.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Konsentrasi Hukum Tata Negara ULM

Email: [email protected]

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.