Napak Tilas Syekh Jamaluddin Al Banjari, Datu Surgi Mufti di Kampung Qadi Sungai Jingah

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

TEPAT pada Rabu (26/7/2023) atau bertepatan dengan 8 Muharram 1445 Hijriyah, Datu Surgi Mufti atau Syekh Jamaludin merupakan haul ke-97 tahun.

DATU Surgi Mufti merupakan kampung yang awalnya masuk dalam wilayah Kelurahan (Kampung) Sungai Jingah. Di era Kolonial Belanda, Sungai Jingah tak hanya dikenal dengan sematan Kampung Juragan, namun juga dikenal Kampung Qadi. Julukan itu berlangsung pada masa Hindia Belanda hingga berakhir saat era pendudukan kolonial tahun 1942 dengan masuknya serdadu Jepang.

Dalam kurun waktu tersebut, terdapat beberapa tokoh masyarakat di Sungai Jingah yang pernah menjabat sebagai Qadi. Di antaranya H. Busra Kasim dan H. Asnawi. Para Qadi ini melaksanakan aktivitasnya di bagian depan Masjid Jami Sungai Jingah. Pada kawasan Kampung Sungai Jingah juga terdapat situs Makam Syekh Jamaluddin (Kubah Surgi Mufti).

Makam tersebut menjadi objek wisata religi ziarah yang dikelola oleh pemerintah dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992.

Dalam kajian historis, pada akhir abad ke-18, pemerintah Kesultanan Banjarmasin menempatkan ‘Mahkamah Syariah’ sebagai birokrasi peradilan, yang berperan dalam mengembangkan jaringan Islamisasi ke berbagai pelosok Banjarmasin melalui peran Mufti, Qadhi, Khalifah, Khatib, Penghulu, dan Bilal.

BACA : Kampung Qadi dan Tuan Mufti Besar Banjarmasin, Syekh Jamaluddin (2)

Jaringan Mahkamah Syariah dengan islamisasi dilakukan oleh Bubuhan Tuan Surgi Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjary. Pada periode ini, Kampung Sungai Jingah yang terletak di tepi Sungai Martapura berkembang. Keberadaan Kampung Sungai Jingah tidak terlepas dari keberadaan Syekh Jamaluddin Al Banjari, cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.

Foto Datu Surgi Mufti bersama keluarga besarnya difoto di masa kolonial Belanda. (Foto Dokumentasi Keluarga)

———–

Setelah kembali dari Mekkah pada  1894, Syekh Jamaluddin memutuskan untuk berdakwah dan pada 1899 hingga dianugerahi gelar Surgi Mufti yang berarti pemimpin suci oleh Belanda. Syekh Jamaluddin wafat pada 8 Muharram pada 1348 H, yang kemudian dimakamkan di kubah yang berlokasi di Kampung Sungai Jingah.

BACA JUGA : Wahdatul Wujud, Ajaran Nur Muhammad dan Sufisme Banjar

Ditinjau dari kurun waktu pembangunan, rumah-rumah yang ada di kawasan ini dibangun sekitar awal hingga pertengahan abad ke-19. Pada era kolonial tahun 1919, menjadi bagian wilayah Gemente Banjarmasin, kawasan ini berkembang menjadi permukiman bagi masyarakat bumiputera (masyarakat asli). Selain dihuni oleh masyarakat awam, kawasan ini juga terdapat beberapa pegawai (ambtenar) pemerintahan yang berasal dari masyarakat asli serta beberapa rumah saudagar Banjarmasin yang berbentuk kluster dan dapat dikenali hingga kini.

Menurut penuturan juru kunci makam, Siti Armiziah Arsyad, Syekh Jamaluddin dilahirkan kira-kira tahun 1817 M/1238 H di Desa Dalam Pagar, Martapura. Beliau merupakan cicit (buyut) Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary). Menimba ilmu dan bermukim cukup lama di Mekkah yakni sekitar 40 tahun.

BACA JUGA : Punya Nilai Historis, Turbah Sungai Jingah Diusulkan Jadi Objek Cagar Budaya

Guru-guru Syekh Jamaluddin sewaktu di Mekkah adalah Alimul Allamah Syekh Athaillah. Setelah pulang ke kampung halaman, Syekh Jamaluddin berkiprah sebagai ulama sebagai generasi penerus datu beliau; Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Sementara pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya pada 1314 Hijriyah, Syekh Jamaluddin diangkat menjadi Mufti yang berkedudukan di Banjarmasin.  

Kantor Residen Belanda di kawasan Kampung Amerongan, Benteng Tatas yang kini jadi kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin Banjarmasin. (Foto KILTV Leiden)

————-

Siti Armiziah Arsyad juga mengungkapkan oleh sebab itu beliau dikenal dengan sebutan Tuan Mufti Banjar. Sebagai mufti, Syekh Jamaluddin merupakan hakim tertinggi yang mengawasi pengadilan umum di bidang syariah. Jabatan mufti sebenarnya berasal dari lembaga Mahkamah Syariah yang telah eksis sejak masa kerajaan Banjar dan pembentukannya digagas oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary.  

BACA JUGA : Rumah Banjar Sungai Jingah Makin Menghilang

Syekh Jamaluddin, cicit (buyut) Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari) adalah keturunan dari pasangan Hajjah Zalekha binti Pangeran Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Haji Abdul Hamid Kusasi bin Syarifah binti Umpil bin Mu`min (seorang menteri di zaman Kesultanan Banjar) yang wafat pada tanggal 8 Muharam 1348 Hijriyah.

Dalam kalender Masehi, 16 Juni 1929 M dan dimakamkan di depan rumah beliau di Kampung Sungai Jingah Banjarmasin pada hari Ahad, 9 Muharam 1348 H jam 2 siang, yang sampai tahun 2010-an bernama Kubah Sungai Jingah atau Makam Datu Surgi Mufti Jamaludin.

BACA JUGA : Tanpa Perlindungan Hukum, Rumah Berarsitektur Banjar di Sungai Jingah Bisa Punah

Pada makam tersebut masih menjadi wilayah Kampung Sungai Jingah dengan nama ”Kubah Surgi Mufti”. Toponim Surgi Mufti diambil dari dua kata, yakni “surgi” mengacu pada gelar tokoh ulama Kharismatik kesultanan Banjar yakni Haji Jamaluddin dan kata “Mufti” dilatarbelakangi penamaan jabatan yang disandang Haji Jamaluddin sebagai mufti pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memberikan nama jalan di kampung Sungai Jingah, tempat kediaman Mufti Jamaluddin, yakni Mufti Straat.

Masjid di tepian Sungai Martapura diyakini adalah Masjid Sungai Jingah di Kota Banjarmasin di era Kolonial Belanda. (Foto KILTV Leiden)

————

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1314 H beliau diangkat menjadi mufti yang berkedudukan di Banjarmasin dan oleh sebab itu beliau dikenal dengan sebutan Tuan Mufti Banjar. Sebagai mufti beliau merupakan hakim tertinggi yang mengawasi pengadilan umum di bidang syariah. Jabatan mufti sebenarnya berasal dari lembaga Mahkamah Syariah yang telah eksi sejak masa kerajaan Banjar dan pembentukannya digagas oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary.

BACA JUGA : Sungai Jingah, Kampungnya Saudagar Banjar (1)

Pada Mahkamah Syariah itulah terdapat jabatan Mufti sebagai Ketua Hakim Tertinggi, yang berfungsi pula untuk mengawasi pengadilan umum. Mufti didampingi oleh seorang Qadi ialah pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan, agar hukum Islam berlaku dengan wajar. 

Perkampungan warga Banjar di tepian Sungai Marrtapura Banjarmasin. (Foto KILTV Leiden)

———–

Jadi, di samping sebagai Mufti (Hakim tertinggi yang mengawasi pengadilan umum di bidang syariah), beliau juga memberikan pelajaran mengaji. Banyak orang yang datang belajar dan mengaji kepada beliau baik dari lingkungan kerabat amupun sahabat, sehingga sehari-hari beliau penuh dengan kegiatan mengajar dan mengaji serta memberikan doa dan nasihat kepada para tamu yang datang mengunjungi beliau.

BACA JUGA : Laku Sufisme dan Jalan Suluk Warnai Bentukan Masjid di Tanah Banjar

Setelah sekian lama berkiprah sebagai tuan guru dalam mengemban misi dakwah islamiyah, maka pada hari Sabtu 8 Muharam 1348 Hijriyah, kira-kira jam 3 menjelang ashar, beliau berpulang ke rahmatullah.

Selain makan Syekh Jamaluddin, di dalam kubah juga terdapat 3 makam lainnya, yakni makam istri Syekh Jamaludin, makam HM Thoha bin HM As’ad (menantu Syekh Jamaludin), dan makam Muhamad Arsyad bin Syekh Jamaludin, sehingga secara keseluruhan terdapat empat makam.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.