Diskusi Antar Generasi Di Ngopi JRTV, Hadin Muhjad: Selektif Memilih Calon Pemimpin

0

KALAU bicara pemuda dari Zaman Orde Baru ke Zaman Reformasi tentu sangat jauh berbeda. Zaman Orde Baru pemuda itu selalu terbina, sehingga banyak organisasi yang bermuculan.

HAL tersebut diungkapkan Profesor Hadin Muhjad dalam acara Ngopi JRTV beberapa hari yang lalu. “Sejak zaman saya dulu, pemuda itu melalui (proses) pengkaderan, sehingga pemudanya memang berkualitas, (namun) dan sekarang ada penurunan dari segi organisasi untuk kepemimpinan, maka wajar saja yang muncul pemuda karbitan,” ujarnya.

Menghadapi Bonus Demografi Tahun Emas 2045, Akademisi Fakultas Hukum ULM ini mengimbau bagi masyarakat khususnya generasi milenial untuk selektif memilih calon pemimpin. “Parameter atau ukuran memilih pemimpin yang ideal adalah bukan dari amplop yang dibagikan, namun karena visi misi yang diusungnya,” imbaunya.

BACA: Memaknai Sumpah Pemuda, Indonesia Merdeka Tak Terlepas Dari Peran Pemuda

Proses demokrasi perlu dibenahi, karena menurutnya demokrasi kelewat batas yang menjadi masalah di negeri ini. Maka generasi milenial harus dapat merubah haluan tersebut menjadi demokrasi yang berkesinambungan.

Sementara itu, Yandi Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalimantan Selatan mengakui, bahwa Generasi Z saat ini terlalu manja, sehingga sulit untuk mendapatkan pemimpin (kader) yang mumpuni.

Generasi manja disebutkan Yandi, karena saat ini zaman digitalisasi, zaman yang bisa dibilang seperti pisau. “Ketika pisau itu diberikan kepada seseorang yang baik (maka) akan bermanfaat, tapi kalau diberikan kepada orang yang tidak baik atau tidak waras akan jadi alat untuk membunuh,” ujarnya.

Ditambahkan Yandi, dulu para pemuda beda pendapat itu biasa, tapi sekarang seolah-olah saling membenci dan tidak ada kesiapan saling berbeda. “Tahun 2045 menuju Indonesia emas, tapi pemudanya seperti apa? dan ini PR peran orang tua, sebab diibaratkan pemuda itu gas dan orang tua itu diibaratkan rem, tentu di sini peran orang tua yang sangat dominan,” tuturnya.

Sedangkan Muhammad Rasyidi mengungkapkan, pada zamannya pemuda sangat ingin menemukan karakter moral, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. “Sebab sejak kita di bangku sekolah dari SD sampai ke perguruan tinggi masih ada pelajaran P4, PMP dan PSPB, dan ini kita dituntun soal kebangsaan yang mewarnai kita berpikir,” ujarnya.

“Hari ini, demokrasi dipagari hanya dengan hukum, dan itu tidak cukup kalau tidak dipagari dengan moral dan etika. Bahkan membangun SDM pun kalau tidak dipagari dengan moral dan etika, itu sangat berbahaya,” tambah Wartawan Senior ini.

Pengamat Sosial Subhan Syarif menambahkan, di generasinya selalu ada pemberontakan, seperti pengeboman Candi Borobudur dan Pengeboman BCA. “Tetapi dulu moral ditanamkan kepada mahasiswa, agar tidak terjadi radikal,” ujarnya.

“Bahkan zaman saya dulu sering melakukan diskusi, baik itu di kampus maupun di masjid-masjid, sehingga mahasiswa zaman saya dulu itu mempunyai sudut pandang yang bagus,” ucapnya.

“Berbicara Zaman Reformasi Tahun 1998 dari Zaman Orde Baru. Ternyata Zaman Reformasi ini lebih buruk, sebab KKN-nya menjadi-jadi. Kalau Zaman Orde Baru dulu kita jangan harap bisa bermain proyek, walaupun dulu itu ada, tapi tidak separah sekarang. Sebab proyeknya belum ada, mereka sudah minta fee-nya,” keluhnya.

Sedangkan terkait menuju Indonesia Emas Tahun 2045, menurut Subhan, sikap dan perilaku dari generasi akan datang masih menimbulkan persoalan yang harus dibenahi.

Apalagi jumlah generasi milenial secara nasional mencapai 69,38 juta jiwa atau sekitar 25,87 persen dari populasi Indonesia.

BACA JUGA: Momentum Pemuda di Hari Sumpah Pemuda dalam NGopi Akhir Pekan

Memperhatikan jumlah tersebut, posisi milenial saat ini menjadi bagian utama yang akan menentukan kondisi kehidupan berpolitik yang beradab di masa kini dan masa yang akan datang.

“Artinya, generasi milenial adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional,” katanya.

Oleh karena itu Subhan berujar, kewajiban kaum milenial adalah pemegang kendali dunia politik untuk mendorong perwujudan demokrasi.

“Kaum milenial dituntut untuk bersikap aktif membantu pemerintah dalam memberikan masukan dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Jangan hanya berdiam diri, namun berpikirlah kritis untuk ikut serta menjaga kondusifitas daerah,” pesannya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.