Berkat Erik Petersen, Si Kai Asing yang Membawa Jukung Borneo Mendunia

0

LAHIR di Denmark, 1930 silam dan mengabdikan hidupnya di tiga Benua. Namun, akhir hayatnya dihabiskan di Tanah Banjar. Itulah seorang Erik Petersen. Namanya dikenal sebagai seorang ilmuwan lewat karyanya yang membuka cakrawala pengetahuan atas kebudayaan lawas penuh makna.

LEWAT karya tulisnya yang monumental, Erik Petersen dikenal warga Banjar dengan sebutan Kai Asing (Kakek Asing) ini membuahkan hasil riset mendalam lewat buku berjudul Jukung Boats from the Barito Basin, Borneo yang terbit pada 2000. Kehidupan Erik Petersen yang berasal dari Jazirah Skandinavia, telah lama akrab dengan kehidupan maratim, berbeda dengan daratan Eropa lainnya.

Karya Kai Asing ini mengangkat khazanah budaya Barito Basin (Borneo) dikenal seantero dunia. Pendeknya, dari Laut Baltik hingga Kepulauan Faroe, Erik Petersen yang menghabiskan masa tuanya menjadi warga biasa di Banua Anyar, Banjarmasin ini dengan karyanya menjadi rujukan akademisi Eropa dan Asia dalam kajian sejarah maritime, arkeologi laut, dan akreologi ekspremental.

“Warga Kalimantan, khususnya Kalsel patut berterima kasih dengan Kai Asing. Pria Denmakr inilah yang membawa jukung dari Sungai Barito hingga ke Laut Baltik. Erik Petersen juga mengenalkan jukung dari Barito Basin di Asia hingga ke Benua Biru (Eropa). Patut kita ucapkan Tusind Tak! Atau terima kasih banyak,” ucap Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur kepada jejakrekam.com, Kamis (26/4/2018).

Menurut Mansyur, goresan pena seorang Erik Petersen telah membawa jukung Barito Basin mendayung ke negeri impian di pentas dunia. Bagi peneliti muda sejarah ini, tak salah jika komentar Erik Petersen dalam bahasa Denmark berbunyi lad mig vaere atau biarkan saya sendiri, karena kami di sini bersamamu, patut diapresiasi semua pihak, khusus warga Kalimantan Selatan.

Magister sejarah jebolan Universitas Diponegoro, Semarang ini mengungkapkan karya Erik Petersen yang memuat fakta dan data perahu tradisional Kalimantan dengan label jukung Borneo bisa hadir di pameran kelas dunia di Denmark pada 2000-an. “Dari karya Kai Asing ini pula, dunia internasional mengenal moda transportasi tradisional khas Borneo di Benua Biru,” ucap Sammy, sapaan akrabnya.

Berlatar belakang seorang arsitek perencana, Erik Petersen berkelana di tiga Benua, Denmark (Eropa), Afrika Timur hingga ke Indonesia (Asia). Menurut Sammy, Erik Petersen telah mendedikasikan hidup dan ilmunya sejak 1956 dan hingga pensiun pada 1992, dan memilih menetap di kampung pelosok Banjarmasin, tepatnya di Banua Anyar.

“Mengapa Erik Petersen memilih menetap di Banjarmasin? Dia memang tertarik dan terkesan dengan pembuatan kapal tradisional jukung, hingga melakukan penelitian mendalam. Wajar saja, jika empat tahun kemudian pada 1996, The Viking Ship Museumn Roskilde, Denmark menggagas proyek etnografis. Khususnya yang berhubungan dengan tradisi pembuatan perahu pada sungai-sungai di berbagai belahan dunia,” papar Sammy.

Apalagi pada tahun sebelumnya, The Viking Ship Museum (1991) pernah menerbitkan sebuah buku tentang perahu dari suku di Borneo Utara berjudul Building A Longboat: An Essay On The Culture And History Of A Bornean People oleh Ida Nicolaisen dan Tinna Damgard Sorensen.

“Terbitnya buku inilah mendorong The Viking Ship Museum menginisiasi proyek lagi dan berjanji untuk mempublikasikan materi yang mampu diselesaikan penulis sesuai rencana. Viking Ship Museum atau dalam Bahasa Danish dikenal Vikingeskibsmuseet di Roskilde adalah museum nasional Denmark untuk kapal, pelayaran dan pembuatan kapal di periode prasejarah dan abad pertengahan Museum Kapal Viking juga melakukan penelitian dan mendidik para peneliti di bidang sejarah maritim, arkeologi laut, dan arkeologi eksperimental,” ungkap Sammy.

Terbukti, kata dosen muda prodi Sejarah FKIP ULM ini, berbagai konferensi akademik dihelat Viking Ship Museum, bahkan ada perpustakaan penelitian yang berhubungan dengan museum. Bahkan, Museum Kapal Viking memiliki tradisi panjang dari rekonstruksi kapal Viking dan pembangunan kapal hingga mengumpulkan perahu yang menarik dari seluruh wilayah Skandinavia.

Sammy menjelaskan pola Viking adalah menggunakan batang pohon yang dilubangi untuk membuat perahu. Perahu dibuat lebih tinggi dengan penambahan papan di sisi-sisinya; tetapi proses konstruksi tertua ternyata tidak didokumentasikan. Nah, menurut dia, Viking Ship Museum kemudian mendukung serangkaian proyek etnografi tentang perahu di seluruh dunia, dengan harapan bahwa tradisi membangun perahu di tempat lain dapat menjelaskan hal ini.

“Dari sini, Erik Petersen pun terpilih menjadi peneliti dari proyek yang digagas museum terkenal negeri The Little Mermaid ini,” ucap Sammy. Menurut dia, dalam melakoni risetnya, Erik memang selalu tampil dengan ciri khasnya, sederhana. Sammy juga menyebut polah Erik Petersen juga suka bertelanjang dada, lengkap dengan kacamata khas.

“Pensiunan arsitek ini suka naik sepeda ke mana-mana. Menyusuri jalan di sudut sudut Kota Seribu Sungai yang jadi objek risetnya,” ujarnya.

Diakui Sammy, pekerjaan lapangan Erik Petersen memang dilakukan di tiga lokasi. Pertama, di sepanjang Sungai Mangkutup dan Muroi. Kedua, di Desa Manusop dan Sungai Dusun dan ketiga di Alalak, tepatnya di Pulau Sewangi, sentra pembuatan perahu tradisional Banjar.

Bahkan, kata Sammy, Erik juga sempat mengunjungi Candi Borobudur dan mampu menggunakan sebagai bukti beberapa penggambaran perahu yang ditemukan di sana. Dan, kata dia, buku Jukung-Boats from the Barito Basin, Borneo mulai ditulis Erik sejak Desember 1998.

Sammy juga menerangkan AVM Horton, dalam review buku Erik Petersen, 2000, Jukung-Boats from the Barito Basin, Borneo, dalam Borneo Research Bulletin, 1 Januari 2009 menjelaskan bahwa hasil riset Petersen, dituangkan dalam buku berjudul “Jukung-Boats from Barito Basin, Borneo”.

“Buku ini berjenis hardcover dan terdiri dari 157 halaman. Diterbitkan Viking Ship Museum, Roskilde pada bulan Desember, tahun 2000, berbahasa Inggris. Kata pengantar buku ditulis Tinna Damgird Sorensen, sang Direktur Viking Ship Museum,” papar Sammy.

Selain itu, masih menurut dia, Erik juga mengadakan Pameran Peragaan Pembuatan Jukung Barito di Museum Bahari Jakarta, 23 Desember tahun 2002, dalam skala nasional. Sementara di tingkat internasional, Mawardi (2014) menuliskan bahwa jasa Erik Petersen telah melakukan pameran jukung secara akbar di Eropa.

Meski begitu, Sammy menyebut banyak tantangan yang dihadapi memang dalam mewujudkan pamerannya. Tetapi kata motivasi dari Sören Kierkegaard, Filsuf Denmark (1813-1855), “Hidup bukanlah sebuah masalah yang harus diatasi, tapi realita yang harus dijalani”, selalu menjiwainya

Ya, dengan susah payah, Erik Petersen harus melampaui bagaimana birokrasi kepabeanan Indonesia yang lumayan “ribetnya”, hanya untuk mengangkut jukung Borneo. Tujuannya, agar dapat mengikuti pameran Viking Ship Museum Roskilde di Denmark dan Belanda. “Dan, berhasil. Wajah pengrajin jukung dan kapal di kawasan Alalak pun terpampang di sana. Fremragende! (hebat!),” ucap Sammy.

Bahkan, ditegaskan Sammy, hal itu juga bukan isapan jempol. Dalam situs The Viking Ship Museum justru mengakui pernah mengadakan pameran yang berlangsung akbar yakni Exhibitions Jukung Boats from Barito Basin, Borneo. Diadakan tahun 2000 bekerjasama dengan arsitek perencana kota (in collaboration with city planner), Erik Petersen. Disponsori oleh Velux Foundation.

Ketika Erik Petersen Memeluk Islam

Sejarawan muda ini juga mengungkapkan kehidupan pribadinya juga menarik pria Denmark ini. Lama di Banjarmasin, Erik Petersen yang kemudian menjadi muslim, bernama Haji Arif Faturrahman. Bagi masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Kai Asing atau Kai Jukung.  Erik sebelumnya memang sempat menikah dengan wanita Denmark. Walaupun kemudian bahtera perkawinannya kandas. Erik dikaruniai 3 orang anak di negeri Skandinavia ini.

Saat berada di Indonesia dan meneliti Jukung, hati Erik kemudian tertambat pada sosok wanita asal Kalimantan Tengah, Mastun Kasran. Erik seakan berkata dalam Bahasa Danish, “Jeg kan godt lide det” (Saya menyukainya). Setelah menikah, mereka lalu menetap di Banua Anyar, Kota Banjarmasin. Sayang, cerita indah dengan Mastun hanya berjalan tiga tahun. Tahun 2005, Erik menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang menghadapi penyakit ginjal yang dideritanya.

“Namun, satu hal yang patut diacungi jempol. Sampai akhir hayatnya pun, penelitian pria nyentrik ini terhadap beragam jenis perahu atau jukung khas Kalimantan terus dilakoni. Bisa dikatakan kalau jukung memang sudah menjadi bagian dari denyut nadinya,” beber Sammy.

Bahkan, Sammy juga mengungkapkan bahwa  Erik Petersen secara detail menggambarkan jenis jukung di Sungai Barito beserta bahan-bahan dasar dan cara pembuatannya. Di dalam buku yang ia tulis, juga tercantum beberapa macam jukung Suku Banjar secara detil. Adapun jenis jukung tersebut adalah Jukung Sudur Jukung Rangkan, Jukung Patai, Jukung Hawaian, Alkon, Jukung Rombong, Klotok Halus, Feri, Klotok Baangkut Barang, Jukung Nalayan, Jukung Tiung, Jukung Raksasa serta Motorbot.

“Dalam penelitiannya, Erik Petersen memaparkan bahwa orang Banjar telah lama menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung). Keahlian ini diwarisi mereka dari nenek moyang orang Banjar, yakni Dayak Maanyan. Makanya, Erik Petersen berkesimpulan jika penduduk asli Madagaskar yang merupakan wilayah kepulauan di Samudera Hindia, pesisir timur Afrika adalah para migran Dayak Maanyan,” papar Sammy.

Sammy pun dalam keseimpulannya menegaskan bahwa jukung merupakan perahu tertua dan telah ada sejak 2.500 tahun silam. Jukung paling sederhana itu dibuat dari batang kayu utuh yang dibelah menjadi dua dan dikerok menggunakan perkakas dari batu. Salah satu bukti yang mendukung anggapan ini adalah ditemukannya peti mati dari kayu yang bentuknya mirip jukung sudur di Goa Niah, Sarawak, Malaysia.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.