Terinspirasi Jembatan Rumpiang, Ada Rahasia di Antologi Puisi EBTAM

0

BUKU puisi berjudul ‘Entah Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu (EBTAM)’ hasil goresan pena Nailiya Nikmah JKF, justru dinilai aneh bagi penyair senior asal Banjarmasin Micky Hidayat.

PENYEBABNYA para audiens yang hadir dalam diskusi puisi karya Pembina Teater Wasi Putih, Poliban ini tidak diperbolehkan mempertanyakan isi dari tangan dinginnya dalam buku antologi tunggal yang menghimpun 80 lebih bait puisi.

“Lalu bagaimana tetiba aku mencintaimu, jika engkau tak mau menjawab?,” seloroh Micky Hidayat, disambut dengan tepuk tangan penikmat karya sastra dari segala strata dan usia saat menyaksikan pertunjukan musikalisasi puisi EBTAM di Gedung Balairungsari, Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Jumat (26/7/2019) malam.

Kumpulan buku puisi EBTAM juga dibahas Dr Hatmiati Masy’ud, sastrawati yang juga komisioner KPU Kalsel dan Rahmiyati, sastrawati dan guru SMAN 3 Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Diskusi sastra ini pun dimoderatori dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dewi Alfianti.

BACA : Musikalisasi Puisi EBTAM, Mengangkat Karya Sastrawati Nailiya Nikmah

Di hadapan puluhan penonton, di atas panggung berlatar belakang hitam, even ini menyajikan musikalisasi puisi dari buku EBTAM. Di antaranya, Daun-daun Berguguran yang dimainkan Teater Wasi Putih, Politeknik Negeri Banjarmasin (Poliban). Sedangkan, Romansa Tanah Basah disuguhkan Sanggar Batu Benawa, Hulu Sungai Tengah.

Buku antologi tunggal ini merupakan kali ketiga yang sudah diterbitkan. Sebelumnya, Nailiya telah menerbitkan kumpulan cerpen Rindu Rumpun Ilalang (2010). Selanjutnya, novel Sekaca Cempaka (2014).

Usai diterbitkannya EBTAM, Nailiya mengaku telah diajak jalan-jalan ke beberapa kabupaten di Kalsel. Titik pertama yang dipilihnya, yakni Marabahan, Kabupaten Batola. Konsep yang digunakannya adalah membacakan salah satu puisi (“Engkau Abadi, Aku Tidak”) yang ada dalam EBTAM di tepi jalan, di atas Jembatan Rumpiang, pada saat senja, saat-saat sendu.

Titik ini dipilih Nailiya, lantaran lokasi sumber inspirasi sampul EBTAM yang tidak lain adalah fotonya sendiri ketika menyusuri jembatannya. Sampul atau cover, diakui Nailiya adalah bagian awal sebuah buku. Inilah titik dan momen pertama dirinya bersentuhan dengan EBTAM.

BACA JUGA : Terinspirasi Kehidupan Banjar Hulu, Si Pilanggur pun Masuk Deretan Sastra Rancage

Titik lainnya yang disambangi Nailiya adalah  Barabai, Banjarbaru, Batakan dan Kotabaru. “Saya pun datang, benar-benar tetiba, sehingga teman-teman dari Barabai dan Kotabaru mengeluh dan memarahi saya, karena tidak terencana dari awal. Waktu itu saya sangat senang, karena konsepnya sesuai dengan judul saya, tetiba,” ucap Nay, sapaan akrabnya.

Nah, Banjarmasin kini menjadi titik lokasi ke-6. Lantas, apakah Nay sengaja menjadikan Banjarmasin sebagai puncak dari perjalanan buku puisi perdananya ini. “Di Banjarmasin mungkin menjadi titik terakhir. Kecuali takdir berkata lain,” ujar perempuan kelahiran 1980 ini.

Dari setiap titik, dirinya mengaku tak bersedia menjawab pertanyaan terkait rahasia yang ada di dalam buku antologi tunggalnya ini.

“Setiap orang yang mendapat buku antologi ini selalu saya sampaikan, bahwa aturan pertama membaca adalah jangan bertanya, baca dan nikmati. Silakan apresiasi sesuai apa yang ada dipikiran pembaca” katanya.

BACA LAGI : ASKS, Penumpang Gelap dan Rekomendasi

Ditanya lebih lanjut usai bincang diskusi, Nay menyatakan secara umum temanya tentang cinta, sesuai dengan judulnya “Entah Bagaimana, Tetiba Aku Mencintaimu (EBTAM),”.

Nay pun mengaku memilih judul mengenai cinta, lantaran tidak akan pernah selesai diperbincangkan dan tak basi untuk ditulis. “Ini adalah sesuatu yang paling menyenangkan buat kita semua. Sebab, setiap judul puisi yang ditulis didalamnya memiliki momen yang berbeda,” tuturnya.

Namun, bagi Nay ketika orang yang membaca buku antologi ini akan menemukan sendiri cinta seperti apa yang mereka dapatkan. “Jadi, setiap orang yang membaca punya persepsi masing-masing,” ujarnya.

Nay menuturkan berawal dari mengenal puisi, cerpen dan novel melalui membaca hingga menulis ini, karena sejak kecil mulai menyukai sastra. Namun, keseriusan dalam menulis sejak mengemban pendidikam di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PS-PBSI) tahun 1999.

“Dari situlah mulai lebih serius lagi. Meski sejak SMP hingga SMA sudah menyukai,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.