Kenangan Persahabatan Sastrawan Hijaz Yamani dan Subagio Sastrowardoyo

0

Oleh : Micky Hidayat

HIJAZ Yamani dan Subagio Sastrowardoyo adalah sastrawan Indonesia yang telah menjalin persahabatan sejak awal tahun 1970-an.

INTENSITAS persahabatan dan perjumpaan kedua sastrawan ini terlihat pada beberapa kegiatan sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, seperti “Pertemuan Sastrawan Indonesia II” di TIM (1974), “Pesta Puisi” (TIM, 1975), “Pertemuan Sastrawan Indonesia III” (TIM, 1976), “Pertemuan Penyair ASEAN” (TIM, 1978), “Pertemuan Sastrawan Nusantara” (Indonesia, Singapura, dan Malaysia, di TIM, 1979), “Temu Penyair 10 Kota” (TIM, 1982), “Temu Kritikus dan Sastrawan” (TIM, 1984), dan “Pertemuan Sastrawan Jakarta” (TIM, 1986).

Sebagai sastrawan dan kritikus sastra, Subagio Sastrowardoyo sering menjadi pembahas puisi-puisi para peserta di forum temu sastrawan, termasuk pernah mengkritik karya Hijaz Yamani.

Ketika bertandang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, eyangnya Dian Sastrowardoyo (aktris film dan sutradara) ini menyempatkan diri menginap di rumah Hijaz Yamani untuk melepas kangennya. Itulah sekelumit catatan dari persahabatan kedua sastrawan yang kini sudah almarhum.

BACA : Digarap Sejak 2008, Micky Hidayat Akhirnya Luncurkan Buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan

Hijaz Yamani, lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 23 Maret 1933. Setelah menamatkan SMA melanjutkan pendidikan ke Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM, sekarang ULM) yang hanya sempat dijalaninya selama dua tahun, karena harus pindah ke kota Surabaya, Jawa Timur. Di kota ini, ia meneruskan kuliah di FKIP Agama Islam, Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) hingga tingkat sarjana muda.

Hijaz mulai menulis karya sastra, terutama puisi sejak tahun 1954. Tersebab itulah penyair ini sudah dikenal dalam perpuisian Indonesia modern sejak tahun 1950-an. Dan pada masanya, Hijaz Yamani adalah salah satu penyair Indonesia yang kuat dan cukup diperhitungkan dari pulau Kalimantan.

Selain puisi, Hijaz juga menulis genre sastra lainnya, seperti cerita pendek, naskah drama, esai, dan kritik sastra. Tulisannya dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah yang terbit di Kalimantan Selatan. Juga dimuat di  “Pusparagam”, “Gembira” (Bandung), “Gajah Mada”, “Budaya”, “Minggu Pagi” (Yogyakarta), “Roman”, “Konfrontasi”, “Cerita”, “Indonesia”, “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, “Genta”, “Matahari”, “Budaya Jaya”, “Horison” (media cetak yang terbit di Jakarta).

BACA JUGA : Otokritik Puisi Gus Mus ‘Rasanya Baru Kemarin’ dalam Pekik Penyair Micky Hidayat

Puisi-puisi Hijaz juga dimuat di berbagai antologi bersama. Sedangkan buku antologi puisi tunggalnya yang telah diterbitkan adalah “Percakapan Malam” (1997) dan “Malam Hujan” (Editor Micky Hidayat, 2012). Hijaz Yamani juga dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan salah seorang penggerak berdirinya Gerakan Pemuda Ansor di Banjarmasin (1951).


Hijaz Yamani dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di Teater Arena TIM, Jakarta.

Kiprah Hijaz Yamani di dunia politik, pernah menjadi Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Wakil Ketua DPW PPP Kalimantan Selatan. Di era reformasi, ia bergabung di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjabat sebagai Ketua DPW PKB (1998-2001).

Sejak tahun 1971-1992 menjadi wakil rakyat di DPRD Kota Banjarmasin (menjabat Wakil Ketua selama tiga periode (1977-1992). Tahun 1992-1997 menjadi Anggota DPRD Kalimantan Selatan. Tahun 1999 kembali terpilih di DPRD Kalsel (periode 1999-2004). Sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif tersebut hanya sempat dijalaninya dua tahun.

BACA JUGA : Irma Suryani, Deklamatris Banjarbaru Harumkan Banua di Satu Dekade Rendra

Sastrawan dan politisi ini meninggal dunia 17 Desember 2001 pada usia 68 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Bahagia di Kota Banjarbaru. Berikut saya kutipkan salah satu sajak Hijaz Yamani dari buku kumpulan puisinya “Malam Hujan”:

MALAM HUJAN

Kau apakan

uap dingin

meluap di deras hujan

Dan ketika kita makin dekat

berduaan

di malam hujan?

(Bulan tidak jadi timbul

tidak bisa melihat

di balik jendela)

Kau apakan waktu

di saat hujan

di luar itu?

Kau dengar

bunyi tik tak tik tak …

terus memasuki bumi

Dan lagu mars perjalanan

dibawa angin

makin jauh

makin jauh

ke laut yang menggelora

1978

Subagio Sastrowardoyo, lahir di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924.Pendidikannya: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Jurusan Sastra Timur, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, kemudian memperdalam pengetahuannya di Universitas Cornell, dan Departement of Comparative Literature Universitas Yale di Amerika Serikat, dalam bidang teater dan sastra.

Pernah mengajar bahasa dan sastra di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta, UGM dan Universitas Pajajaran, Bandung. Juga pernah menjadi dosen bidang sosial-budaya pada Seskoad di Bandung, dan College of Advanced Education dan Flinders Universitas Adelaide, Australia Selatan. Pernah menjadi direktur bidang penerbitan di PN Balai Pustaka, Jakarta. Ia juga pendiri Yayasan Lontar di Jakarta.

BACA JUGA : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado

Subagio menulis puisi, cerita pendek, esai, dan kritik sastra. Buku sajaknya yang diterbitkan adalah: Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Hari dan Hara (1982), Simfoni Dua (1986), Kejantanan di Sumbing (kumpulan cerpen, 1982), Sosok Pribadi dalam Sajak (esai, 1980) dan Sastra Hindia Belanda (esai, 1983).

Sejumlah karyanya terdapat dalam buku “Angkatan 66” (susunan H. B. Jassin, 1968), “Laut Biru Langit Biru” (susunan Ajip Rosidi, 1977), “Sastra Hindia-Belanda dan Kita” (1983), dan “Tonggak — Antologi Puisi Indonesia Modern Jilid 1” (Linus Suryadi AG, Editor, 1987).

Saya kutip salah satu sajak Subagio Sastrowardoyo dari buku kumpulan puisi “Hari dan Hara” (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1982):

SAJAK YANG TAK PEDULI

sajak yang dewasa

sudah tak peduli

apakah aku menangis atau ketawa

di muka cermin

aku tak mengenal lagi

ia bayangan siapa

setiap hendak kutangkap

ia lolos dari dekap

tak mau menampung rasa

di luar jamah

ia sebagian dari semesta

satu dengan suara manusia

setelah ia dewasa

aku tak punya kuasa

maka kubiarkan dia berjalan merdeka

Subagio Sastrowardoyo wafat di Jakarta, 18 Juli 1995 pada umur 71 tahun. Semoga kedua almahum sastrawan ini memperoleh kedamaian di alam keabadian.(jejakrekam)

Penulis adalah Penyair dan Sastrawan Kalimantan Selatan

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/03/25/kenangan-persahabatan-sastrawan-hijaz-yamani-dan-subagio-sastrowardoyo/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.