Lepas dari Bias, Hidupkan Jalan Kontroversial Datu Abulung di Atas Pentas

0

KALIMANTAN Selatan cukup beragam nilai-nilai agamisnya. Tak hanya hadir satu ulama yang membawa mazhab satu, namun juga banyak pandangan berbeda mengemuka. Apalagi, Banua ini juga dikenal sebagai gudang para ulama berpengaruh yang lahir dari kedalaman ilmunya.

SEBUT saja, tokoh ulama yang bepengaruhnya sampai kini masih berakar kuat, seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary atau Datu Kalampayan, hingga generasi penerusnya, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani yang dikenal dengan sebutan Guru Sekumpul. Ulama-ulama besar ini sangat ditakzimi warga Kalimantan Selatan, bahkan pengaruhnya hingga ke luar Banua.

Namun, ketika mencuat sosok Syekh Abdul Hamid (Datu Abulung) bersama paham Wahdatul Wujud yang kontroversial, sedikit sekali membicarakan perjalanan hidupnya.

Di antara yang sedikit membincangkan nama Abdul Hamid adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kampoeng Seni Boedaja (KSB). Organisasi para pegiat seni dan budaya di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini pun menangkat lagi nama Datu Abulung dalam sebuah pementasan bertajuk ‘Sinar Sebelum Cahaya di Tanah Banjar’. Pementasan tunggal ini dihelat di Gedung Balairung Sari, Sabtu (20/10/2018) malam.

Dilaksanakan dengan konsep pementasan teater tunggal, Sinar Sebelum Cahaya merupakan gagasan terbaru dari KSB ULM. Sebab, sebelumnya, UKM seni ini belum pernah menggelar pertunjukan dengan konsep serupa.

Penulis naskah Sinar Sebelum Cahaya, Faisal Refky mengatakan proses riset dari pertunjukan tunggal memerlukan setidaknya tiga buah literatur. Di antaranya bersumber dari Manakib Syekh Abdul Hamid Abulung karya Tim Sahabat Kandangan. Selain itu, buku tulisan Fahrurazi Asmuni yang berjudul Datu Abulung (Korban Politik Penguasa) dan Potret Lain Perjalanan Hukum di Kerajaan Banjar dari M Faqih de Ridha.

Perjuangan riset tak tuntas sampai studi literatur. Sadar dengan sumirnya data, zuriat-zuriat Abdul Hamid juga disambangi. Agar seimbang, pihak Kesultanan Banjar tak lupa diajak konsultasi untuk membuat cerita tak datang sepihak.

Lalu, kenapa harus Datu Abulung? Pertimbangan awalnya, Refky menjelaskan sejak awal memang pihak penyelenggara pentas memang menginginkan cerita berbentuk biografi.  Pilihan lantas jatuh pada Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung. “Di samping banyak yang kurang tahu sosoknya, kisahnya menarik,” ujarnya.

Pentas ini diperankan oleh Mahbob Fran Akbar HB (Datu Abulung), M Imam Khazin (Datu Kalampayan), Mihrab Adi Surya (Sultan Tahmidullah II), Ahmad Yamani (Ratu Anom Ismail), Ricky Gumelar Anugrah (Abu Suud), Abdurrahman (Muhammad As’ad/Mufti), dan Wahyu Wicaksono sebagai pengawal. Ketujuh aktor ini berperan penting dalam jalannya cerita.

Pemeran Datu Abulung, Mahbob Fran, menyebut tokoh Datu Abulung merupakan tantangan tersendiri ketika memerankannya. “Sekaligus beban moral juga. Kita mengenal beliau sebagai tokoh ilmu tasawuf yang sudah selesai secara syariat. Sedangkan saya sendiri masih belum selesai dengan urusan syariat,” ujarnya, terkekeh.

Penggiat Seni, YS Agus Suseno dalam tulisannya “Datu Abulung yang Tak Tanggung-Tanggung” mengatakan jalan cerita “Abdul Hamid Abulung” (naskah/sutradara Ajamuddin Tifani) tak jauh berbeda dengan “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)” garapan KSB ULM.

Yang berbeda adalah waktunya. Ketika “Abdul Hamid Abulung” Ajamuddin Tifani dipentaskan, Faisal Refki (penulis naskah/asisten sutradara) dan Surya Hadie (sutradara) masih balita, sehingga, ketika menggarap “Datu Abulung (Sinar Sebelum Cahaya)”, mereka berhasil lepas dari bias.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:Zuriat Datu Abulung,https://jejakrekam com/2018/10/21/lepas-dari-bias-hidupkan-jalan-kontroversial-datu-abulung-di-atas-pentas/
Penulis Donny Muslim
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.