Menguji Kecantikan Perempuan Bakumpai (Bagian Kedua)

0

Oleh: Nasrullah

Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM
Sedang Mengikuti Tugas Belajar di S3 Antropologi UGM

“Wah kamu cantik sekali“
(Kata Datu Yujung kepada adiknya Taksilu, h.178)

Menemukan Kecantikan Sejati

Bagian terpenting dari tulisan ini adalah menemukan kecantikan sejati perempuan Bakumpai dalam cerita rakyat. Jika sebelumnya Schwaner (1854:75) telah menyebutkan ciri fisik serta aksesoris atau pakaian digunakan, pun Beeckman (2013:97-98) menambahkan kecantikan perempuan Banjar dengan kemampuan berjalan kaki, sedangkan dalam lagu Siti Ropeah digambarkan secara fisik terutama daya tarik biologis, gaya hidup, serta cara berjalannya (Nasrullah, 2018).

Lagu bagaimana dengan kecantikan orang Bakumpai yang oleh Schwaner disebut sebagai kecantikan sejati?

Sayangnya dalam buku Cerita Rakyat ini tidak ada gambaran demikian. Kecantikan itu hanya disebutkan “Datu Sadurung Malan liwar kahalap bauyeh, are hatuean ji handak dengan ei, tapi sandiyah ensekan ji dumah ida inarima Datu Sadurung Malan dengan bermacam-macam alasan“ (Datu Sadurung Malan sangat cantik sekali wajahnya, banyak laki-laki yang jatuh cinta kepadanya, tetapi setiap lamaran ditolaknya dengan berbagai alasan) (h. 54).

Pengertian cantik ini tidak dijelaskan secara detail kecuali ditujukan pada objek wajah. Agaknya dalam cerita rakyat Bakumpai kecantikan tak terdefinisi atau tak bisa didetailkan dengan kata ‘liwar kahalap‘ (cantik sekalil).

Sagin liwar kahalap Datu Sadurung Malan, hal ji ida lazim tajadi, kakae Patih Bahandang Balau maka umba-umba kia handak dengaie“ (Saking Datu Sadurung Malan cantik sekali, terjadilah hal tidak lazim, Kakaknya yang bernama Patih Bahandang Balau ikut-ikutan juga jatuh cinta kepadanya) (h. 55).

Artinya, lagi-lagi kecantikan luar biasa membuat keinginan saudara laki-laki melampaui batas tabu karena mencintai dan ingin memperistri adiknya.

Hal yang sama menggambarkan kecantikan Taksilu, melalui Datu Yujung kakak laki-lakinya mengatakan “Uma liwar kahalap um, kapapurun um ding maka ida bacaruman. Cuba bi bihin ikau bacaruman tau itah utuh jadi mahentang anak“ (Wah, kamu cantik sekali, teganya kamu dik maka tidak menceritakan. Coba kalau dari dulu kamu menceritakan mungkin sekarang sudah menggendong anak) (h.178).

Lagi-lagi kecantikan yang disebut liwar kahalap (cantik sekali) bahkan dilanjutkan dengan keinginan secara langsung untuk memperistri sang adik. Gambaran kecantikan secara fisik benar-benar berhenti sampai di situ.

Kiprah Perempuan (Bakumpai)

Alih-alih berbicara tentang kecantikan fisik, buku Cerita Rakyat Bakumpai agaknya lebih berbicara tentang kiprah perempuan dalam berbagai persoalan sekaligus menjadi pesan moral bagi pembaca:

Pertama, perempuan yang memberikan solusi. Datu Sadurung Malan dan Taksilu menunjukkan ketika terjadi konflik internal keluarga antar generasi pertama yakni sesama saudara, justru mereka sebagai adik perempuan yang berperan sebagai pemecah masalah. Mereka memilih melakukan migrasi dan membangun keturunan baru demi mematuhi larangan incest.

Sebaliknya, lelaki menjadi kaum yang statis penunggu kampung halaman dan kemudian menyadari kesalahannya.

Dalam kasus berbeda, Bawi, perempuan yang mendapatkan kekayaan dengan bersekutu dengan makhluk gaib dan mendapatkan penyakit akibat cara sesatnya. Ia harus menyingkir dari cercaan masyarakat dengan mengisolasi diri bersama pohon Jingah yang terbang terbawa angin kencang (h.52).

Masih dalam kasus lain, Si Bungsu dan Tuan Putri merupakan anak yang mencoba mematuhi keinginan orang tuanya demi mendapatkan suami pilihan orang tua masing-masing. Hal dilakukan karena Yujung menyembuhkan Raja Haji orang tua Si Bungsu (h. 123) dan Supak yang telah menyelamatkan Tuan Putri (h. 144).

Meski terkesan dijodohkan, agaknya Si Bungsu dan Tuan Putri menerima pasangan mereka masing-masing karena menjadi hero (pahlawan) bagi mereka. Itulah sebabnya kedua pasangan ini berbahagia dengan jodoh masing-masing.

Kedua, perempuan profesional. Sebagaimana cerita Datu Mayang Sudam, seorang perempuan tua berprofesi sebagai bidan telah membantu melahirkan seorang perempuan yang sesungguhnya bangsa buaya jejadian. Cerita ini menjelaskan profesi bidan merupakan tugas mulia membantu kapan saja, dimana saja dan siapa saja.

Datu Mayang Sudam atas jerih payahnya mendapatkan kunyit pemberian orang tua buaya yang ternyata dibawa ke alam manusia merupakan emas dan kehidupannya menjadi sejahtera sampai anak cucunya (h. 13).

Hal berbeda jika mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas. Demi mendapatkan kekayaan, perempuan yang disebut Bawi bersedia memenuhi satu persyaratan dari penunggu pohon Jingah yakni menahan diri dari cercaan masyarakat sekitar (h. 44).

Setelah itu kekayaan berlimpah tetapi tak lama kemudian ia mendapatkan sakit pada seluruh badannya seperti luka. Akhirnya ia pergi dari desa tersebut tanpa kekayaan sedikit pun.

Ketiga, perempuan yang protektif dan destruktif. Jangan anggap remeh perempuan, meskipun dalam imajinasi cerita rakyat Bakumpai ini ditampilkan keberadaan perempuan dari makhluk gaib. Satu pihak perempuan tersebut menjadi protektif. Inilah yang dikisahkan seorang perempuan yang disebut Bawi Penunggu Bukit, ia meminta dinikahi oleh Panglima Wangkang.

Setelah pernikahan tersebut, istri gaib Wangkang lah yang menyajikan masakan. Ia menjadi semacam kurir jasa antar makanan Go Food hingga mengambilnya di Marabahan bahkan ia menjadi semacam mata-mata (spy) yang mengabarkan istri tua Wangkang sudah melahirkan di Marabahan (h.81).

Istri gaib Wangkang ini juga mempersenjatai suaminya dengan pusaka Raja Tumpang (h.83).

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Panglima Wangkang akhirnya gugur dalam pertempuran dahsyat melawan penjajah Belanda. Istri gaibnya datang untuk mengiringi detik-detik terakhir kehidupan Panglima Wangkang dan menghembuskan nafas terakhir dipelukan istri gaibnya tersebut (h. 96).

Adapun perempuan gaib yang memberikan dampak destruktif, diawali ketika anaknya yang ingin berteman dan bermain dengan manusia justru dikeroyok dan dihina. Dalam kondisi putus asa, anak itu pun memanggil ibunya yang diceritakan sebagai rarebe mendeng taluh hai ji mampekeh ampi ei (Berdiri sesosok makhluk besar yang menyeramkan) dan menceritakan penderitaannya.

Walau bagaimana pun sang ibu akan marah melihat tubuh anaknya penuh luka kena pukul dan diusir (h. 134).

Ternyata sang ibu merupakan kamben apui (hantu api) sehingga sangat mudah membakar sawah yang sudah kering pada musim kemarau. Aksi perempuan gaib ibu dari anak yang dipukul tersebut sebagai kamben apui (hantu api) semakin menjadi-jadi. Ia membuat sawah dan rumah penduduk rata menjadi abu (h. 136).

Dengan demikian, tindakan destruktif sang ibu yang membalas dendam anaknya, jika dikaitkan dengan masa sekarang tidak lain akibat dampak perundungan (bulliying) dari teman sebaya sang anak.

Sebagai bagian akhir tulisan, telah memberikan pengertian tentang kecantikan dalam kumpulan Cerita Rakyat Bakumpai bukan dari sisi fisik tapi pada kiprah perempuan itu sendiri. Gambaran Cerita Rakyat boleh jadi berbeda dengan versi lain, atau bahkan sama dengan versi cerita rakyat dari tempat atau suku bangsa lain.

Namun bagian ini tentu menekankan pada kiprah perempuan tidak hanya pada utusan domestik belaka, tetapi jauh lebih luas baik dalam relasi dalam keluarga, masyarakat hingga melampaui batas teritorial fisik yakni pergaulan di dunia maya (alam gaib).

Wallahu a‘lam

Catatan: Artikel ini merupakan pengembangan dari presentasi dalam acara Sungai Barito dalam Diskusi Dua Buku: Cerita Rakyat dan Jelajah Sungai Menyapa Alam Barito yang diselenggarakan Dewan Kesenian Barito Kuala di Marabahan, Rabu, 7 Februari 2024. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.