Aruh Sastra Kalsel 1 (2004) dan D. Zawawi Imron

0

Oleh : Y.S. Agus Suseno

“SEJARAH” terkadang tidak netral. “Sejarah pahlawan”, misalnya, kadang dibangun, dibentuk, direkayasa dan ditulis oleh pemenang, bukan pecundang. Oleh sebab itu, “sejarah” kadang mengandung ironi, nisbi, dan dapat ditulis berulang kali (dengan beragam versi).

PASCA “heboh” praktisi sastra banua akibat “klaim sepihak” orang yang mengaku sebagai “penggagas” Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) — yang kemudian, konon, diralat sendiri oleh yang bersangkutan — muncul ide dari sejumlah orang sastra agar “Sejarah ASKS” ditulis dan dibukukan” (“agar tak menimbulkan kesimpang-siuran”).

Pertanyaannya: mendesak benarkah pembuatan buku “Sejarah ASKS” sekarang? Untuk kepentingan apa, siapa (dan pihak mana)? Siapa orang (-orang) yang berhak dan berwenang menuliskannya? Pihak mana pula yang mendanai riset, guna penelusuran data dan penerbitan bukunya?

Sebagai gambaran: bahkan untuk tokoh musik banua sekaliber H. Anang Ardiansyah pun dibutuhkan persiapan tidak kecil (juga dana), sehingga (atau bahkan) lebih dari 10 tahun kemudian (setelah meninggal), baru buku biografinya dapat diterbitkan (diluncurkan dalam “Bedah Buku Biografi H. Anang Ardiansyah” di Aula Kayuh Baimbai, Pemkot Banjarmasin, Sabtu, 19/09/2020).

BACA : Sekelumit Riwayat Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS)

Impian dan keinginan apa pun adalah hak semua orang. Bermimpi (berimajinasi) adalah modal utama praktisi sastra di mana pun dalam berkarya. Tanpa imajinasi, tak ada karya seni. Namun, orang yang bermimpi pada saatnya mesti bangun, agar matanya terbuka dan menghadapi dunia nyata.

Impian, gagasan, keinginan dan cita-cita mendiang Burhanuddin Soebely (BS, 1957-2012) agar agenda sastra di banua diberikan alokasi dana tersendiri di APBD pemerintah kabupaten/kota (beserta ikutannya: penerbitan buku, seminar, festival/lomba, dan lain-lain) sebetulnya telah tercapai, dan ASKS, nyatanya, telah (dan tengah) berjalan 2 putaran.

Selain yang tampak di depan orang banyak (pembicara seminar/moderator/notulen, penampil/pembaca karya sastra/puisi, peserta festival/lomba), yang tak begitu tampak adalah “orang-orang di belakang layar” yang, tanpa kerja mereka, agenda apa pun takkan jalan.

BACA JUGA : Rekam Profil Sastrawan Lokal Periode 1930-2020, Micky Hidayat Rilis Buku Leksikon Penyair Kalsel

Persis karasmin urang bapangantinan di banua: yang dilihat oleh tamu/undangan adalah pangantin dan keluarganya, kerabat, handai tolan, aneka macam hidangan, tapi pangawahan dan “orang-orang yang bekerja di belakang layar” (tukang surung-sintak piring, tukang bababasuh wan babarasih), mungkin hanya dipandang orang dengan sebelah mata.

Saya ingin menceritakan “kisah” (bukan “sejarah”) “orang-orang di belakang layar” pada ASKS I (di Pendopo Bupati Kabupaten Hulu Sungai Selatan) di Kandangan (2004).

Sebelum bakarasminan, tahukah Anda: berapa dana untuk melaksanakan ASKS I? Saat barasuk, bacucuk buku di warung dengan kawan-kawan lain di Kandangan, saya mendengar langsung dari (mendiang) BS: dananya (melalui Disbudpar HSS) Rp 25 juta.

Tak percaya? Untuk ukuran sekarang, dana sebesar (atau sekecil) itu agak mustahil untuk menyelenggarakan agenda sastra berskala provinsi. Percaya atau tidak, tapi itulah dana yang digunakan untuk membuat “sejarah ASKS” pertama di Bumi Antasari.

BACA JUGA : Ketika Sastrawan dan Budayawan Banjar Galau akan Langkanya Hayati Banua

Saya takkan mengisahkan pembicaraan/bedah buku La Ventre de Kandangan, Mozaik Sastra HSS, 1937-2003 (Kandangan, 2004), yang proses cetaknya langsung ditangani mendiang Uda Djarani di Kota Solo (Jawa Tengah), tapi kisah kehadiran D. Zawawi Imron (sebagai penyair/pembicara bedah buku). Dengan dana sebesar (atau sekecil) itu, bagaimana mungkin mengundang, memfasilitasi dan membayar honor D. Zawawi Imron?

Proses ASKS I tidak seketika, tidak datang tiba-tiba. Beberapa bulan sebelumnya, D. Zawawi Imron ada di banua, sebagai narasumber Program (Majalah Sastra Horison, bekerja sama dengan Kemendikbud RI) Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) di salah satu SLTA di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan, ketika kami berkumpul malam itu, kebetulan dia sedang berada di Rantau, Kabupaten Tapin (untuk mengisi program yang sama esok harinya).

Bagaimana caranya “memanfaatkan” D. Zawawi Imron agar bersedia hadir sebagai narasumber/pembicara/bedah buku? Apa akal? Seperti biasa, dengan sikapnya yang tenang, (mendiang) BS mendengarkan segala usul, saran dan masukan kawan-kawan: antara lain (mendiang) Abdaluddin (Udin Salak), saya dan (yang termuda, saat itu) Atu Relez (Wildan Rizkan). Selain nama-nama itu, saya lupa siapa lagi yang hadir.

Tapi, syukurlah: gayung bersambut. Karena sayalah yang bakaras (bersikeras) agar panitia ASKS I mengundang dan menghadirkan D. Zawawi Imron, sayalah yang kemudian katuyukannya. Saya masih ingat pembicaraan di warung, di malam yang dingin di Bumi Antaludin (dalam bahasa Banjar) itu.

“Dana kita saku kada mayu sagan manyaru D. Zawawi Imron,” kata BS. “Nang masi saapa, garang, bayarannya?”

“Pasarannya tiga juta pang, Ka ai,” jawab saya. “Kada tamasuk sagan makan, nginum, tambang wan mambayari wadah guringnya.”

“Kikira kada kawa. Kita paling kawa mambayar inya sajuta, paling gancang saparunya pada nang talu juta,” sahut BS.

“Insya Allah, kaina inya mau haja, Ka ai.”

“Mun dintu lakunnya, ikam ha kaina nang bapandir,” ujar BS, memutuskan.

BACA JUGA : Musikalisasi Puisi EBTAM, Mengangkat Karya Sastrawati Nailiya Nikmah

Saya lupa, apakah (mendiang) Abdaluddin (Udin Salak) ikut bicara dan mengusulkan, tapi (sebagai yang termuda saat itu, saksi hidup kini) Atu Relez (Wildan Rizkan) menyimak dengan saksama. Tak semua yang hadir saat itu memiliki telepon selular (terutama saya). Saat itu telepon selular masih tergolong barang mewah dan mahal.

Alhasil, setelah mencari informasi di sana-sini tentang tempat menginapnya, jelang tengah malam itu juga kami bertemu D. Zawawi Imron di Rantau. Ternyata, informasi tentang “honor standar”-nya, benar. Dia menyebut angka Rp 3 juta untuk tarifnya sebagai pembicara seminar/bedah buku sastra.

BACA JUGA : Terinspirasi Kehidupan Banjar Hulu, Si Pilanggur pun Masuk Deretan Sastra Rancage

Saya ingat, yang lain lebih banyak diam dan menyimak “tawar-menawar” antara saya dengan D. Zawawi Imron tentang honornya. Syukurlah, berkat “rayuan pulau kelapa” saya, dia bersedia dibayar Rp 750 ribu (selain tiket pesawat PP, transportasi Bandara Syamsuddin Noor-Kandangan PP, transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi selama kegiatan).

D. Zawawi Imron memang tergolong penyair eksentrik. Selain uang honor Rp 750 ribu, berkat “rayuan maut”-nya burung berkicau milik (saat itu Wakil Bupati HSS) Bahdar Djohan diminta dan dibawanya terbang ke Pulau Madura. (jejakrekam)

Penulis adalah Seniman dan Budayawan Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.