Jumat Kelabu; Menuntut Tanggung Jawab Negara, Catatan 26 Tahun Peristiwa Amuk Banjarmasin

0

Oleh : Hairansyah

KERUSUHAN di akhir masa kampanye Pemilu Tahun 1997 tanggal 23 Mei atau peristiwa Jumat Kelabu sudah berlalu 26 tahun lalu. Namun masih menyisakan berbagai macam pertanyaan terutama pada keluarga korban dari peristiwa tersebut.

TERUTAMA lagi, terkait apa dan bagaimana serta siapa yang harus bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Jika dilihat dari jumlah korban yang ada terutama yang meninggal dunia maka dalam konteks hak asasi manusia (HAM) terutama jika dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU Nomor.39 Tahun 1999 tentang HAM  yang menyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan  seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia  seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau  dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme  hukum yang berlaku.

Bahwa dari persitiwa tersebut telah menimbulan berbagai macam akibat seperti adanya rasa takut tidak merasa aman yang terkait dengan hak atas rasa aman, kerusakan dan musnahnya harta benda, adanya pihak yang dicap sebagai perusuh (stigma) dan korban luka bahkan hilang dan meninggal dunia.

BACA : Dari Buku Amuk Banjarmasin (1997) : Tragedi Kerusuhan Jumat Kelabu, Kampanye Golkar ‘Dikudeta’

Dengan demikian kuat dugaan adanya pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut, hal mana juga bisa dilihat dari adanya atensi dari komnas HAM yang datang pada saat itu.

Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI) sebagai negara yang berdasarkan hukum telah menjamin penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM bagi setiap warga Negara Indonesia maupun setiap orang yang berada di dalam wilayah NKRI dalam UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum menegaskan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan HAM dalam Sila Kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Sila Kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa segala produk hukum, norma hukum, dan praktiknya, harus mengacu pada terwujudnya kemanusiaan, keadilan, keadaban, dan tanpa diskriminasi.

BACA JUGA : Wakil Ketua Komnas HAM Sebut Dokumen Kerusuhan 23 Mei 1997 Dimakan Rayap

Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Pasal 8 UU HAM menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.”

Pasal 71 UU HAM menegaskan bahwa: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”

BACA JUGA : Melawan Lupa: Jumat Kelabu 23 Mei 1997

Pasal 72 UU HAM menegaskan bahwa: “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”

Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) menegaskan bahwa: “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi orang yang berada di wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal usul kebangsaan ataupun sosial, kepemilikan, keturunan atau status lainnya” dan ayat (2), bahwa: “apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau langkah-langkah lainnya yang ada, setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan proses konstitusionalnya dan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau langkah-langkah lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.”

BACA JUGA : Jangan Tutup Mata dan Telinga atas Tragedi 23 Mei di Banjarmasin

Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000, selain memberikan dasar pengakuan dan pentingnya pengungkapan berbagai pelanggaran HAM masa lalu juga memberikan arah kebijakan dan kondisi yang diperlukan, yakni: Tegaknya sistem hukum yang didasarkan pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat, serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum.

Hal itu disertai dengan adanya kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran tentang kejadian masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan pengakuan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, serta pengembangan sikap dan perilaku saling memaafkan dalam rangka rekonsiliasi nasional.

BACA JUGA : Kelabu: Sisi Lain Perisitwa Mei 1997 di Banjarmasin dalam Balutan Film Fiksi

Berbagai instrumen Hukum dan HAM telah mendefinisikan pengertian Korban pelanggaran HAM secara terperinci. Korban adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk cedera fisik, mental, dan seksual, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerugian substansial dari hak-hak dasar mereka, melalui tindakan atau kelalaian yang merupakan pelanggaran  hukum HAM internasional, atau pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Korban juga mencakup keluarga dekat atau tanggungan korban yang langsung dan orang-orang yang telah menderita kerusakan dalam campur tangan untuk membantu korban dalam kesusahan atau untuk mencegah viktimisasi. Seseorang wajib dianggap sebagai korban terlepas dari apakah pelaku pelanggaran diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau dihukum dan terlepas dari hubungan keluarga antara pelaku dan korban

Hukum HAM internasional mengakui bahwa terdapat hak-hak korban yang terdiri atas

a.    Hak korban untuk mengetahui;

b.    Hak korban atas keadilan;

c.    Hak korban atas reparasi; dan

d.    Hak korban juga mencakup serangkaian tindakan yang bertujuan untuk pencegahan dan menjamin tidak terulangnya pelanggaran

Hak-hak korban sebagaimana dimaksud diatas belum pernah diupayakan untuk dipenuhi oleh Negara, oleh sebab itu 25 tahun reformasi ini hendaknya menjadi momentum bagi Negara untuk melakukan penyelidikan dan pengungkapan lebih labjut atas perisitwa yang terjadi sehingga penghormatan perlindungan dan pemenuhan HAM bisa diwujudkan.

Negara berkewajiban menghindari kemungkinan terjadinya imunitas yaitu kondisi di mana terjadi pelanggaran tanpa adanya penghukuman atau sebagai ketidakmungkinan, de jure atau de facto, untuk membawa para pelaku pelanggaran untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik dalam proses pidana, perdata, administratif maupun disipliner, karena mereka tidak tunduk pada penyelidikan apa pun yang dapat menyebabkan mereka dituduh, ditangkap, diadili dan, jika terbukti bersalah, dijatuhi hukuman yang sesuai, dan untuk memberikan reparasi bagi para korban.

BACA JUGA : Bernostalgia di DPRD Kalsel, Wakil Walikota Hermansyah Singgung Peristiwa Jumat Kelabu

Impunitas juga timbul dari ketidakberbuatan Negara untuk memenuhi kewajiban mereka guna menyelidiki pelanggaran serta mengambil tindakan yang tepat terhadap para pelaku, khususnya di bidang peradilan, dengan: memastikan bahwa mereka yang diduga bertanggung jawab pidana diadili dan dihukum sebagaimana mestinya; untuk memberikan pemulihan yang efektif bagi para korban dan untuk memastikan bahwa mereka menerima reparasi atas cedera yang diderita; untuk memastikan hak yang tidak dapat dicabut untuk mengetahui kebenaran tentang pelanggaran; dan untuk mengambil langkah-langkah lain yang diperlukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran.

Ungkap dan tuntaskan perisitwa 23 Mei 1997 sebagai bagian dari kewajiban Negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia.(jejakrekam)

Penulis adalah Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/05/24/jumat-kelabu-menuntut-tanggung-jawab-negara-catatan-26-tahun-peristiwa-amuk-banjarmasin/,yg bertangung jawab jumat kelabu di banjarmasin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.