Antara AM Hendropriyono dan Raden Tumenggung Suria Kesuma, Ronggo Pribumi Banjar

0

GELAR Pangeran Harya Hikmadiraja disematkan Raja Banjar Sultan Haji Khairul Saleh kepada AM Hendropriyono pada puncak peringatan Milad Kesultanan Banjar ke-512 di Masjid Sultan Suriansyah, beberapa waktu lalu.  Mengapa seorang AM Hendropriyono yang mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) mendapat gelar kehormatan itu, karena masih ada benang merah dengan leluhur Urang Banjar.

SIAPA puak atau datuk dan kakek buyut AM Hendropriyono? Tersebutlah nama Raden Tumenggung Soeria Kesoema. Seorang penguasa Tanah Banjar era kolonial Belanda yang menjabat Ronggo di Afdeling Banjarmasin sekitar tahun 1877-1893.

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur mengungkapkan nama asli Raden Tumenggung Soeria Kesoema adalah Abdurahman ini, lahir dari pasangan ayah Bayan Aji dan ibu Galuh Salamah. Istrinya keturunan tionghoa bernama Ratu Lim Pe Tek Nio, kemudian masuk Islam dan bernama lain Siti Ra’imah.

Menurut Mansyur, merujuk dari sumber kolonial ejaan penulis adalah Raden Tomenggong Soeria Kasoema atau Raden Tumenggung Suria Kasuma.  “Sosok seorang ronggo digambarkan berwibawa dan bersahaja terlihat dari rekaman foto Hendrik Veen tahun 1860-1880. Dalam foto tersebut, Ronggo Banjarmasin Raden Tumenggung Suria Kasuma berpose bersama panakawan serta keluarganya,” tutur Mansyur kepada jejakrekam.com, Kamis (10/5/2018).

Dosen muda prodi sejarah FKIP ULM ini mengungkapkan dari garis keturunan ayah Bayan Aji, Raden Ronggo Mas Tomenggong Soeria Kasoema memiliki lima saudara yakni HM Normas, Ung Dibab (M.Jafri), Galuh Rahmah, Galuh Amnah (Aminah), H Hamid, serta HM Said atau Corong (dikenal dengan Datu M Said, Pandan Sari, Lupak, Barito Kuala 1800-1905).

Menurut Mansyur, keberadaan tokoh ini mulai mengemuka sejak tahun 1876. Setidaknya, hal itu dilaporkan De locomotief, edisi 13 Juni 1876. Nama awalnya hanya Mas Soeria Kasoema, namun karena berjasa akhirnya mendapat gelar Toemenggoeng pada tahun yang sama.

“Dari sini,  akhirnya gelarnya menjadi Mas Tomenggong Soeria Kasoema (Mas Tumenggung Suria Kasuma). Berselang dua bulan, diangkat Belanda sebagai Ronggo di Onderafdeeling Kween (Kuin) sekaligus Kepala Jaksa (hoofddjaksa) landraad Bandjermasin,” ucap dosen yang akrab disapa Sammy ini.

Masih menurut dia, bersama Mas Tumenggung Suria Kasuma, juga dilaksanakan pengangkatan hoofddjaksa di Landraad Amoentai (Amuntai), Tomenggoeng Wangsa Kasoema sebagai jaksa penuntut umum di Amuntai, serta Kjai Mas Djaja Samoedra yang sebelumnya menjabat Kepala Distrik Tabanio.

Saat itu, kata Sammy, untuk Kepala Distrik Tabanio dijabat Sekretaris Asisten Residen Amoentai, Bondan.  “Jadi, Soeria Kasoema menggantikan ronggo sebelumnya, Pangeran Toemenggoeng Tanoe Karsa. Pengangkatan ini diberitakan dalam dua koran Hindia Belanda, Java-bode, edisi 12 Agustus 1876 dan De locomotief 15 Agustus 1876,” ungkap Sammy.

Sebelum pengangkatan Raden Tumenggung Suria Kasuma, Ronggo Banjarmasin dijabat oleh Tanu Karsa yang juga anggota Pengadilan Umum Perdata dan Pidana bentukan pemerintah kolonial Belanda. Bersama Pangeran Ahmid bin Sultan Sulaiman, Pangeran Syarif Husin bin Muhammad Baharun dan sejumlah tokoh lainnya sejak tahun 1860 an. Gelar lengkap sang pejabat itu adalah  Kiai Ronggo Temenggung Tanu Karsa.

“Terdapat beberapa pangkat yang pernah digunakan dalam bekas wilayah negara dependensi Kesultanan Banjar di bawah pemerintahan Hindia Belanda dari yang tertinggi sampai yang di bawahnya. Di antaranya adalah jabatan Regent yang dihapuskan tahun 1884. Kemudian Toemonggong, selanjutnya Ronggo yang berlangsung hingga dihapuskan 1905. Selain itu terdapat jabatan lain yakni Kiai dan Demang,” paparnya.

Magister sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini mengungkapkan masa Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Banjarmasin dibagi dalam dua bagian. Yakni, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.  Menurut Sammy, pada pemerintahan pusat dibentuklah Dewan Pengadilan yang mempunyai 8 orang anggota, yang terdiri atas orang Banjar, Dayak, Arab dan Tionghoa dan Residen.

Sedangkan, masih menurut dia,  Pemerintahan Daerah berkedudukan di Kampung Kuin-Sungai Miai dengan pejabat yang menjalankan pemerintahan adalah seorang Asisten Residen yang dibantu oleh Kontelir, Ronggo Temenggong Tanu Karsa, Mufti, Penghulu H, Poshouder dan Wakil Poshouder di Mantuil.

“Saat itu, Kuin dijadikan daerah istimewa pada tahun 1864.Sedangkan, jabatan lain yang diemban Soeria Kasoema adalah anggota de Plaatselijke Inlandsche Schoolkomissie te Bandjarmassin,” ujar Sammy.

Bahkan, dalam koran Java-bode edisi 15 November 1876, tertulis Mas Tommonggong Soeria Kasoema, ronggo afdeeling Kween menjabat bersama Kamaloedin bin Nandoeng, anggota Landraad Bandjarmasin lainnya yang juga mendapatkan penghargaan.  “Jadi, berdasar besluit 4 Oktober 1861 Nomor 36 sebelumnya, Ronggo dari onderafdeeling Kween ini, yang juga Jaksa di Landraad Bandjarmasin mendapatkan penghargaan medali emas untuk pengabdiannya,” tuturnya.

Tahun berikutnya, karir Soeria Kasoema terus menanjak. Sammy kembali merujuk informasi dari koran yang sama edisi tanggal 16 Mei 1877 dan De locomotief 19 Mei 1877, Inland Bestuur secara resmi memberikan gelar Raden untuk Mas Toemenggoeng Soeria Kasoema, Ronggo Afdeeling Banjarmasin dan wilayah sekitarnya (Afdeeling Borneo bagian selatan dan timur ). “Gelar ini merupakan penghargaan atas jasanya dan memberikan kewenangan (lisensi) untuk pemakaian gelar tersebut dalam surat dan jabatannya di awal nama Soeria Kasuma,” ucap Sammy.

Selain itu, kata dia, Pemerintah Hindia Belanda juga mengangkat pejabat lainnya yakni distrikhoofd (kepala distrik) Martapura, Kiai Soeta Merta dari Benoea Ampat, Kjai Mohamah Tajib dari Margasari, Pangeran Koesumo Giri; serta pejabat lainnya.

Dalam riset Sammy terungkap bahwa Tumenggung Suria Kasuma ternyata sosok yang melek media. Citranya banyak terangkat lewat pemberitaan di koran. Satu di antaranya dari advetorial di Koran De locomotief edisi 8 Maret 1878. “Pada 19 Februari 1878, peringatan tahun kelahiran Ratu Belanda, Raden Tumenggung Suria kesuma telah berjasa dalam menyukseskan acara tersebut. Beliau telah melakukan pekerjaan sejati, bijaksana, sangat pandai menyukakan hati kepada orang isi negeri. Pada peringatan itu, Ronggo telah menggagas acara permainan yang aneh aneh dan pantas, yang membuat orang “suka hati gemar dan girang”. Hiburan itu belum pernah digelar di Banjarmasin sebelumnya.

Kemudian, masih menurut Sammy, pada Selasa, 19 Februari 1878, sampai malam harinya diadakan pesta besar besaran di depan rumah Residen (di Kampung Amerongen-sekarang Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin) dengan hiasan ribuan lampu tanglong yang dirancang arsitek Dijkman. Acara itu dihadiri semua penduduk dari suku Melayu, Arab, Cina, Bugis, Jawa, Kodja, Keling dan Dayak.

Dengan kerjasama yang baik dalam mengadakan acara oleh Residen, Asisten Residen dan Raden Tumenggung Suria Kasuma acara berjalan aman, tanpa kerusuhan. Bahkan, dalam koran itu diberikan bahwa  penduduk yang datang menonton keramaian yang baru pertama kalinya di Banjarmasin itu, aman dari pencuri. Selain itu,  hal utama yang menjadi jasa Raden Tumenggung Suria kesuma yang telah menginisiasi acara dengan susah payah dan menanggung semua biaya peseta itu.

“Saat itu, ukuran biayanya sebuah pesta mencapai seribu rupiah,” kata Sammy. Sejak itu pula, nama Tumenggung Suria Kasuma pun moncer, meski pada 1879 dan seterusnya minim pemberitaan.

Bahkan, dari informasi dari sumber lisan, dipaparkan pada tahun 1885 ,Eisenberger menemukan naskah UUSA (Undang-undang Sultan Adam) yang disimpan dalam arsip Kantor Residen Banjarmasin yang ditulis oleh Tumenggung Soeri Ronggo (Tomenggong Ronggo Soeria Kasoema) tahun 1885.

“Publikasi pertama dari naskah Undang-undang Sultan Adam ini dilakukan oleh A.M. Joekes yang pernah menjabat sebagai Gubernur Borneo (1891-1894) dalam Majalah Indische Gids tahun 1891,” ungkap Sammy.

Berdasarkan keterangan tersebut, kemungkinan besar Tumenggung Suria Kasuma masih menjabat ronggo hingga tahun 1893. Bataviaasch nieuwsblad 31-05-1893 menuliskan, Kiahi Mas Djaja Samoedra ditunjuk menjadi anggota Inlandsche Rechtbanken sebagai perwakilan landraad Banjarmasin, yang juga berkedudukan sebagai Ronggo dari divisi Banjarmasin dan Ommelanden. Analisis Sammy, berdasarkan berita ini, tahun 1893 Tumenggung Suria Kasuma sudah digantikan posisinya sebagai ronggo oleh Kiahi Mas Djaja Samoedra.

Hal ini diperkuat sumber lainnya yakni Java-bode, edisi 15 Oktober 1895 dan De locomotief, edisi 17 Oktober 1895. Keterangan dari Departemen Sipil, bahwa diberikan hadiah bintang emas kecil untuk loyalitas dan jasa, sebagai tanda pengakuan layanan, kesetiaan, dalam jangka panjang untuk Kiahi Mas Djaja Samoedra, Ronggo divisi Banjarmasin dan sekitarnya (Borneo bagian Selatan dan Timur).

“Memang tidak terdapat sumber mengenai masa akhir Tumenggung Suria Kasuma. Ronggo adalah kepala orang-orang Banjar pada zaman Belanda. Pangkat sederajat Ronggo, tapi untuk golongan warga Arab dan Cina pada masa itu adalah Kapten Arab dan Kapten Cina,” paparnya.

Pada dekade tahun 1870-an, Ronggo adalah pemimpin masyarakat pribumi dalam satu onderafdeeling.
Perubahan terjadi pada tahun 1898. Status Banjarmasin pada awalnya afdeeling menjadi onderafdeeling.
Sammy menjelaskan struktur pemerintahan 1898, terdapat seorang Residen berkedudukan di Banjarmasin yaitu C.A. Kroesen. Sedangkan dalam Afdeeling Banjarmasin, terdapat jabatan Asisten Residen , Kepala Polisi, kursi Ronggo yang dijabat Kiahi Mas Djaja Samoedra, Luitenants der Chinezen, serta Kapitein der Arabieren

“Kemudian setiap kampung Belanda dipimpin Wijkmeester. Sejak tahun 1898, jabatan ronggo, bertanggung jawab pada asisten residen,” ungkap Sammy.

Hingga akhir hayatnya, Raden Tumenggung Suria Kesuma dimakamkan di Jalan Alalak Selatan RT 3, Kelurahan Alalak Selatan, Kecamatan Banjarmasin Utara. “Di kawasan makam ini terdapat peninggalan kolam yang diduga milik keluarga Raden Tumenggung Suria Kesuma,” tandasnya.(jejakrekam)

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/05/10/antara-am-hendropriyono-dan-raden-tumenggung-suria-kesuma-ronggo-pribumi-banjar/,am hendropriyono apakah keturunan orang banjar,datuk ronggo,Silsilah Hendropriyono
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.