Jika Petani (Masyarakat) Desa Kena Lockdown

0

Oleh : Reja Fahlevi

SEKALI-KALI, jika kita ingin melihat kehidupan asli masyarakat Indonesia, tengoklah desa yang jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Kalau di kota, sering kita lihat drama-drama kehidupan, justru masyarakat lebih dikenal dengan kepolosannya.

MASYARAKAT kota kini dengan upaya memberantas Corona. Sedangkan,masyarakat desa hari ini mungkin harus mendengar bahaya virus Corona. Mobilitas kehidupan kota hari ini berotasi 180 derajat yagn tadinya lebih banyak beraktivitas di rumah, belakangan ini dipaksa fokus berkegiatan di rumah.

Akvitas sekolah, kampus, dan kantor terpaksa dipindah melalui jejaring media internet dengan tujuan untuk keselamatan bersama. Lalu muncul istilah social (sosial) distancing, sebuah kalimat yang berisi ajakan untuk menjaga jarak sosialisasi dan komunikasi dengan orang lain.

Masyarakat kota tentu tidak masalah, apabila perilaku seperti ini dianjurkan, karena kehidupan sehari-harina cenderung sudah individualistic. Namun, bagi masyarakat desa yang komunal, tentu perilaku seperti ini sebuah perangai yang sudah untuk dilakukan.

BACA : Panik Corona Bisa Memicu Perubahan Sosial Masyarakat

Masyarakat desa dari bangun pagi sampai mau tidur biasanya selalu bersosialisasi dengan orang yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, dalam masyarakat desa di Kalimantan Selatan yang kebiasaanya bangun Subuh kemudian pergi ke masjid atau mushala.

Setelah itu, mereka biasanya mencari tempat makan untuk menyantap lontong, ketupat bahkan nasi kuning atau sekadar menyeruput kopi dengan bumbu obrolan seputar politik dan pilkada, perangai atau perilaku seperti ini dikenal dalam masyarakat Banjar dengan istilah “mawarung”.

Ketika matahari sedikit menampakan diri, mereka pergi ke huma (sawah), biasanya mereka berangkat berbarengan, karena letak lokasi sawahnya berdekatan atau dalam satu lahan tanah yang sama, ada yang hanya setengah hari, ada juga yang sampai menjelang senja, mereka baru kembali ke rumahnya. Biasanya, para perempuan kebanyakan setengah hari saja, karena harus mempersiapkan kebutuhan dapur.

BACA : Kegiatan Masyarakat Menurun, Jangan Sampai Muncul Gejolak Sosial

Waktu sore, biasanya para ibu-ibu berkumpul di depan rumah, ngobrol sana sini sambil bergantian mencari kutu atau mencabut uban di kepala. Waktu Maghrib dan Isya tiba biasanya warga desa kebanyakan shalat di masjid atau mushala, setelah itu kembali ke rumah dan tidur untuk menghentikan aktivitas. Namun, tidak jarang setelah shalat Isya juga diadakan musyawarah desa atau kegiatan behandil (selamatan). Begitulah umumnya aktivitas masyarakat desa,

Masyarakat komunal diikat oleh satu nilai-nilai kebersamaan yang baik dan luhur, yang dibungkus dalam wujud budaya bangsa yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Jika hari ini kehidupan masyarakat desa ingin disamakan dengan masyarakat kota karena wabah Corona, melalui wacana regulasi Lockdown atau mengisolasi diri.

Gaya hidup (life style) sehari-hari masyarakat desa dan kota tentulah tidak sama. Masyarakat desa pada umumnya berprofesi sebagai petani, baik petani padi maupun petani karet, yang penghasilannya tergantung dari hasil perawatanya terhadap ladangnya maupun kebunnya yang harus selalu dirawat sehari-hari, semakin rajin merawatnya semakin baiknya kualitas hasil taninya, atau sebaliknya.

BACA JUGA : Antisipasi Penularan Covid-19, Kapolda Kalsel Bertemu Tokoh Agama

Sedangkan, masyarakat kota pada umumnya bekerja di sektor industri, dengan penghasilan yang jelas setiap bulannya, tentu tidak terlalu signifikan dengan dampak wacana lockdown ini, selain itu juga tentu pemerintah akan melindungi hak mereka ketika regulasi ini benar-benar diterapkan nantinya.

Di beberapa negara  yang lebih dulu diserang oleh wabah Corona, katanya dengan kebijakan Lockdown dansocial distancing terbukti mampu menekan jumlah korban yang tersuspect virus yang mematikan ini.

BACA LAGI : Banjarmasin Bakal Diberlakukan Jam Malam, Tim Covid-19: Jika Warga Masih Keluyuran Di Luar

Namun perlu digarisbawahi bahwa hampir rata-rata negara yang sudah menerapakan kebijakan lockdown ini adalah negara yang sudah mapan baik secara ekonomi maupun mental masyarakatnya. Bisa saja dalam arti bahwa masyarakat di sana tidak ada yang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dapurnya dalam sehari.

Dan yang lebih jelas bahwa masyarakat di negara-negara maju tersebut mendapatkan dana kompensasi setiap bulan atau setiap tahun yang sudah menjadi tanggungjawab pemerintahnya.

Memang kebijakan hari ini masih sebatas imbauan saja, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang memang sudah banyak menjadi korban dari ganasnya wabah ini. Namun agaknya kita perlu juga waspada dan mengantispasi jika penyebaran virus Corona ini mewabah ke seluruh wilayah bangsa. Tentu, masyarakat desa juga akan menjadi korbannya.

Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mengedukasi seluruh masyarakat di dalamnya termasuk masyarakat desa yang dikenal sangat komunal dalam kehidupan sehari-harinya.

Ini bisa dilihat dari presentase masyarakat yang hidup di antara dua tempat, kota dan desa jumlahnya tidak jauh berbeda. Menurut data Worldometers mencatat pada 2019, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 270,6 juta jiwa. Dominasi tersebut meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 147,6 juta jiwa atau 55,1 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 267,7 juta jiwa.

Langkah mencari formulasi yang tepat harus segera dilakukan, mengisolasi diri merupakan kebijakan yang tepat untuk daerah-daerah yang sudah mapan. Namun, jika keadaan memaksa maka kebijakan mengisolasi diri juga harus segera dilakukan. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah dalam mencari formula untuk segera secara cepat untuk memutus rantai peredaran wabah ini di tengah masyarakat desa yang terkenal sangat komunal.

Pemeritah berkewajiban untuk melindungi segenap rakyatnya dari virus ini, namun di sisi yang lain pemerintah juga harus bisa tetap mempertahankan identitas masyarakat komunal agar tidak bergeser ke arah masyarakat yang inidividualistik.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Literasi Kampung Buku Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.