Serdadu

0

Oleh : Almin Hatta

Di kota ini setiap orang jadi serdadu karena setiap jengkal tanah adalah medan laga

BENARKAH setiap orang menjadi sedadu, menjadi tentara, sebagaimana sajak Rendra di atas?

Tentara, sebagaimana yang kita tahu bersama, setiap saat harus siaga mempertahankan keutuhan negara yang dipikulkan ke pundaknya. Dengan demikian negara yang menjadi tempat tinggal kita bersama ini tak tercabik-cabik, dan perahu bangsa ini tak terbalik.

Lalu, kita para penghuninya, mestikah menjadi tentara pula? “Setiap jengkal tanah adalah medan laga,” ujar Rendra pula. Maka, kita pun harus siap bertempur menghadapinya, berperang untuk memenanginya.

Tapi, sekali lagi, benarkah kita semua mesti menjadi serdadu, menjadi tentara, demi mempertahankan keberadaan kita sebagai warga sebuah negara, sebagai penduduk sebuah kota atau pun desa, sebagai bagian dari sebuah dataran luas yang bernama dunia?

Ketika subuh baru menjelang, ketika dingin sekeliling alam menusuk-nusuk tulang, paman tukang sayur harus sudah bangkit dari pembaringan. Bukan cuma untuk menegakkan salat subuh yang diwajibkan, tapi juga untuk bersegera mengayuh sepeda menjajakan sayuran ke segenap pelosok kota. Dengan demikian eksistensinya sebagai kepala rumah tangga diakui siapa saja, dengan demikian anaknya yang berjumlah lima dimungkinkan dapat makan sebagaimana mestinya.

BACA : Ular ‘Tuk Pemimpin Zalim

Tukang ojek sama saja. Sepagi itu ia sudah harus menurunkan motornya, mengantar siapa saja ke mana saja demi tujuan yang nyaris serupa dengan paman tukang sayur tetangganya.

Dan, salah satu yang menumpang ojek itu boleh jadi adalah satu di antara kita, yang sepagi itu harus pula melakukan tugas yang tak kalah beratnya. Atau sama-sama ringannya, sebab apa pun jenis pekerjaan akan terasa ringan jika dilaksanakan dengan hati ikhlas dan perasaan riang.

Boleh jadi ada yang akan dengan ketus mengatakan, “Tidak semua orang punya kewajiban bangun di pagi buta demi memenuhi kebutuhan keluarganya!” Lalu ditunjuklah contoh pengusaha kaya raya atau pejabat ternama.

Tapi, siapa pula yang bisa memastikan demikian. Soalnya, ada kemungkinan si pengusaha kaya tersebut dari kemarin siang hingga menjelang subuh itu justru belum tidur barang sepicingan. Penyebabnya tentu saja banyak hal, mengingat semuanya selalu mungkin menimpa siapa saja. Bisa saja si pengusaha itu sedang gundah gulana memikirkan usahanya yang belakangan merugi di mana-mana.

Si pejabat ternama, apa pula pedulinya harus bangun pagi-pagi di kala sopirnya justru masih mendengkur dibuai mimpi? Kebetulan pagi itu si pejabat dipanggil menghadap Pak Menteri karena diduga telah melakukan tindakan korupsi.

Jadi harus bangun pagi-pagi sekali agar bisa segera berangkat ke ibukota negeri, atau bahkan ia belum tidur sama sekali lantaran semalaman memikirkan muslihat untuk menyelamatkan diri.

BACA : Abhaya

Ah, Pak Presiden atau Bu Presiden kan tak ada yang mewajibkannya untuk bangun pagi, kecuali ia termasuk orang yang taat kepada perintah Illahi? Ya, mestinya memang demikian. Tapi jika ribuan mahasiswa selalu saja menggelar demo mendesaknya turun tahta, kepala pemerintahan mana yang bisa lena memejamkan mata?

Jadi, baru dalam urusan bangun pagi saja hampir setiap orang sulit sekali menghindarinya. Apalagi urusan lainnya, yang tak terhitung jumlahnya.      Begitulah, sebagaimana yang dikatakan Rendra, setiap orang harus menjadi serdadu untuk mempertahankan eksistensinya di tengah pergaulan dunia. Terutama menjadi serdadu atas dirinya sendiri, agar tak salah dalam melangkah, agar tak salah bertindak. Sebab, jika salah langkah, salah tindakan, alamat diri menjadi pecundang.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.