Ibu-Ibu di Pagi Hari dan Virus Corona

0

Oleh : Reja Fahlevi

DI TENGAH isu penyebaran virus Corona yang terjadi hari ini hampir di seluruh wilayah negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan, kabarnya di Banjarmasin, Kalimanta Selatan sudah ada 4 orang yang terduga sucpect Corona. Virus yang hari ini macam hantu ditakuti oleh hampir semua orang dan kalangan.

NAMUN, ada hal yang menarik ketika pagi hari, waktu saya melintasi sebuah gang kecil di pinggiran Kota Banjarmasin. Ada pemandangan dua kelompok ibu-ibu yang baru datang dari masjid dan mushala yang berlainan. Letak kedua tempat ibadah itu sebenarnya berdekatan, karena berbeda mazhab, maka masyarakat di kampung tersebut juga terbagi ke dalam dua kelompok besar.

Hal ini tidak hanya ada di gang kecil, namun hampir di seluruh Kota Banjarmasin, pemandangan semacam itu bisa kita saksikan.  Walau begitu, kehidupan di gang kecil itu terlihat sangat harmonis, masing-masing bisa menghargai perbedaan satu sama lain. Nampaknya, dua kelompok ibu-ibu tadi masing-masing habis melaksakan shalat Subuh berjamaah.

Ketika perjalanan pulang, mereka berpapasan tepat di atas jembatan kecil yang terbuat dari papan ulin. Terlihat tua, namun masih kokoh. Seketika berpapasan tanpa pikir panjang mereka langsung saling berjabat tangan satu sama lain. Tidak cukup di situ, mereka juga menempelkan pipi kanan dan kiri atau dalam bahasa anak muda sekarang cipika-cipiki secara bergantian, diiringi dengan senyum yang merekah. Mereka saling tanya kabar, bahkan obrolan singkat mengenai arisan.

BACA : Ini Dampak Apabila Masyarakat Terlalu Berlebihan Tanggapi Virus Corona

Saya takjub melihat pemandangan yang begitu indah di tengah rentetan pemberitaan yang viral di berbagai media tentangpenyebaran virus Corona yang sudah mendarat di Indonesia. Mereka seolah-olah tak peduli seberapa bahaya dan bentuk macamnya tentang Corona. Bagi mereka, justru menghargai perasaan sesame saudara itu yang lebih penting dan mulia.

Di tengah masyarakat yang hari ini sangat waspada dengen endemic Corona bahkan tidak sedikit ada yang sampai mengurung diri di rumah. Mereka pun tak mau berinteraksi langsung dengan orang lain di lingkunganya. Dua kelompok ibu-ibu ini justru bertolak belakang dari kondisi yang ada.

Mereka malah melakukan kontak fisik langsung dengan berjabat tangan dan menempelkan pipinya satu sama lain mengatasanamakan rasa kekerabatan dan persaudaraan.

Berjabat tangan dan menempelkan pipi satu sama lain ketika bertemu seseorang merupakan bagian yang tak asing lagi bagi masyarakat Banjar. Jika dilihat dari sejarahnya dalam beberapa pendapat, perangai ini merupakan kebiasaan dan anjuran dari agama Islam.  Sebuah agama yang dianut mayoritas masyarakat Banjar. Mungkin karena alasan itulah mengapa perangai ini masih banyak kita jumpai khususnya ketika melihat para tetuha kita bertemu dengan seseorang teman lama atau teman barunya. Tentu tak memandang apa agamanya, sukunya, dan etniknya.

BACA JUGA : Epidemi Corona Dan Keterbukaan Informasi

Ada hal yang perlu diluruskan bahwa budaya berjabat tangan dan menempelkan pipi satu sama lain hanya boleh dilakukan dengan jenis kelamin yang sama dan muhrimnya saja. Tidak dibenarkan dalam pandangan masyarakat Banjar, hal itu dilakukan dengan yang bukan muhrim. Namun ada saja perangai demikian terjadi pada pergaulan anak muda sekarang bahwa menempelkan pipi satu sama lain (cipika-cipiki) kepada yang bukan muhrimnya karena pengaruh negatif budaya barat.

Jabatan tangan dalam masyarakat Banjar menggambarkan cara menyapa yang hangat yang merupakan simbol pertemanan, persahabatan dan juga simbol solidaritas dan kekerabatan.

Sedangkan perangai cium pipi mencerminkan persahabatan, kesetiaan dan yang paling penting ada kesanegaliter di sana yakni kesejajaran status.

Realitas kehidupan seperti itu juga, sebetulnya tidak hanya ada di masyarakat Banjar. Umumnya, realitas tersebut menggambarkan citra masyarakat Indonesia keseluruhan yang ramah dan memegang teguh etika. Sebagai konsekuensi dalam rangka memperkuat rasa kemanusian dan persatuan nilai-nilai tersebut juga sangat layak untuk tetap dipraktikan dalam kehidupan lintas budaya sehari-hari.

Banyak pelajaran yang saya petik dari kejadian yang saya lihat pagi ini, waspada terhadap virus Corona tentu wajib hukumnya. Hanya saja, tak perlu kiranya kita terlalu berlebihan sampai mengurung bahkan menarik diri dari lingkungan sosial sekitar, justru sebaliknya dengan kondisi seperti hari ini seharusnya kita bersatu saling menguatkan satu sama lain.

BACA LAGI : Usai Umrah, Tiga Pasien Suspect Corona Langsung Diisolasi RSUD Ulin

Mengurung dan menarik diri dari lingkungan sosial bukan langkah yang stategis untuk membasmi dan melawan wabah virus corona. Jika masing-masing dari kita hari ini semua mengurung diri dari lingkungan sosial, maka di mana-mana akan timbul kecurigaan satu dengan yang lain. Curiga kalau orang di sekitar kita akan menularkan virus Corona yang kabarnya bisa mencabut nyawa. Apalagi kondisi ini bisa saja nanti akan mengancam eksistensi persatuan bangsa. 

Langkah yang strategic tentunya ialah saling bahu membahu dan perlu saling sinergi semua pihak untuk bersat mencari solusi yang tepat. Terutama, untuk menanggulangi permasalahan wabah virus Corona ini.

Jika hal ini dilakukan justru dengan adnaya wabah ini, maka memperkuat dan memperkokoh rasa persatuan di antara kita semua. Sama halnya, dua kelompok ibu-ibu dalam sebuah gang kecil yang tetap berjabat tangan dan cipika-cipiki demi kehormanisan kampungnya.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Literasi Kampung Buku Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.