Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

0

KALANGAN intelektual kampus, khususnya dari etnis Dayak berkumpul di Ruang Ketua Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE). Jalan DI Panjaitan, Banjarmasin, membahas Belum Bahadat (Hidup Beradat); Tanah, Sawit dan Kerafian Dayak, Jumat (13/3/2020) malam.

STUDI kasus penolakan warga Desa Jambu Baru, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Barito Kuala (Batola) lewat aksi perlawanan dalam Laung Bahenda (Laung Kuning) terhadap ekspansi perusahaan sawit pada medio 2019 lalu, menjadi pemicu diskusi terbatas itu.

Para pemikir dan peneliti yang tergabung dalam Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN) Kalimantan Selatan pun mengurai problema, menganalisis serta mencarikan solusi dalam menyikapi pro dan kontra kehadiran korporasi yang justru mengincar tanah ulayat, tanah warga, hutan dan lainnya yang selama ini menjadi bagian hidup tak terpisahkan dalam masyarakat Dayak di Kalimantan.

Kajian teoritis dan lainnya pun diurai dalam diskusi yang cukup menarik itu. Nasrullah, sosiolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin yang kini menggarap buku berjudul Laung Bahenda mengakui dalam Charles C Miller dalam buku Black Borneo (1946) mengurai adanya tradisi dalam masyarakat Dayak soal kayau kepala (potong kepala), yang membuat pribumi Borneo seakan-akan masyarakat barbar, karena kepala yang baru dipotong itu diletakkan di ujung kampung untuk mengusir wabah penyakit.

BACA : Laung Bahenda, Simbol Perlawanan Dayak Bakumpai

“Namun, berbeda dengan masyarakat Dayak Bakumpai, hanya mengenal konsep ruang yang berbeda dengan orang Jawa. Bukan empat mata angin, namun berdasar arus sungai yang dikenal dengan Ngaju (atas), Ngawa (Bawah), Ngambu dan Liwa,” papar Nasrullah.

Menurut dia, untuk menentukan Ngambu dan Liwa tergantung sungai, karena ditarik garis terdapat pusat yang kemudian dikenal dengan lewu.

“Ngambu atau Ngiwa cenderung ulak-alik (ke sana ke mari). Sedangkan Ngaju atau Ngawa bisa permanen karena kesulitan transportasi. Ngambu atau Ngiwa merupakan ruang komunal. Ngaju atau Ngawa adalah ruang public bersama/ruang kekerabatan sesuai aliran sungai,” paparnya.

BACA JUGA : Moratorium Sawit, 12 Protokol Masyarakat Adat Dayak Perlu Diperjuangkan

Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengungkapkan ke hilir adalahadalah daerah di luar jarak jangkau. Sedangkan, hulu ada batasan. Ketika orang ke hilir akan susah menebak kapan kembalinya.

“Ngambu/Ngiwa, ketika orang “Mansan”, ketika tidak datang setelah beberapa hari akan dicari oleh penduduk. Sehingga ruang Ngambu/Ngiwa tidak menjadi komunal lagi. Masing-masing desa memiliki nama desa yang disebut “padang”, lebih kecil disebut “beje/Ngaju”, “sumur/Bakumpai”, tetapi ada klaim perusahaan sehingga itu menjadi masalah bagi negara dan masyarakat,” tuturnya.

Nasrullah menceritakan dari empat ruang itu hanya ada lewu (kampung). Menurut dia, apakah empat ruang ini bisa diubah terutama Ngaju, Ngambu yang merupakan posisi yang ideal. Sedangkan, Ngaju, Liwa, Ngawa adalah posisi yang cukup sulit dan dihindari.

BACA JUGA : Tapal Batas Ditinjau Ulang, DPRD Batola Serukan Cabut Izin HGU PT TAL

Ia juga mengutip teori James Scott, antropolog Amerika Serikat mengatakan untuk menghindari risiko kegentingan, maka orang tidak berada pada kemiskinan dan tidak kemelaratan. Tetapi tidak juga miskin.

“Sedangkan, Geet dan Scott menegaskan perkebunan tidak mengalami masalah dengan agrarian. Hanya saja, Scott mengatakan:tananman monokultur akan rentan mengalami permasalahan dari luar. Apa yang dilakukan orang Bakumpai untuk menghindari kegentingan,” paparnya.

Senada itu, Setia Budhi, antrolog FISIP ULM mengakui Ngaju merupakan wadah sumber daya alam Bakumpai, terutama tersedianya rotan dan purun untuk menganyam, karet dan buah-buahan.

Ia mengakui gerakan Laung Bahenda yang dipelopori masyarakat Desa Jambu Baru yang mayoritas etnis Bakumpai merupakan bukti kesabaran yang mengalami titik nadir.

“Makanya, Laung atau Lawung Bahenda merupakan bentuk perlawanan kultural atau adat, tidak frontal karena tetap logis, irasional dan bermartabat. Tidak langsung pada perusahaan, tetapi kepada yang memberi izin yang didemo terlebih dahulu sebagai pemberi izin,” ucapnya.

BACA LAGI : Adu Argumen, Warga Jambu Baru Tetap Tolak Sawit Masuk ke Desa

Bagi dia, Lawung Bahenda adalah perlawanan simbolik terhadap Ngaju yang terancam. Ia menegaskan hal itu bisa jadi kasus ini terjadi dimana-mana. Pola perlawanannya yang menarik, karena menggunakan perlawanan simbolik. “Apakah warna kuning  merupakan pengaruh Banjar? Karena kuning adalah simbol Kerajaan Banjar,” ucapnya.

Antropolog lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini menegaskan bahwa tanah adalah ibu, siapa pun yang merusak tanah berarti merusak ibunya.

“Terbukti, ada yang dialami Desa Jambu Baru yang masih terjaga alamnya justru berbeda dengan desa-desa lainnya di Kecamatan Kuripan. Terbukti, ikan masih mudah dicari di tempat itu,” tutur Setia Budhi.

Ia berharap gerakan Laung Bahenda yang dipelopori Nasrullah bersama masyarakat Desa Jambu Baru bisa menjadi contoh dalam membentuk gerakan-gerakan lainnya. “Sebab, Kalimantan diakui PBB merupakan paru-paru dunia. Nah, kalau alamnya, tanah dan hutannya rusak, apa masih mempertahankan predikat itu?” cecar Setia Budhi.

Diskusi makin menarik, setelah semua peserta diskusi Belum Bahadat ini mengemukan argumennya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/03/14/gerakan-laung-bahenda-sebuah-perlawanan-simbolik-dan-kearifan-dayak/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.