Anggota BPRS Kalsel Ingatkan Pemda Jangan Tonjolkan Komersialisasi Rumah Sakit

0

ANGGOTA Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Kalimantan Selatan Anang Rosadi Adenansi mengingatkan agar pemerintah daerah lebih hati-hati saat membangun rumah sakit. Kecenderungan membangun fasilitas kesehatan dengan kemewahan, justru tak segaris lurus dengan kualitas pelayanan.

ADA beberapa bangunan mewah rumah sakit yang ada di Kalimantan Selatan seperti RSUD Hadji Boejasin Pelaihari, RSUD Pangeran Jaya Sumitra Kotabaru, RSUD H Badaruddin, RSUD Damanhuri Barabai, hingga teranyar kabarnya relokasi RSUD Datu Sanggul Rantau, Kabupaten Tapin.

“Ada tren sepertinya pemerintah daerah lebih mengedepankan pembangunan rumah sakit baru atau relokasi itu dengan kemegahan dan kemewahan, bahkan bisa menghabiskan dana anggaran ratusan miliar. Dana ini jelas tak sedikit, apalagi sampai meminjam dana talangan, ini sungguh ironis. Padahal, faktanya, banyak rumah sakit mewah justru tak sejalan dengan peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat, khususnya pasien,” ucap Anang Rosadi Adenansi kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Minggu (8/3/2020).

BACA : Waspada Corona, Dinkes Kalsel Siapkan 2 Rumah Sakit Rujukan

Padahal, menurut dia, nilai dasar dari sebuah rumah sakit adalah wadah penyembuhan bagi warga yang sakit dan adanya jaminan pelayanan prima, bukan terletak pada mewah atau megahnya bangunan.

Mantan anggota DPRD Kalsel ini mengutarakan bagaimana pun anggaran yang dipakai untuk membangun rumah sakit baru berasal dari uang rakyat melalui APBD. Sepatutnya, menurut Anang Rosadi, sebelum membangun sebuah rumah sakit itu harus ditopang studi kelayakan dari berbagai aspek. Seperti kajian dari database medical record pasien, sehingga sasaran yang dicapai adalah pelayanan, bukan bangunan.

“Rumah sakit baru itu harus ada kendali mutu. Bukan semata-mata menonjolkan bangunan yang megah. Terutama, soal ketersediaan dokter, tenaga medis dan peralatan yang menjadi bagian terpenting dalam sebuah perencanaan rumah sakit. Jangan mengutamakan komersialisasi rumah sakit dan eksploitasi orang sakit,” papar Anang Rosadi.

Ia menyebut yang mengemuka justru adanya komersialisasi rumah sakit. Sebab, kata Anang Rosadi, dengan besarnya bangunan rumah sakit berkoneksi dengan tingginya biaya pemeliharaan, operasional dan perawatan rumah sakit, hingga membebani APBD dan pasien.

BACA JUGA : Dinkes-DPRD dan BPRS Awasi Ketat Pelayanan Rumah Sakit di Kalsel

“Sepatutnya, beberapa kasus yang ada di Kalsel menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah daerah, seperti dugaan mangkraknya pembangunan RSUD Pangeran Jaya Sumitra Kotabaru. Atau contoh lain, ketidaksiapan bangunan baru RSUD Hadji Boejasin Pelaihari dari sisi perencanaan,” tuturnya.

Masih menurut Anang Rosadi, sejatinya uang ratusan miliar untuk membangun rumah sakit baru bukan milik para penguasa daerah maupun dewan, tapi uang rakyat. Sepatutnya, kata dia, penggunaanya harus tepat sasaran dan sesuai peruntukkannya.

Jangan sampai, tutur Anang Rosadi, justru orientasi pembangunan rumah sakit itu terkesan adanya unsur kesengajaan untuk jadi bancakan oknum tertentu. Menurut Anang Rosadi, dari hasil pemantauan di lapangan, banyak rumah sakit yang boros energi serta fasilitas yang dibangun tak memanfaatkan ruang atau kondisi alam, seperti pencahayaan yang bisa menggunakan sinar matahari.

“Jangan sampai moratorium pembangunan gedung baru justru disiasati pemerintah daerah dengan membangun rumah sakit baru yang termasuk pengecualian, karena masuk kategori bangunan vital di samping jembatan dan fasilitas pendidikan. Ada kesan kuat model ini justru yang mengemuka di pemerintah daerah di Kalsel,” papar Anang Rosadi.

BACA JUGA : Lima Anggota BPRS Kalsel Ditetapkan, Anang Rosadi : Kami Awasi Kinerja Rumah Sakit

Tak hanya itu, pegiat anti korupsi ini mengungkapkan yang paling dibutuhkan sekarang adalah jaminan kesejahteraan dokter, tenaga medis dan lainnya berkaitan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

“Ini yang harusnya dipikirkan pemerintah daerah, bukan dengan cara membangun rumah sakit bermegah-megahan yang justru tidak ada korelasinya. Malah, membebani anggaran bahkan membuat biaya pelayanan menjadi mahal,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.